Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Bermimpi dan Beraksi Tanpa "Tapi"

Diperbarui: 2 Februari 2019   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar : functionalnerds.com


"Saya ingin memulai usaha, tapi tidak punya modal."; "Saya ingin melanjutkan kuliah, tapi tidak memiliki cukup biaya."; "Saya ingin menulis sebuah buku, tapi tidak ada waktu".

Begitu banyak keinginan yang tertunda oleh karena alasan-alasan yang kita kemukakan. Seringkali kita bersikap permisif untuk hal-hal besar di hidup kita. 

Anda memimpikan sesuatu yang besar, akan tetapi pada saat bersamaan justru Anda sendirilah yang memberikan penyangkalan secara tidak langsung dengan kata "tapi" setelah pengikraran impian Anda.

Banyak dari kita yang mengasihani diri secara berlebihan. Seolah-olah kita begitu memanjakan diri kita dengan terus berupaya menjauhkan diri dari tantangan serta selalu menghindar dari rintangan. Pada akhirnya kita hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja. 

Impian memang dimiliki, tapi hanya mimpi "rendahan" yang bisa dengan mudah dicapai oleh siapa saja. Kalaupun impian besar sudah digenggam, hal itu belum menjamin keberhasilan karena kita enggan beraksi dengan dalih satu dan lain hal. 

Kita senang berdalih, memberi alasan, dan memberikan penyangkalan dengan "tapi" untuk banyak hal hebat yang sebenarnya bisa dilakukan. 

Sebenarnya bukan kita tidak bisa atau tidak mampu untuk menggapai sesuatu yang luar biasa dalam hidup, kenyataannya didalam diri kita ini masih menyimpan satu hambatan besar. Yaitu Reason, dalih, atau alasan.

David J. Schwartz bahkan menyebut keberadaan hambatan ini laksana sebuah penyakit. Penyakit kegagalan. Terkait dengan hal ini, David J. Schwartz menyebutkan setidaknya ada empat bentuk dalih yang menjadi sebab musebab terkekangnya potensi besar kita, yaitu dalih kesehatan, dalih intelegensi/kecerdasan, dalih usia, dan dalih nasib. 

Bukankah kita sering menjadikan alasan kondisi kesehatan atas ketidakmampuan kita berkarya sesuatu yang besar? Bukankah kita pernah menjadikan tingkat intelegensi sebagai kambing hitam tertinggalnya kita dari orang lain? Bukankah kita pernah membawa-bawa usia sebagai patokan untuk keberhasilan? Dan bukankah kita berulang kali mempermasalahkan nasib untuk kegagalan yang kita alami? Memberikan dalih atau alasan adalah cara paling umum untuk membela diri sendiri. 

Tidak ada kemajuan yang kita buat dari dalih yang kita sampaikan. Harapan untuk dimaklumi dan dikasihani hanya ada didalam benak orang-orang yang enggan beranjak dari zona nyaman yang sudah terlanjut nikmat dijalani.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline