Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Menyogok Rakyat Menggunakan Uang Rakyat

Diperbarui: 9 April 2019   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waspadai bujuk rayu di pagi buta demi meraup suara dalam pemilihan (Ilustrasi gambar : amazonaws.com)

Periode H-9 pemilihan umum membuat desas-desus terkait akan adanya "serangan" fajar semakin mengemuka. Bunyi ketukan pintu di pagi buta seakan-akan tinggal menunggu waktu ketika ada seseorang yang datang membawa amplop berisi sejumlah uang untuk "dihadiahkan" kepasa sang pemilik rumah. Jikalau ketukan itu adalah ketukan yang lahir dari niatan tulus, barangkali kita semua patut bersyukur. Syangnya, ketukan itu adalah ketukan kelicikan dan keculasan yang berniat mengibuli masyarakat negeri ini. Sejumlah kecil uang mereka jadikan kompensasi atas konspirasi besar dimasa jabatan yang kelak mereka emban. Sungguh sangat tidak sepadan.

Fenomena "serangan fajar" hampir pasti ditemukan setiap kali memasuki masa pemilihan, baik itu pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan anggota legislatif, hingga pemilihan presiden-wakil presiden. Barangkali hanya pemilihan ketua kelas saja yang tidak perlu melibatkan serangan fajar.

Modus atau cara seperti ini sebenarnya adalah sebuah cara usang yang masih terus dipakai hingga kini. Entah karena si pelaku menganggap politik uang sebagai langkah yang efektif ataukah karena memang tidak ada langkah yang lebih kreatif guna meraih simpati masyarakat. Kenyataannya, fenomena serangan fajar sejak dulu hingga sekarang masih saja menemukan eksistensinya.

Kemungkinan terbesar terkait masih eksisnya serangan fajar sebagai cara menggaet suara pemilih adalah karena masyarakat merasa bahwa siapapun yang terpilih nantinya dianggap sama-sama tidak memberikan kontribusi positif bagi dirinya atau orang-orang terdekatnya. Sehingga daripada ia tidak mendapatkan "imbalan" samasekali maka serangan fajar bisa jadi adalah peristiwa yang dinanti-nanti keberadaannya.

Jikalau sudah seperti ini, pihak-pihak yang bertanggung jawab sebenarnya bukan hanya mereka yang melakukan "prosesi" serangan fajar itu sendiri, akan tetapi pejabat terpilih yang memenangkan mandat dari rakyat juga memiliki andil terhadap keberlangsungan "budaya" ini. Terlepas mereka menggunakan cara yang sama ataupun tidak, satu hal yang pasti adalah para petahana telah melupakan aspek kesejahteraan warganya sehingga mereka harus hidup dalam kekurangan dan sampai harus mengharap keberadaan serangan fajar sebagai salah satu sumber penghasilan.

Semakin banyak para politisi busuk yang ikut serta menerapkan cara serupa, maka potensi uang saku yang diterima masyarakat pemilih juga semakin besar mengingat ada lebih dari satu pemberi. Dengan demikian sumber pendapatan juga akan bertambah, demikian mungkin yang difikirkan warga. Jika pemahaman ini terus berlanjut, maka eksistensi serangan fajar masih akan tetap ada pada periode-periode mendatang.

Mungkin dalam beberapa kesempatan diantara kita ada yang bertanya, mengapa para politisi itu sudi menguras kocek pribadinya demi mendapatkan suara pemilih? Jawabannya adalah karena kocek yang mereka rogoh sebenarnya bukanlah kocek mereka, akan tetapi kocek dari rakyat. Uang yang mereka pakai adalah uang yang berasal dari korupsi yang mereka lakukan.

Apakah para politisi busuk yang melakukan money politic sedangkan mereka belum menjadi pejabat publik juga melakukan korupsi? Pada saat itu mungkin belum. Namun ketika mereka kelak terpilih besar kemungkinan akan ada upaya-upaya untuk mendapatkan kembali modal yang dulu dikeluarkan. Dari mana? Gaji pejabat? Besaran gaji tidak akan cukup untuk menutup modal kampanye yang dulu dikeluarkan.

Sehingga satu-satunya cara adalah dengan melakukan permainan uang dari proyek ke proyek, anggaran ke anggaran. Oleh karena itu tidak mengherankan korupsi negara kita begitu membabi buta. Sedangkan terkait serangan fajar, sebenarnya masyarakat kita dikibuli dan dimanipulasi oleh pemberian uang agar kita memberikan hak pilih kita kepada mereka. Sebenarnya para politisi busuk itu tidak pernah mengeluarkan uang pribadinya, akan tetapi mereka mengambil uang rakyat untuk kemudian diberikan kepada rakyat. Masyarakat kita dibeli dengan menggunakan uang mereka sendiri. Rakyat ditipu dengan uang mereka sendiri. Adakah sesuatu yang lebih ironis daripada hal ini?

Demokrasi di negeri kita ada yang mengatakan harganya terlalu mahal. Benarkah? Jika melihat besaran modal yang harus dikeluarkan, mungkin statement ini ada benarnya. Namun seberapa besarnya ongkos demokrasi, hal itu bukan berarti menghalalkan segala cara termasuk diantaranya budaya money politic atau serangan fajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline