Lihat ke Halaman Asli

M Ginanjar Eka Arli

Guru, Penulis, Editor

Pemuda, Jomblo, dan Masa Depan Bangsa

Diperbarui: 3 Desember 2018   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

desain pribadi

Pernah gak sih kalian membayangkan suatu hari datang ke rumah calon mertua, berkenalan dengan mereka, lalu ditanyakan sebuah pertanyaan horor yang membuat hampir seluruh pemuda bergidik ngeri. "Apa pekerjaannya sekarang?"

Tentu saja, menikah itu perkara mudah. Namun, tanggung jawabnya itu yang susah dipertanggungjawabkan

Di balik ijab sah yang kita (?) ucapkan, terdapat kewajiban menafkahi secara lahir dan batin. Di balik kalimat ijab qabul yang kita (?) ikrarkan, terletak biaya kuliah, gamis model terbaru, hingga gawai dengan aplikasi terkini yang tengah menanti di ujung sana.

Akhirnya, solusi yang mau tidak mau harus kita upayakan hanya satu: bekerja.

Di era milenial yang maju pesat ini--yang disebut orang-orang sebagai era Teknologi 4.0--tentu saja bentuk pekerjaan telah beraneka ragam. Bekerja tidak dapat diartikan sebatas berpakaian rapi lengkap dengan dasi, berangkat pagi dan pulang kala petang hari. Tidak. Tentu saja tidak. Hanya orang tua yang sudah menua dimakan zaman yang konon masih berpikiran sebatas itu.

Dengan data masyarakat pengguna internet yang diperoleh dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Republik Indonesia sebanyak 56%, yakni sekitar 143 juta jiwa--khususnya anak milenial sejumlah di atas 60%, maka dapat kita yakini bahwa angka tersebut memiliki banyak potensi besar. Selain jumlah target market yang dapat dikatakan sangat potensial, di sisi lain juga hal ini bisa menjadi peluang usaha yang besar juga, terutama untuk para anak muda di Indonesia.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kemkominfo, Rosarita Niken Widiastuti, dalam Forum Merdeka Barat (FMB'9) di Bandung (29/11) mengatakan bahwa pembagian akses internet dalam masyarakat berkisar untuk chating sebesar 60%, browsing 50%, dan video streaming 35%, sementara pembuatan aplikasi 24%, pembuatan program 5%, dan transaksi 15%.

Bisa kita bayangkan, budaya konsumtif masyarakat kita masih cukup tinggi ketimbang pemberdayaan untuk pengembangan diri. Maka, hadirnya berbagai start up menjadi salah satu kekuatan juga yang dapat mendukung kemajuan bangsa di era digitalisasi ini.

Sebut saja salah satu contohnya yakni aplikasi Go-Jek. Dengan adanya start up tersebut, banyak budaya masyarakt yang kini cenderung berubah. Dari segi transportasi, ketimbang menunggu bus dan angkot, sekarang kita bisa langsung diantar menggunakan gojek. Lapar? Tinggal pesan gofood dsn makanan segera diantar. Bahkan, pemesanan tiket dan lainnya bisa menggunakan fasilitas GoTix dan semacamnya.

Bila ditilik dari banyaknya capaian-capaian di berbagau bidang ini, maka Dirjen IKP dengan optimisnya percaya bahwa pada tahun 2030 nanti, Indonesia berpotensi menjadi negara maju kelima di dunia. Tentu saja, untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya sinergisitas antara semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Atas dasar hal tersebutlah, pemerintah kemudian tak tinggal diam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline