Lihat ke Halaman Asli

Ada Superman Di Merapi

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14132570721735045624

Aku harus cukup puas hanya sampai di sini. Perjuangan tadi malam sudah sangat luar biasa bagiku, peluh malam hari, tenaga yang terforsir, debu yang memenuhi lubang hidung, dingin yang menyergap, paru-paru yang seakan mau meledak dan untungnya ada rembulan yang menemani selama di jalan yang penuh debu, kericil, batu dan bila tidak hati-hati maka akan tergelincir.

Aku harus cukup puas sampai di sini. Memandangi silhuet Merbabu, mengamati tebing-tebing yang menyangga pasar bubrah dan memandangi pucuk merapi. Sekali lagi memandangi rembulan yang tidak utuh bentuk bulatnya.

Menjelang pagi ini, aku sama beruntungnya dengan kumpulan manusia yang ada di puncak Merapi, karena mereka sama-sama tidak bisa menyaksikan sun rise karena tertutup awan.

Aku harus berterima kasih kepada pos 2, karena sudah memberikan tumpangan tidur entah sejak jam berapa tadi dini hari. Sudah tak sempat lagi melihat jam di handphone, tahu-tahu terbangun celorot warna jingga sudah memenuhi langit timur. Akupun tidak tertarik lagi untuk mengambil foto dengan background matahari terbit yang biasanya sangat dielu-elukan oleh para pendaki, bahkan kemunculannya kadang ditepuktangani. Bahkan aku cuek saja ketika beberapa pendaki berpotret menghadap ke barat dengan harapan memperoleh kenangan jingganya matahari pagi di Merapi.

Aku memang mengagumi pucuk Merapi dengan bentukannya.. serasa luar biasa bisa berada didekatnya. Apalagi beberapa kali sepanjang hidupku Merapi sudah menumpahkan kekesalannya dan meluluhlantakkan yang ada dialiran wedus gembelnya.

Setelah berkali-kali memandangi puncak Merapi dari jarak 2.04km, aku merasa harus cepat turun sebelum pendaki yang jumlahnya ratusan itu turun bersamaan, karena debu akan mengepul seperti diterbangkan ribuan kuda perang yang berlari kencang.

Ternyata untuk turunpun harus dengan ektra hati-hati, debu yang sangat lembut bercampur kerikil dengan sudut kemiringan lebih dari 45• adalah faktor penentu kecelakaan, paling tidak penyebab terpeleset dan pantat atau tangan adalah sasaran empuk.

Dalam menuruni pos 2, aku melihat 2 orang wanita membawa kayu bakar digendong. Aku yakin kayu bakar itu pasti lebih berat dari ranselku, anehnya wanita-wanita ini menuruni bukit ini dengan kelincahan kakinya yang mengenakan sepatu boot, mereka lebih cepat bergerak daripada aku. Bahkan kucoba mengikuti tapi aku tidak bisa mengejarnya.

Aku beruntung turun gunung belum banyak yang ikut turun, sehingga hanyalah aku yang menimbulkan debu berterbangan. Tapi tidak seberapa lama, belasan orang asing mengejar ruteku, mereka dipandu oleh pemandu lokal yang tahu benar seluk-beluk dan lekak-lekuk maupun lika-liku terjalan tebing di situ. Cepat mereka menuruni tebing, begitu pula orang asingnya.

Dari kejauhan aku melihat seorang wanita asing yang digendong orang secara bergantian, sesekali mereka berhenti untuk berganti penggendong. Wanita ini memiliki pen dikakinya ternyata lepas, sehingga terasa nyeri bila dipakai berjalan. Penggendong ini juga orang yang luar biasa, bayangkan menuruni Merapi dengan menggendong wanita yang bisa berbobot 65 kg.

Sampai di bawah para teman wanita asing ini menjuluki mereka adalah para superman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline