Seorang bijak pernah memberi nasehat jika saya ingin bepergian. Katanya, bayangkan lebih dahulu tujuan dan tempat yang hendak saya tuju dengan baik dengan pikiran jernih. Imajinasikan liku dan zig-zag jalan, tikungan, tanjakan, dan jalan berlobang yang akan dilalui. Seolah-olah kita sudah berada di sana. Jika tidak merasa ada aral melintang, dengan rileks tanpa beban, berangkatlah dengan penuh kepastian sampai di tujuan.
Tetapi bila ada gangguan berasa tak bisa mengingat atau membayangkan jalan yang hendak didahului atau tempat yang hendak dituju, urungkanlah niat. Begitu nasehat orang bijak tersebut. Mungkin itu pengalaman spiritualnya. Sayapun mencoba apa yang disarankannya, Alhamdulillah, daya imajinasi saya masih bisa mengambarkan apa yang pernah saya lalui dengan baik. Lalu bagaimana membayangkan sebuah tempat yang belum pernah kita lalui dan kunjungi? Dengan merenung semampunya.
Mengulas imajinasi, salah satu tokoh yang memiliki perasaan dan perhatian lebih tentang imajinasi adalah Ursula K. Le Guin (novelis Amerika). Ia pernah mengatakan Imajinasi adalah alat tunggal hebat yang dimiliki manusia yang patut diberdayakan.
Di Amerika imajinasi umumnya dipandang sebagai sesuatu yang berguna saat kita tak bisa lagi melihat atau menonton sesuatu di layar kaca hape maupun TV. Maka jalan satu-satunya adalah melihat dengan imajinasi.
Menurut KBBI, imajinasi adalah kemampuan untuk membayangkan yang pernah ada ataupun yang akan ada sehingga mendorong manusia berkreativitas, menghasilkan pemikiran yang jernih dan mengilhami rasa kemanusiaan yang saling berterima satu sama lain.
Bagi kita pendidik, bagaimana memanfaatkan imajinasi ini berguna meningkatkan kreatifitas anak dalam menimba ilmu. Bermain imajinatif secara alami sudah terjadi pada anak-anak, mulai ketika anak mulai berpikir konkrit sampai ia dewasa, namun kebiasaan berpikir imajinatif belum maksimal, perlu diajarkan dan diperkuat sepanjang hidupnya.
Anak-anak membutuhkan latihan dalam berimajinasi karena mereka juga membutuhkan latihan dalam setiap menerapkan keterampilan dasar dalam kehidupan mereka. Keterampilan itu untuk menguatkan fisik dan mental, untuk pertumbuhan, untuk kesehatan, untuk kompetensi, dan untuk kesenangan. Le Guin menegaskan lagi, "Kebutuhan imajinasi ini terus berlanjut sepanjang pikiran (akal) masih hidup."
Dalam konteks imajinasi menghasilkan pikiran yang jernih, sebuah studi tahun 2007 terhadap para calon guru, 68 persen mengatakan mereka percaya bahwa para murid perlu fokus untuk menghafal jawaban yang benar daripada memikirkannya secara imajinatif. Kalau kita saat ini sudah jadi guru 'sungguhan', tentu perlu memahami yang perlu diperkuat itu bukan hafalan.
Tetapi bagaimana imajinasi dan kreatifitas memperkuat memperkuat cara menghafal sehingga apa yang dihafal tidak mudah lupa. Lihatlah bagaimana Tan Malaka berkreatifitas menemukan 'jembatan keledai' untuk mempermudah menghafal.
Dalam sebuah ceramahnya tentang daya kreatifitas, Sir Ken Robinson mengatakan bahwa, 'manusia terlahir dengan kreativitas dan kita mendapatkan banyak pelajaran dari kreatifitas'. Terbukti kreatifitas hadir dan lahir tak lepas dari daya berimajinasi sesorang yang terasah dengan kumpulan atau akumulasi beragam pengetahuan.
Saat ini dunia pendidikan kita pada umumnya berfokus pada asas tunggal, yaitu pada tolak ukur nilai akademik (IQ) semata. Nilai akademik anak dijadikan patokan menentukan anak naik kelas atau lulus sekolah, tanpa mempertimbangkan aspek EQ, SQ dan LQ yang lebih terukur. Dengan demikian, satuan pendidikan dan aturan yang ada di dalamnya belum benar-benar peduli untuk mengembangkan Quotiens (Qs) yang lain, padahal antar Qs saling memiliki keterkaitan bahkan memperkuat daya imajinasi dan kreatifitas.