Peluncuran apa yang masih bisa kita lihat spetakuler dan heboh sampai hari ini. Peluncuran satelit Indonesia, peluncuran smartphone terbaru, peluncuran model mobil terbaru?, ya, masih kita dengar dan lihat. Masih ramai yang datang pada pameran smartphone dan otomotif.
Bagaimana dengan peluncuran buku terbaru, aneka video, start up,dan lahirnya sebuah aplikasi? Gaungnya tak begitu kita dengar. Tetapi tahu-tahu, lihatlah di google play dan google buku. Ratusan ribu aplikasi untuk kesenangan umat manusia ada di google play, begitu jumlah buku di google buku, Jutaan pasang mata dengan setia pelototi youtube. Setiap waktu ada saja video baru yang di upload ke sana. Betapa tak terhitung jumlah foto yang berhasil tercipta dan ditayang Instagram secara real time. Awalnya hanya untuk kesenangan, namun rupanya ada hal lain tersirat dari semua itu.
Saat ini kita telah dikejutkan dengan era baru yang disebut disrupsi innovation. Fenomena persaingan dari kreatifitas manusia dalam menciptakan mesin dan alat beserta turunannya. Telah menimbulkan masalah yang mengganggu suatu kejadian atau kebiasaan terdahulu, aktivitas manusia, atau proses yang sudah ada sebelumnya. Kehadirannya tidak disadari seperti siluman yang tiba-tiba ada tapi wujudnya hanya bisa dilihat dan tak bisa diraba, tetap halimunan. Contohnya seperti kehadiran buku-buku digital atau mata uang digital (cryptocurrency) seperti bitcoin.
Ada pula rupa dapat bergerak dalam bentuk halimunan tapi wujud/fisik nyatanya ada. Akhirnya secara diam-diam tapi pasti mengerus kemapaman yang sudah ada. Sebutlah pasar taksi konvesional yang digerus taksi online.
Tak terkecuali dunia pendidikan saat ini juga sudah disesaki model pergerakan ke arah berbasis Massive Open Online Course (MOOCs) atau sistem pembelajaran berupa kursus daring. Terlebih, itu biasanya dilakukan secara besar-besaran dan terbuka. Bertujuan agar bisa menjaring banyak orang di banyak kawasan tanpa tapal batas. Sebutlah misalnya Try out ujian online, baik untuk pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi.
Era baru disrupsi innovation,itu ungkapan yang didengungkan oleh Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sutrisna Wibawa. Menurutnya, Era disrupsi bukan sekadar fenomena hari ini, melainkan fenomena hari esok. Yaitu ditandai empat indikator, yaitu adanya keuntungan lebih mudah, lebih murah, lebih terjangkau, dan lebih cepat.
Selain hal tersebut penulis menambahkan pertanda lainnya yaitu bikin nyaman dan bercandu. Nyaman dalam genggaman dan ketukan jemari tak perlu tanpa ikatan atau berlangganan. Berawal basis sosial, namun akhirnya berubah menjadi basis monetisasi.
Era berlangganan mungkin sudah kuno dan cenderung mengikat pemakai atau pengguna di awal-awalnya lebih murah. Tetapi berjalan waktu, iming murah yang dulu ternyata akhirnya makin mahal. Sebutlah tv digital/satelit, langganan jasa operator seluler, dan sebaginya.
Orang sekarang lebih Cenderung tidak mau terikat dan bisa pindah ke lain hati dengan mudah. Membaca gelagat ini maka muncullah fenomena situs online dengan pembelian sistem kuota yang bisa dibeli digunakan kapan saja. Sebutlah kuota menonton di viu, tv/bioskop online, dan sebagainya.
Inilah yang penulis sebut era momok, 'mobile to mobile with kindness'. Semua bermula dari kebaikan hati untuk kebaikan dan kemudahan umat manusia. Tetapi ujung-ujungnya berakhir dengan pendapatan (monetisasi) yang tidak sedikit bagi penemu dan pengelolanya. Sebutlah contohnya google search, facebook, BBM, Instagram, twitter dan lainnya. Mereka menjarin iklan sebagai masukan secara diam-diam sementara penggunanya tetap merasa diuntungkan.
Bagaimana dengan para guru menyikapi disrupsi innovationini? Harus ikut, selagi itu menguntungkan. Lihatlah kelas fisik yang biasa kita sebut ruang kelas, disaingi google Classroom. Dengan segala kelebihannya bisa menyimpan data belajar berusaha membuat rasa nyaman dan kemudahan bagi guru dan siswa akhirnya kita tergoda. Bila rata-rata semua sekolah di dunia ini mengadopsi google Classroom, bisa jadi nanti jadi berbayar atau dipasangi iklan oleh penemunya.