Pemukiman kumuh yang berlokasi tepat di jantung kota. Barangkali inilah ironi terburuk bagi sebuah ibukota provinsi. Hal ini sempat dialami oleh Pemerintah Kota Semarang. Tepat di belakang kompleks balaikota, di seberang Kali Semarang, terdapat slum area bernama Kampung Pekunden.
Maka pada medio 2000-an, Pemkot Semarang merencanakan revitalisasi kampung dengan membuat rumah susun (rusun) di Kampung Pekunden. Selain untuk merevitalisasi kampung, rusun ini dibangun demi memberi space untuk RTH di tengah kampung padat penduduk tersebut.
Memulai pembangunan rusun di tengah pemukiman masyarakat marjinal bukan hal yang mudah. Warga yang berasal dari kalangan sosial ekonomi rendah tidak bisa langsung menerima ide Pemkot Semarang. Mereka menaruh curiga, revitalisasi hanyalah bahasa halus dari penggusuran. Mereka sangat takut jika sampai harus terusir dari tempat tinggalnya selama ini.
Alasan lainnya, warga merasa asing dengan ide tinggal di rumah susun. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya hidup mereka kalau harus tinggal menetap di rumah susun. Mereka sudah terbiasa tinggal di rumah tapak. Mereka merasa nyaman meskipun ukuran petak rumah mereka sangat sempit dan tidak sesuai standar layak huni.
Wajar saja jika untuk tahap sosialisasi wacana ini saja, pihak Pemkot Semarang sudah perlu melakukan pendekatan yang berlapis. Semua upaya dilakukan demi melunakkan dan mengambil hati warga. Kesabaran Pemkot Semarang berbuah manis. Perlahan-lahan warga bisa diyakinkan bahwa mereka tidak akan digusur dari tempat tinggalnya, melainkan hanya ditata. Nantinya mereka juga dijanjikan dapat terlibat berkontribusi selama proses pembangunan Rusun Pekunden.
Pembangunan Lima Tahap
Dalam negosiasi Pemkot Semarang dengan warga Pekunden, pendekatan top-down ala birokrasi pemerintah seringkali harus dikompromikan dengan masukan dari warga yang bersifat bottom-up. Baik Pemkot Semarang maupun warga harus mau menurunkan egoisme masing-masing demi mendukung kesuksesan proyek Rusun Pekunden ini.
Salah satu hal paling menarik dalam proses ini adalah kenyataan bahwa seluruh warga yang berjumlah 53 KK sama sekali tidak mau direlokasi selama proses pembangunan rusun berlangsung, meskipun relokasi hanya bersifat sementara. Warga cemas apabila mereka pergi dari tempat tinggal mereka, rusun yang sudah jadi akan ditempati oleh orang-orang asing (makelar) dan mereka justru kehilangan jatah.
Sehingga dalam negosiasi pun dihasilkan keputusan: Rusun yang terdiri dari lima bangunan (tower) akan dibangun secara bertahap dan tidak sekaligus. Warga yang lahan lokasi rumahnya tengah dibangun bangunan rusun hanya diminta berpindah sementara/mengungsi di rumah tetangganya dan tidak perlu meninggalkan kampung Pekunden.
Pendekatan ini memang memakan waktu yang lebih lama daripada membangun seluruh bangunan rusun sekaligus. Namun cara ini bisa meminimalkan gejolak resistensi dan mempertahankan kohesi sosial masyarakat sebagai warga kampung.