Lihat ke Halaman Asli

Bosan Kompetisi, Mulai Kolaborasi

Diperbarui: 29 Desember 2018   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau dicermati, peluang yang ada saat ini sangat terbatas. Tidak semua memiliki akses yang cukup dalam mencapai sesuatu. Ambil salah satu contoh yang paling relevan seperti jumlah pekerjaan yang tersedia. Jumlahnya sangat jauh dari jumlah masyarakat produktif yang butuh kerja. Hal ini tidak hanya terjadi di negeri kita, ini terjadi hampir diseluruh penjuru dunia. Maka tolak ukurnya selalu tinggkat pengangguran pada suatu negara atau daerah atau kota atau kecamatan kalau perlu.

Kelangkaan selalu terjadi jika supply lebih sedikit daripada demand. Lalu apakah dengan memenuhi demand harus meningkatkan suply secara paksa? Apakah tidak ada cara lain. Apakah pemerintah dipaksa membuka sebanyak-banyaknya lapangan pekerjaan. Sepertinya solusi itu tidak pernah menyelesaikan masalah ini. Tahun demi tahun juga jumlah lapangan pekerjaan bertambah, tapi apakah bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. 

Kalau diminta untuk menahan laju pertumbuhan pendudukr rasanya sudah terlambat. Sudah berapa juta kepala yang sudah lahir dan dalam usia menunggu produktif atau komsumtif atau malah jadi beban negara. Kalau mau menahan lajunya, harusnya dimulai sebelum padat. Rasanya pada masa kita masih berkembang, negara ini lepas kontrol dalam mengelola pertumbuhan penduduk. Terlalu terburu-buru ingin maju. Bukannya maju malah jadi belenggu. Jangan sampai thanos datang untuk membantu kita menyelesaikan masalah ini.

Bukan perkara mudah sih dalam mewujudkan negara tanpa pengangguran. Mau semaju apapun negaranya, ada saja yang tersisih di kompetisi dunia. Selalu kalah dalam persaingan. Jadi nomor terakhir disetiap lomba. Apakah sistem ini sudah paten?bahwa seleksi alam tidak bisa diganggu gugat. Kalau selalu merujuk mencari yang terbaik, maka selalu ada yang terburuk. Jika hanya mencari nomor satu pasti ada yang jadi nomor dua. Pandangan yang selalu menggangu. Apakah dunia memang selalu menyiapkan ruang untuk orang gagal?

Jika kompetisi begitu penting, kenapa sistemnya selalu mengerucut? Perandaiannya adalah jika mengambil contoh sebuah kompetisi olahraga, setiap kompetisi berakhir, maka akan diadakan kembali kompetisi dimusim berikutnya dan selalu dimulai dengan poin yang sama. Nol. Cukup adil bukan.

Bagaimana dengan dunia nyata? Bagi yang juara atau promosi atau lulus maka punya kesempatan baru untuk mendapatkan yang lebih baik. Buat yang gagal? Mereka memulai dengan poin yang sama tapi dengan jumlah kompetitor yang bertambah, belum lagi para pecundang pada periode sebelumnya. Mereka akan berkumpul bertambah banyak dan potensi kekacauan bagi sekitar. 

Apa tidak ada platform yang bisa mengakomodasi mereka? Apakah mereka harus terdegradasi layaknya kompetisi? Pantaskah mereka menurunkan derajat pendidikannya untuk mencari nafkah karena kesempatan kerjanya diusik oleh derajat yang lebih tinggi dikarenakan mereka juga mentok dan akhirnya turun tahta. Mungkin terdengarnya bisa seperti "kualitas sdm kita meningkat karena kualifikasinya bertambah sulit". 

Awalnya wajib bisa menggunakan komputer, lalu bahasa inggris, lalu mandarin lalu harus bisa akrobat, stand up comedy atau lompat indah (ini hanya bercanda). Yang bisa memenuhi hasrat mereka hanyalah artificial intiligence yang bisa apa saja. Paket komplit. Seperti di film-film science fiction, semua pekerja harus jadi robot.

Semua ini mungkin bisa dicegah jika paradigmanya bisa dirubah. Cukup kompetisinya, kita bukan lagi negara yang saling bersaing. Bumi hanya satu (belum ketemu pengganti). Sumber daya terbatas. Lebih baik tanamkan sifat kolaborasi di seluruh sektor. Mulailah dari pendidikan. Sistem pendidikan yang begitu menekan cobalah dirubah. Banyak negara maju yang sudah mengganti cara pandangnya terhadap pendidikan. Finlandia contohnya, mereka menerapkan konsep kolaborasi didalam sistem pendidikannya

Dimulai dari penyusunan tempat duduk yang tidak konvensional. Mereka menerapkan pengajaran dengan pandangan 360 derajat. Semua partisipan bisa berpartisipasi. Jarak antar guru dan murid sama, karena guru tidak harus duduk didepan kelas. Tidak kuno seperti di negara kita, juga negara-negara lain yang belum berubah. Tidak diberlakukannya rangking disana. Waktu belajar lebih sedikit disana dan tidak ada pekerjaan rumah (dari yang saya dengar). 

Akan tumbuh saling bahu membahu, akan tumbuh rasa percaya diri untuk jadi apapun. Karena mereka akan fokus mendalami potensi dan ketertarikannya. Bukannya sibuk paranoid akan pesaing didepannya. Negara tidak lagi sibuk membuka peluang. Karena mereka bisa ciptakan sendiri peluang itu, bersama-sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline