Lihat ke Halaman Asli

Agavia Syifa Rivani

Universitas Negeri Jakarta

Pendidikan Gaya Bank Sebagai Tantangan Pembelajaran Daring di Masa Pandemi (Perspektif Paulo Freire)

Diperbarui: 20 Desember 2022   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Oleh Bukamatanews.id

Agavia Syifa Rivani (1405620085)

Pendidikan Sosiologi A 2020

Ketika berbicara tentang pendidikan, maka yang pertama kali terbesit dalam pikiran adalah betapa pentingnya peran pendidikan bagi keberlangsungan hidup. Pendidikan bukan hanya sekedar sarana memperoleh pengetahuan, namun lebih dari itu pendidikan merupakan serangkaian proses belajar yang harus dilalui setiap orang agar dapat mencapai kehidupan yang lebih baik sesuai dengan tuntutan pembangunan. Sadar akan pentingnya pendidikan, akhirnya menjadikan eksistensi pendidikan sebagai sebuah urgensi di dalam situasi apapun, termasuk saat pandemi Covid-19 melanda dan merubah hampir seluruh tatanan kehidupan.

Covid-19  adalah  penyakit  menular yang disebabkan  oleh  jenis  corona  virus baru  yaitu Sars-coV-2 yang ditemukan pertama kali di Wuhan, Tiongkok pada tanggal 31 desember 2019. Virus corona atau Covid-19 ini bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, bahkan kematian (Nafrin & Hudaidah, 2021).  Virus ini tertular melalui tetesan kecil (droplet) yang dikeluarkan pada saat seseorang batuk atau bersin sehingga untuk mengantisipasi penularannya harus dengan menjaga jarak satu sama lain.  

Pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara didunia termasuk Indonesia telah membawa dampak yang sangat besar pada seluruh lini kehidupan, termasuk pendidikan. Dalam merespon hal ini, pemerintah selanjutnya memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimaksudkan untuk mengurangi penyebaran virus corona  sehingga  membuat  semua  kegiatan  yang  dilakukan  diluar  rumah  harus  dihentikan  sampai pandemi Covid-19 mereda. Begitu pula dalam pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pendidikan masa darurat penyebaran covid-19, dimana proses kegiatan belajar mengajar di sekolah harus dilakukan secara daring (dalam jaringan) sebagai upaya untuk meminimalisir laju penyebaran virus.

Sistem pendidikan di era pandemi Covid-19 ini akhirnya berubah dari yang sebelumnya terjadi tatap muka antara guru dan peserta didik di sekolah, kini terbatas melalui tatap maya dengan memanfaatkan berbagai aplikasi video conference seperti Zoom Meeting, Google Meet, dll. Sedangkan untuk mengirimkan tugas atau bahan ajar kepada peserta didik, biasanya para guru menggunakan Learning Management System (LMS) ataupun Google Classroom yang dapat diakses oleh peserta didik dimana saja dan kapan saja. Hal ini menujukkan bahwa dalam proses pembelajaran daring dibutuhkan persiapan yang matang baik ketersediaan kuota,  gadget yang mumpuni, serta kemampuan individu dalam mengoperasikan teknologi yang ada.

Kesiapan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi pembelajaran daring merupakan aspek yang tidak kalah penting. Adanya perubahan sistem yang sangat drastis, menjadi tantangan baru bagi seluruh elemen pendidikan khususnya guru dan peserta didik untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan saat ini. Terlebih bagi seorang guru yang merupakan garda terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan, diharapkan dengan keterampilan yang dimilikinya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan tetap memperhatikan keaktifan peserta didik meskipun pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.

Seiring dengan perubahan zaman, tentu pola pembelajaran harus bisa menyesuaikan dengan pola pikir peserta didik agar tidak bosan dan terbatas oleh pengetahuan dan teknologi guna mencetak generasi masa depan Indonesia yang unggul (Suradi, dkk, 2021). Pembelajaran daring di masa pandemi ini, mengharuskan guru untuk lebih kreatif serta inovatif dalam membangun interaksi yang baik dengan peserta didik agar esensi pendidikan dapat tetap terwujud. Komunikasi dua arah harus tetap terjalin walaupun pembelajaran dilakukan secara daring. Namun realitas yang terjadi saat ini, menunjukan bahwa beberapa guru masih belum mampu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan masih berpacu pada metode pembelajaran yang berorientasi pada guru (teacher centered). Guru lebih dominan dalam proses pembelajaran sehingga kurang memperhatikan partisipasi aktif peserta didik. 

Keadaan pendidikan seperti ini kemudian mengingatkan kita pada pemikiran tokoh pendidikan asal Brazil yaitu Paulo Freire dalam karyanya yang berjudul ”Pedagogy of The Oppressed” atau yang diterjemahkan menjadi ”Pendidikan Kaum Tertindas”. Freire mengenalkan konsep pendidikan gaya bank (The Banking Education) yang mengibaratkan pendidikan sebagaimana kegiatan menabung, yaitu murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya (Ningsih, 2021). Dalam pendidikan gaya ini yang terjadi bukan komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi oleh murid. Ruang gerak yang disediakan untuk kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.

 Teori banking of education ini menggambarkan sejumlah fakta, diantaranya: (1) guru mengajar, murid belajar; (2) guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa; (3) guru berpikir, murid dipikirkan; (4) guru bercerita, murid mendengarkan; (5) guru mengatur, murid diatur; (6) guru memilih dan menjalankan pilihannya itu, murid menyetujui; (7) guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya; (8) guru menetapkan konten program pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu; (9) guru mencampuradukkan kewenangan pengetahuan dan kewenangan profesinya untuk menghalangi kebebasan murid; dan (10) guru adalah subjek dalam proses belajar, murid hanyalah objek (Freire, 2008).

Pada pembelajaran daring saat ini masih banyak ditemukan guru yang menerapkan pembelajaran dengan gaya bank. Guru sekedar berceramah tanpa adanya ruang diskusi antara guru dan peserta didik. Guru dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu yang terus “menyuapi”sehingga tidak ada kesempatan bagi peserta didik untuk memberikan respon berdasarkan pemikirannya sendiri. Mengutip dari (Medcom.id, 2020) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei terhadap 1.700 siswa dan ditemukan bahwa selama PJJ berlangsung, tingkat interaksi antara guru dan murid hanya 20,1 persen. Sebanyak 79,9 persen responden menyatakan, interaksi belajar mengajar seperti pada ruang kelas sudah hilang. Kalaupun ada interaksi, hal itu tak lebih dari pemberian tugas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline