Malam ini cerah, secerah senyummu kala melihat biduan idolamu melantunkan lagu sedih. Memberikan kita kebebasan untuk berdansa di dalamnya. Malam ini cerah, kering, dan bebas. Memberikan kebebasan bagiku untuk menggandeng tanganmu. Tapi tak kulakukan.
Beriringan dengan angin malam yang berjalan lambat, kita berjalan bersama. Masih tanpa bergandeng tangan. Aku berjalan di depan, kau berusaha menyusulku. Tetap saja, kau tertinggal jauh. Aku menoleh, menunggumu. Ya, aku selalu menunggumu, dalam segala hal.
Jauh sudah kita berjalan (tanpa bergandeng tangan), hingga aku melihatmu memandang takjub pada bianglala itu. Bianglala raksasa yang berputar dengan ringkihnya. Ringkih karena bagiannya terdiri dari besi-besi usang yang mungkin sudah berkarat, lalu dicat kembali.
Kita berdua memasuki bianglala ringkih itu. Menundukkan kepala di pintu masuk, takut terbentur. Duduk berhadap-hadapan, saling memandang, tanpa ada cinta.
Mungkin kamu tidak tahu, dan aku memang tidak memberitahumu. Sesungguhnya aku takut ketinggian. Aku takut melihat luasnya pandanganku, sedang aku bisa jatuh kapan saja.
Tapi, jika ketinggian dalam bianglala ringkih adalah satu-satunya cara untuk memandangmu tanpa merasa bersalah, maka mari melakukannya.
Perlahan bianglala ringkih berputar. Aku tak tahu sudah seberapa tinggi kita berada, karena aku hanya melihatmu. Melihatmu tersenyum nakal, menggoda aku yang ketakutan. Melihatmu tersenyum bahagia, walau mungkin tidak sebahagia dulu, saat bersamanya.
Semakin lama bianglala berputar, semakin cepat. Perlahan tapi pasti, kecepatan tinggi bianglala ringkih yang ternyata kokoh ini, memakan logikaku. Akalku hilang, impianku hilang, masa laluku hilang. Yang ada hanyalah...
Saat ini.
Bahwa saat ini, aku tak peduli pada masa depan yang menunggu kita. Bahwa saat ini, aku tak peduli kebencianku padamu di masa lalu. Bahwa saat ini, aku tak peduli dengan harapanku untuk tidak menghabiskan sisa hidup denganmu. Bahwa saat ini, aku tak peduli dengan impianku untuk mencari penggantimu. Bahwa saat ini, aku bahkan tak peduli yang berada di depanku adalah kamu.
Yang kutahu, di sini, di bianglala ini, aku bahagia bersamamu.
Walaupun nanti, saat bianglala ini berhenti, dan kaki kita kembali menginjak bumi, logikaku akan kembali memakan hatiku.
Saat ini, untuk saat ini saja, hanya di dalam bianglala ini, aku ingin mencintaimu kembali.
Bianglala berhenti, kita turun kembali dengan menundukkan kepala. Kita berjalan seperti tadi,
Tetap tanpa bergandeng tangan...
Yogyakarta, 6 Desember 2013
sumber gambar: http://3.bp.blogspot.com/-W1W1BwCgun0/UUCy6B2HBoI/AAAAAAAABAk/uOzaC98oAjw/s1600/bianglala_sekaten_by_e3w-d4mfhc5.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H