Lihat ke Halaman Asli

Nickita Agiesya Putri

Undergraduate student of English Language and Literature at Universitas Airlangga

Agus Salim, Dedikasi Kuat Seorang Pemimpin

Diperbarui: 14 Oktober 2024   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Haji Agus Salim adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang dijuluki dengan nama 'The Grand Old Man'. Beliau merupakan tokoh dari Partai Sarekat Islam serta salah satu dari anggota Panitia Sembilan pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim dikenal sebagai sosok yang gigih dan ahli dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, baik sebelum Indonesia merdeka maupun sebelum Indonesia merdeka di kancah nasional maupun internasional.

Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashoedoel Haq yang berarti 'pembela kebenaran' di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884. Ayah Agus Salim, Sutan Muhammad Salim bin Abdurrahman Dt. Rangkayo Basa bin Tuwanku Imam Syekh Abdullah bin Abdul Aziz, bekerja sebagai seorang jaksa di sebuah pengadilan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Agus Salim merupakan putra kalima dari bapaknya dan putra pertama dari ibunya, Siti Zaenab.

Agus Salim lahir dalam lingkungan keluarga yang terpandang, oleh sebab itu beliau dapat menempuh Pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah dasar Eropa di Riau dan tamat pada tahun 1898. Beliau melanjutkan Pendidikan di Hogere Burgerschool (HBS) atau sekolah menengah tingkat atas di Jakarta dan tamat pada tahun 1903. Ketekunan dalam belajar menuntun beliau pada kemahiran menguasai sembilan Bahasa asing, diantaranya adalah Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang. Berkat kepandaiannya, Agus Salim menjadi lulusan terbaik HBS di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Agus Salim mendapat tawaran dari pemerintah Belanda untuk bekerja pada Konsulat Jenderal di Jeddah pada 1906 setelah sempat gagal melanjutkan studi ke luar negeri, yaitu di perguruan tinggi Ilmu Kedokteran di negeri Belanda. Beliau bekerja sebagai ahli penerjemah di Jeddah, sekaligus mengurus jemaah haji di Indonesia pada tahun 1906-1911. Pasca kembali dari Jeddah pada 1911, Agus Salim kembali ke Jakarta dan bekerja di Bereau voor Openbare Werken (BOW) atau Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta. Karena beberapa alasan, Agus Salim tidak menyukai pekerjaannya dan akhirnya kembali ke ke kampung halamannya dan mendirikan sebuah sekolah dasar swasta di Kota Gadang bernama Hollandsche-Inlandsche School (HIS). Agus Salim menikahi Zaitun Nahar yang merupakan saudara sepupunya melalui garis bapak setelah setahun menetap di Padang. Dari pernikahannya dengan Zaitun Nahar ini, beliau memperoleh sepuluh anak.

Pada tahun 1915, Agus Salim kembali ke Jakarta dan memulai karir politiknya. Agus Salim bersama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan Abdul Muis mendirikan partai bernama Sarekat Islam. Mereka berdedikasi untuk saling berjuang memajukan, menata, serta menyusun kehidupan umat muslim dalam berbagai aspek dengan berasaskan Islam yang meliputi diantaranya, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Salim berjuang membela Sarekat Islam dan menjauhkan segala paham dan penetrasi komunis darinya dengan berbagai cara, seperti melakukan giat disiplin partai, serta berperan aktif dalam polemik antara golongan nasionalis dan Islam yang berbeda mengenai dasar negara. Dalam suatu situasi mendesak, Agus Salim mengusulkan agar partai mengubah sifat partai yang nonkooperasi menjadi partai yang bersifat terbuka dan bersedia bekerja sama dengan siapa saja asalkan sama prinsip dan pemikirannya. Karena usulan ini ditentang oleh berbagai pihak dalam partai, beliau akhirnya dikeluarkan dari partai pada tahun 1936 dan mendirikan Gerakan Penyadar.

Agus Salim menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1921, mewakili PSII selama satu periode serta menggantikan Tjokroaminoto sampai tahun 1923. beliau mengambil tempat sebagai oposisi dalam Volksraad. Untuk pertama kalinya, sidang Volksraad menggunakan Bahasa Indonesia oleh Agus Salim. Agus Salim memutuskan untuk keluar dari Volksraad pada tahun 1923 karena baginya, Volksraad beserta segala aktivitasnya hanyalah "komedi omong kosong yang disensor" oleh Belanda. Sarekat Islam menyatakan diri tidak lagi duduk di dalam Volksraad setahun setelah Agus Salim memutuskan untuk keluarga, yakni pada tahun 1924. Pada 11 September 1933, beliau menyusun manifesto perjuangan PSII bersama Tjokroaminoto. Agus Salim diangkat menjadi Ketua Dewan Partai setelah wafatnya Tjokroaminoto pada 17 Desember 1934.

Sejak Jong Islamieten Bond dibentuk, Agus Salim aktif dalam pembinaan para intelektual Islam. Selain itu, beliau juga aktif dalam bidang jurnalistik dan memimpin redaksi beberapa surat kabar seperti Neraca, Fajar Asia, Het Licht, dan lain-lain. Agus Salim menjadi penasihat kaum yang bergerak di bawah tanah bersama Ir. Soekarno pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942 sampai 1945. Agus Salim menjadi anggota PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) sejak didirikan pada 9 Maret 1943.

Pada masa menjelang kemerdekaan, Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) didirikan pada tahun 1945 dan Agus Salim menjadi anggotanya. Mewakili organisasi Penyadar, Agus Salim ditugaskan dalam bidang merancang Undang-Undang Dasar. Pasca kemerdekaan, Agus Salim berpartisipasi dalam pengorganisasian organisasi Masyumi. Dalam bidang pemerintahan, beliau menjadi Menteri Muda Luar Negeri dan Menteri Luar Negeri.

Berkat kemampuan diplomasinya yang sangat mumpuni, Agus Salim seringkali mengikuti perundingan-perundingan besar bersama dengan negara lain. Agus Salim menjalin hubungan persahabatan dengan Mesir pada 10 Juni 1947. Melakukan perjanjian dengan Suriah yang ditandatangani pada 2 Juli 1947 dan dengan Arab Saudi pada 21 November 1947. Pada 12 Agustus 1947, Agus Salim mewakili Indonesia di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama dengan Sutan Syahrir. Agus Salim menghadiri perundingan yang dilaksanakan di atas kapal Amerika USS Renville pada tanggal 8 Desember 1947, serta ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus 1949 bersama dengan Mohammad Hatta. Beliau mewakili pemerintah Indonesia menjadi pemimpin perutusan Republik Indonesia ke Inggris menghadiri penobatan Ratu Elizabeth II di London, Inggris, bersama Sri Paku Alam IX pada 3 Juni 1953.

Selama hidupnya, Agus Salim juga dikenal sebagai penerjemah dan penulis buku. Beliau menghasilkan cukup banyak karya tulis, diantaranya dalam bidang agama, politik, pendidikan, dan kebudayaan. Agus Salim wafata pada di usia 70 Tahun pada tanggal 4 November 1945 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau mendapatkan beberapa penghargaan sebagai apresiasi dan pengenangan perjuangannya dalam meraih kemerdekaan Indonesia, diantaranya : 1) Bintang Mahaputra Tingkat I dari Presiden Republik Indonesia/Pangti ABRI 17 Agustus 1960; 2) Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dari Presiden Republik Indonesia/Pangti ABRI 20 Mei 1961; dan 3) Pahlawan Nasional, SK. Presiden RI No. 657 Tahun 1961.

Referensi :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline