Geef mij maar nasi goreng~
met een gebakken e~
Wat sambal en wat kroepoek~
en een goed glas bier erbij~
Kalian pernah membayangkan apa yang perbedaan Mandela dengan Bung Karno? Kuberi sedikit bocoran. Coba googling sepenggal refrain lagu di atas. Lalu cobalah dengar dan nyanyikan liriknya.
Lagu keroncong bernada sendu itu berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng. Lagu itu dibikin oleh Wieteke van Dort, (dulunya) seorang warga negara Hindia-Belanda.
Dia lahir di Surabaya pada tahun 1943, saat Hindia Belanda tengah diduduki oleh pasukan Jepang. Rasnya mudah ditebak dari namanya: Dia Kaukasian. Masuk ke dalam golongan Europeanen jika merujuk penggolongan masyarakat pada masa Hindia Belanda.
Seniman kabaret yang kini dikenal dengan nama Tante Lien ini menciptakan lagu tersebut untuk mengungkapkan kesedihan masa kecilnya. Lagu itu merekam memori ketika Tante Lien dan keluarganya harus diusir Bung Karno dari kampung halamannya di Surabaya. Kala itu (1957-1960) hubungan diplomatik Indonesia-Belanda memang tengah tegang. Penyebabnya tak lain karena ketidakjelasan status Papua.
Bung Karno yang kadung habis kesabaran menghadapi Belanda pun menggelar Operasi Trikora. Tak cukup demikian, Bung Karno juga menyerukan sentimen anti-Barat. Sentimen ini berbeda dengan semangatnya ketika menyerukan anti-pemerintahan kolonial. Sebab di tahun itu Indonesia sudah merdeka.
Pemerintahan sipil sudah dalam komando penuh Bung Karno selaku kepala negara. Sedangkan pertahanan Indonesia sudah dilindungi oleh TNI, bukan lagi KNIL.
Pun demikian, Bung Karno tetap memainkan politik rasial demi mendukung Operasi Trikora. Bung Karno menginstruksikan nasionalisasi paksa terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap milik Belanda, baik publik maupun swasta.