Tanpa rencana, akhirnya aku melewati liburan paskah di puncak gunung lagi. Setelah lama sekali aku tidak melakukan perjalanan yang panjang, akhirnya aku melakukannya lagi. Gunung Ciremai ditambah dengan rayuan maut dari L-271 membuatku turut serta melangkah. Perjalanan panjang, setelah cuti yang cukup panjang pula. 2 tahun sudah aku tidak bersusah2 ria berjalan di jalanan terjal yang penuh bebatuan. 2 tahun pula aku tidak merasakan segarnya udara pegunungan dengan berbagai macam vegetasinya. Dan aku kembali.... Dan puji tuhan bahwa ternyata aku masih mampu. Syukur alhamdulillah aku masih bisa turun dengan berlari, tidak merayap. :) Karena aku adalah korban rayuan maut, maka akupun mencoba peruntungan dengan rayuan mautku. Rasanya kurang pas jika jauh2 ke Cirebon hanya berdua saja. Terlebih lagi saat itu ada L-269 yang mau mengantarkan kami sampai Stasiun Senen. Akupun mengeluarkan jurus maut untuk merayunya agar tidak hanya mengantar sampai stasiun, tetapi langsung saja ke Ciremai. Dengan sedikit suapan dan tambahan rayuan dari L-271, akhirnya dia tergoda. yeah... we are the win.... :P Setelah adegan konyol di stasiun dan sekitarnya, kamipun melaju dengan Bis menuju kota Cirebon. Setelah eyel-eyelan sama kondektur, turun di tempat yang salah, bertemu dengan 2 anak muda sedang mencari ibunya yang baru saja kena rampok, dan duduk2 manis di sebuah tugu yang bertuliskan "berhati besar" pada pagi buta, akhirnya kami dijemput dengan selamat ke Universitas Swaganti. Thanks to Gunati's welcome party team... hahaha Tiba di Cirebon, rasanya kurang pas juga kalau tidak langsung berburu makanan khasnya, Nasi Jamblang. Karenanya, setelah cukup beramah-tamah dan istirahat sebentar, kamipun langsung memaksa tuan rumah untuk mengantarkan kami berburu nasi jamblang. Kami menyebutnya Nge-Jam. Oleh teman baru kami yang bernama "Busix", kami di antarkan ke sebuah warung tenda di pinggir jalan yang menjual nasi jamblang. Dan untuk membuat orang percaya bahwa kami sudah makan nasi jamblang, maka kami berfoto2 ria di depannya. Nggak lucu kan kalau sepulangnya dari Cirebon, kami di bilang hanya mendongeng karena tidak ada bukti otentik? hahaha Sayangnya, di warung yang pertama itu, persediaan nasinya sudah habis. Padahal lauk pauknya masih banyak sekali, dan perut kami (L-268 dan L-271) masih belum berasa "nendang". Akhirnya kami melaju menuju warung selanjutnya. Nge-Jam yang kedua. Maklum, kami kan sedang dalam masa pertumbuhan, karenanya membutuhkan banyak asupan makanan bergizi. :P Dari hasil obrolan bersama penjual nasi jamblang yang pertama, aku mendapatkan beberapa informasi yang menjawab rasa penasaranku. Yang pertama adalah kenapa di sebut nasi jamblang. *menurut si ibu* Jamblang adalah nama sebuah wilayah, dimana banyak sekali penduduknya yang membuat nasi bungkus daun jati ini. Karenanya, nasinya di sebut nasi Jamblang. Lebih karena merujuk pada nama wilayah asalnya. Kemudian yang kedua, adalah kenapa di bungkus daun Jati. Apakah karena di Cirebon banyak perkebunan jati, atau untuk menghormati Sunan Gunung Jati?? Rupanya *menurut si ibu* di Cirebon tidak ada perkebunan jati. Daun jati yang di gunakan ini kebanyakan di datangkan dari Tasik Malaya. Kemungkinan jaman dahulu kala memang banyak perkebunan jati di Cirebon, tetapi sekarang tidak lagi. :) Puas nge-Jam, kamipun beranjak menuju pasar tradisional di kota Cirebon untuk membeli logistik pendakian. Kami memasuki pasar dan memulai dengan coba2 "cengdem" tanpa membeli. (semoga mas2 yang jualan nggak dendam sama kita ya dip). heehehe Kemudian kami memulai belanja bumbu, sayur, dll. Pasarnya rupanya memang pasar banget. Becek, wangi semerbak dimana2. Berasa lama sekali aku nggak masuk pasar tradisional. :P Setelah selesai belanja di pasar, kamipun melanjutkan perburuan ke pasar modern. hahaha.... tanggung banget yaks... Scara masih juga belanja di pasar modern, lebih banyak lagi jumlah rupiahnya. ck..ck..ck... Akhirnya, semua urusan perbelanjaan selesai, kamipun kembali lagi ke kampus untuk packing. Perjalanan kali itu penuh dengan tragedi yang berhubungan erat dengan becak. Kami semua hampir tabrakan dengan becak. Semua adalah antara motor dan becak. Becak...becak... (hahaha.... pokoknya yang salah becak-nya kan). :P Setelah semua persiapan lengkap dan masuk semua ke dalam tas kami, kamipun berangkat menuju Kuningan dengan naik motor. Cukup banyak personil yang mengantar kami (ge-er dah...). Kami berhenti di rumah Wak Nana yang sudah menjadi rekanan teman2 Gunati. Bercanda, dan bercanda terus sampai mabok... :) Karena teman2 Gunati sudah kenal baik dengan wak nana dan pihak TeEnGeCir, maka kami hanya perlu membeli 3 tiket, bukan 6. Lumayan... Satu tiket seharga Rp. 6500. Masih murah dan semoga akan selalu murah... Kamipun berpisah dengan rombongan pengantar. Kami mendaki ber-6, dengan 3 orang anak Gunati. Masih bocah2... hahahaha Sampai di simpang jalan beton terakhir, ada tulisan Taman Nasional Gunung Ciremai. Karenanya kami berfoto dulu untuk di persembahkan pada L-270 yang tidak bisa ikut karena Kondangan. Mulai dari sana, kami akan menempuh perjalanan yang cukup panjang dengan pemandangan di kanan dan kiri adalah kebun sayur. Ini mengingatkan ku pada jalur pendakian gunung gede yang melalui gunung putri. Hanya saja, kebun sayur di jalur palutungan ini sedikit sekali. :P Selayaknya ketika masih di darat, sepanjang perjalanan kamipun selalu di iringi canda tawa (pada awalnya). Namun stamina memang tidak bisa di tipu dan di bohongi. Semakin lama, suara atau canda tawa itu kian berkurang dan lama2 menghilang. Seiring dengan berpindahnya posisi kedua tangan yang awalnya bergerak bebas menuju pinggang. Dengan berkacak pinggang, memang perjalanan sedikit lebih ringan. Tentu saja harus tahan dengan celetukan2 dari para bocah2 itu "kenapa perutnya nek? kenapa pinggangnya nek?" hehehhe Jalur yang kami lalui sebenarnya tidak begitu sulit. Tergolong mudah malah. Hanya saja karena waktu terburu malam, maka langkah kami sedikit lambat (bukan berarti kalau siang jadi cepat juga sih). Kami berjalan perlahan namun pasti, hingga tidak menyadari bahwa kami telah berjalan selama 50 menit tanpa berhenti. Kamipun memutuskan untuk beristirahat sejenak di padang ilalang (romantis kaaannn). Menurut informasi dari teman2 Gunati, kami akan sampai di pos Cigowong (yang ada sungainya) sekitar 2 jam perjalanan. Dan rupanya kami adalah rombongan tepat waktu. Pas sekali dengan waktu perkiraan, kami sampai di Pos Cigowong setelah menempuh 2 jam perjalanan. Di pos ini kami bertemu dengan 3 rombongan lain. 1 rombongan bersiap2 melanjutkan perjalanan, sedangkan 2 rombongan lain menyiapkan tenda untuk nge-camp di tempat itu. Kami? kami hanya mengagendakan untuk berhenti sebentar, memasak mie dan kopi, kemudian melanjutkan perjalanan kembali. The next destination adalah Pos Pangguyangan Badak (PB) yang akan kami gunakan sebagai tempat menginap malam itu. Antara Pos Cigowong dan Pos PB, ada sebuah pos kecil yang bernama Pos Kuta. Dan seperti pada perjalanan awal, kami masih juga menjadi rombongan tepat waktu. :P Kami tiba di Pos PB ketika waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh. Masih cukup sore sebenarnya. Tetapi karena kami tidak begitu mengenal jalur2 Ciremai ini, maka kami menuruti saja petunjuk teman2 Gunati untuk nge-camp di Pos PB. Saat itu di Pos PB telah ada 2 rombongan pula. 1 rombongan sudah sepi karena nampaknya penghuninya sudah lelap dalam tidurnya, Sedangkan yang 1 rombongan masih menyiapkan tenda. Kami mengambil posisi di antara kedua rombongan itu. Si Bocah2 itu langsung sibuk dengan pembagian tugas masing2, sedangkan kami para wanita2 segera sibuk menyiapkan diri untuk tidur. hahahhaa Pagi hari, kami dibangunkan oleh amukan yang mengguncang tenda. Amukan bocah2 yang sudah bosan membangunkan para ibu2 dengan suara. Rupanya, para bocah2 andalan kami ini sudah siap dengan sarapan lengkap dengan kopi hangat di depan kami. Dan para ibu2 yang mendadak menjadi pemalas ini mulai merangkak keluar dan mencari sumber kehangatan yang bisa di masukkan kedalam perut kami. Indahnya dunia ini.... :) Agenda sarapan berjalan dengan lancar, dan kemudian di lanjutkan dengan packing tentunya. Dan perjalananpun di lanjutkan... Masih dengan tepat waktu pastinya. Boleh kan bangga2 sedikit... :p Seperti narsis'ers2 yang lain, kamipun senantiasa mengabadikan diri berfoto di semua pos yang ada di sepanjang perjalanan. Namanya juga para dedengkot klub Akademi Cinta Gaya, jadi ya bawaannya gaayaaaaa...terus... Namun ada satu penyakit yang aku derita yang mendadak dangdut kambuh dalam perjalananku kali ini. Jiwa narsisnya sedikit nge-drop. Sepertinya ada yang kurang dalam perjalanan ini, sehingga aku tidak dalam kondisi sangat bernafsu untuk foto2. Sebenarnya aku tahu mengapa, namun sudahlah..kita lupakan saja. Karenanya, aku menitipkan kameraku kepada si Dewo, dengan sedikit pesan agar mengambil foto kami sesukanya, dan tanpa menuntut untuk sebentar2 di foto..... Sempat terjadi sedikit perdebatan di tengah2 perjalanan mengenai tradisi meninggalkan barang di tengah jalan selama pendakian ke puncak. Untuk kami para ibu2 darmawanita Lawalata, meninggalkan barang di tengah perjalanan, mengamankan dengan baik, dan mengambilnya lagi ketika sudah turun nanti adalah hal yang biasa. Alasannya adalah hemat energi dan efisiensi. Namun rupanya untuk teman2 dari Gunati yang bersama kami, itu adalah hal yang belum pernah di lakukan. Sedikit sulit juga meyakinkan mereka bahwa hal itu perlu dan layak di lakukan. Pada akhirnya, tetap saja para darmawanita Lawalata ini yang berhasil membujuk mereka. Jadilah 2 daypack saja yang dibawa. Daypack inti yang berisi semangka sebagai bukti dedikasi komandan 269 kepada perjalanan ini. hahahhaa Semakin mendekati pertigaan Apuy-Palutungan, kami mendenga suara2 di sebelah kiri. Suara2 itu berasal dari para pendaki yang mendaki melalui jalur Apuy, di punggungan yang berbeda. Dari peta dan juga keterangan dari banyak orang yang sudah pernah ke Ciremai, memang kami akan bertemu di pertigaan Apuy-Palutungan sebelum beberapa pos menuju puncak. Nampaknya pertigaan itu sudah dekat di depan kami. Ketika kami sampai di pertigaan Apuy-Palutungan, kami bertemu dengan beberapa kelompok pendaki yang sedang beristirahat. Memang sih, pertigaan itu menyediakan tempat yang luas dan nyaman untuk beristirahat. Kami bertemu dengan seorang pendaki yang sangat mirip dengan teman kami di Lawalata, dan kami langsung memanggilnya dengan nama teman kami. J-cheng. Di pertigaan itu, kami kembali harus merasakan yang namanya menjadi center of public. Dan ingatan kamipun melayang ke beberapa waktu yang lalu, ketika kami sedang dalam perjalanan touring motor ke Citarik untuk Rafting. Mirip banget. Dimana ketika kami sedang sibuk berfoto2 ria, kemudian beberapa orang mulai mendekat dan minta photo bareng. Selain minta foto bareng, beberapa orang juga mengambil photo kami. Dasar jiwa narsis sudah mendarah daging, maka kamipun dengan senang hati melayani permintaan sessi photo dari mereka dengan berbagai gaya. hahahahhaa..... aneh...aneh... Beberapa waktu berlalu, sessi photo sudah selesai, rasa lelah sudah berkurang, dan semangat sudah mulai kembali, kamipun melanjutkan perjalanan. Beberapa langkah dari pertigaan, kami berhenti lagi karena memenemukan sebuah prasasti yang di gunakan untuk mengenang seseorang. Seseorang yang telah meninggal di Gunung Ciremai dalam sebuah acara, beberapa waktu lalu. Kami membaca tulisan yang di torehkan di atas batu itu, dimana ada nama dan umur almarhum. Yang membuat kami termenung adalah umurnya. Lahir tahun 1991 dan wafat pada tahun 2007, yang berarti wafat dalam usia 16 tahun. Too young to die bukan? Dalam hati aku hanya berkata "Semoga tidak ada lagi anak2 muda yang meninggal di gunung manapun di dunia ini... Semoga engkau tenang di Sana dik... Kami akan selalu mencoba menjaga diri, agar selalu bisa kembali pulang ke rumah dengan selamat... Rest in peace brother..." Sedikit kesedihan menyentil hatiku ketika kami berjalan kembali. Tapi ya sudahlah..... namanya juga takdir. :0 Perjalanan setelah pertigaan Apuy-Palutungan mulai berupa tanjakan2 nyata. Kamipun mulai setia dengan gigi 1 pada kaki kami. Kami juga selalu saling mengingatkan sesama untuk tidak boros dalam menggunakan gigi selama berjalan. Si bocah2 itu selalu rajin mengingatkan kami dengan teriakan2 pelan "Nek, Tante, Emak, jangan lupa.... gigi satu ya...." hahahahaha.... baiklah anak muda... :p Di sepanjang jalur, semakin banyak pohon edelweis yang tumbuh. Namun sayang, rupanya belum tiba saatnya mekar. Jadi kami hanya menemukan beberapa pohon yang sedang kuncup. Sayang sekali, namun tidak mengurangi keindahan perjalanan kami yang really2 slow, but really2 sure.... :) Semakin mendekati puncak, jalur yang kami lewati semakin dan semakin berbatu. Semakin terjal, namun melegakan. Yaa... kami lega karena akhirnya tanda2 puncak sudah dekat sudah semakin terasa. hehehhee.... Inilah yang namanya semangat tinggi untuk beristirahat dengan segera, disamping dorongan untuk sesegera mungkin makan semangka. Sluruuupppp....sluruppppp.... ^_* Setelah memanjat, memilih jalan, dan bergelantungan di akar2 yang ada di jalur bebatuan sebelum puncak, kamipun sampai pada salah satu sisi puncak Gunung Ciremai. Awan sudah turun dan sempurna menutupi kawah. Tentu saja begitu, karena kami tiba di puncak sudah lewat tengah hari. Padahal waktu yang tepat untuk bisa menikmati kawah dan puncak gunung adalah pagi sampai menjelang siang. Tapi.... its okay... Nggak papa... toh waktu yang kami miliki memang tidak banyak. :) Aku dan 269 sampai lebih dulu di puncak, dan menunggu 271 untuk berfoto bersama. Setelah 271 sampai, kamipun berfoto di bibir kawah. Sayang sekali, triangulasi puncak Ciremai ada di sisi lain kawah ini. Sehingga kami tidak bisa berfoto disana. Terlalu malas untuk menempuh perjalanan dengan kabut tebal seperti itu. Maka kamipun iklas dan rela berfoto di salah satu rambu2 yang mengingatkan para pendaki agar tidak terpeleset. Untuk orang yang pernah mendaki Gunung Ciremai, pasti tahu bahwa kami ini sedang berfoto di salah satu sisi kawah Gunung tertinggi di Jawa Barat itu. Sisi yang di tempuh melalui jalur Apuy dan Palutungan. Namun, lain lagi cerita untuk orang2 yang belum pernah naik gunung itu dan tidak membaca ceritaku pada bagian ini. Mungkin mereka akan mengira kami sedang berfoto di depan sebuah kamar mandi/toilet. Maklum... yang biasanya ada rambu2 "awas kepleset" kan di toilet umum. Terlebih lagi background kami putih seputih dinding. Pengumuman, "Itu kabut di atas kawah boooo..." hahahahha Akhirnya, tiba saatnya bagi kami untuk membuka perbekalan yang sudah menggoda sedari kami memulai perjalanan. Semangka.... hahahaaaa.... Kamipun mulai mencari tempat yang nyaman untuk berpesta. Lebih tepatnya mengikuti dan berusaha mendekati medan magnet yang muncul tiba2 di tengah kabut. Untukku dan 269, kami menyadari betul kenapa dan mengapa kami tiba2 bergerak ke tempat itu, tempat yang terlindung dari badai yang mulai datang. Karena ada medan magnet itu. hahahaha Entahlah apakah 271 dan para pendekar kami menyadarinya. Yang penting pesta semangka terus berlangsung khidmat. Rupanya, kami tidak membawa banyak bekal. Mungkin karena kami saling mengandalkan ketika mempersiapkan bekal sebelum menimbun perbekalan kami yang lain dengan tumpukan rumput. Maka dari itu, kami hanya menghabiskan makanan yang kami bawa (yang sedikit) itu. Pendaki yang lain mulai muncul satu persatu, hingga akhirnya suasana puncak meramai. Tapi tetap saja, kabut yang turun dengan cepat membuat suasana tetap dingin dan semakin dingin. Kamipun berbagi bekal dan saling bercanda tawa. Medan magnet pun bergeser dan melebar. :) Aku lupa darimana saja asal para pendaki itu. Aku hanya ingat bahwa di antara mereka ada yang berasal dari Bandung, Kuningan, dan daerah sekitarnya. Jakarta juga ada dink.... Dari sekian pendaki, ada satu orang yang sangat nge-fans padaku. Ups.... tepatnya nge-fans kepada jaket merah kesayanganku. Windbreaker yang memang aku sangat sukai. Dia adalah mas2 yang berjaket kuning. Dari pertama dia melihatku muncul perlahan2 di belakangnya, dia sudah memperlihatkan ketertarikannya pada (jaket) ku. Dia menyebutkan dengan detail tipe dan merek jaketku, dan membuat aku bingung karena tidak mengerti. Aku baru mengerti ketika dia menjelaskan padaku kekaguman dan keingin-punyaan-nya terhadap (jaket)ku. :p "Adduuhh.. aku pengen banget lho punya jaket itu. Lebih2 yang warna biru. kereeenn " katanya Hehehe.... jadi kepengen geer. Si mas itu rupanya mempunyai benda yang membuat kami, darmawanita Lawalata ter-ngiler2 untuk memakainya berfoto. Yaakk.... Topi kuning yang bertengger mesra di kepalaku. Membutuhkan waktu yang lama dan jurus2 maut untuk merayu masnya agar mau meminjamkan topinya pada kami. Mungkin tampang2 kami memang tampak seperti perampok sejati, sehingga dia tidak bisa merasa yakin bahwa kami akan mengembalikan topinya. Aku bahkan sempat menggunakan jurus barter padanya. Aku menawarkan padanya untuk meminjamkan jaketku agar dia bisa berfoto menggunakan jaketku. Tapi kami juga harus mendapatkan topinya untuk kami pinjam. Dan rayuan itupun gagal. Akhirnya, kamipun pasrah dan mengganti jurus dengan jurus cuap2 beybeh alias ngobrol bersama ngalor-ngidul. Ujung2nya, kami mendapatkan topi itu, dan bergiliran melakukan photo session dengannya. :) Semakin lama, kabut semakin tebal dan badai nampaknya datang dengan cepat. Suara bergemuruh mulai membuat kami yakin untuk bergegas berkemas. Untungnya, kami masih sempat ingat bahwa kami belum melakukan photo bersama dengan para Gunati'ers. Karenanya, dengan sedikit menggigil, kami melakukan beberapa jepret photo. Alhamdulillah.... :) Inilah tim pendakian Gunung Ciremai antara 3 anggota darmawanita Lawalata-IPB dan 3 anggota muda Gunati-Unswagati. Kami menyebut pendakian ini sebagai pendakian Laguna. hahahha.... Kami adalah 3 wanita dari generasi yang berbeda, di temani oleh 3 anak2 muda dari generasi yang lebih berbeda lagi. Tapi disini, di Puncak Gunung Ciremai ini, kami selayaknya sama.... Sebagai Anak muda... Karena kami kan memang masih muda kinyis2... hehehehhe Kemudian, kami dan juga teman2 yang lain segera turun sebelum badai menutupi jalan kami. Selain itu juga kami harus segera turun sebelum badai membuat jalanan yang lewati menjadi licin. Akan sangat berbahaya nantinya jika jalanan terjal itu licin. Tidak licin saja sudah sulit, apalagi licin? :) Perjalanan turun berjalan dengan lancar kemudian. Barang2 kami juga aman, sehingga mungkin bisa digunakan sebagai referensi bagi temen2 Gunati dalam pendakian selanjutnya. Setelah melewati sebuah perdebatan mengenai tempat menginap, dan juga melihat bagaimana kemampuan peralatan kami, maka kamipun kembali menginap di tempat yang sama dengan tempat menginap di malam pertama. Pagi harinya, kami baru melanjutkan perjalanan menuju perkampungan. Begitulah cerita perjalanan kami dalam rangka menemani 271 melewati liburan. Perjalananku menggunung setelah sekian lama (2 tahun lebih) istirahat dari acara gunung-gunungan. Rupanya aku masih bisa melewati perjalanan panjang. Syukur alhamdulillah aku masih turun dengan berlari, dan bukan me-ngesot. ^_* Terimakasih untuk teman2 dari Mapala Gunati untuk semua bantuan yang telah di berikan sehingga kami bertiga bisa tertawa bersama di Sini. Dewo, Alfor, dan Kuya.... Kalian telah memanjakan kami yang biasanya mandiri ini.... hahahhaha. Temen2 yang lain, yang sudah mengantar jemput, membuatkan sarapan, menemani ngobrol dan lain2. Thanks for everything... :)
Ps : For the first story, i just copied from my blog... :p
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H