Memasuki minggu terakhir di bulan Agustus tahun 2018, satu dari sekian banyak hal yang harus dievaluasi adalah mengenai cakupan kampanye vaksinasi MR bagi anak usia 9 bulan hingga kurang dari 15 tahun di daerah luar pulau Jawa (measles atau campak dan rubella) yang dicanangkan oleh pemerintah.
Sebagai tenaga kesehatan yang turun langsung melakukan imunisasi bagi anak-anak di pelosok timur Indonesia, tepatnya di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, saya merasa ada beberapa hal yang harus lebih diketahui oleh masyarakat awam mengenai vaksinasi, khususnya vaksinasi MR ini.
Campak dan rubella sendiri merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan sangat mudah menular lewat batuk, ingus, dan masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan.
Gejala pada penyakit campak cukup berbeda dengan rubella. Pada campak gejala yang biasanya muncul adalah demam disertai batuk maupun pilek, sakit tenggorokan, mata merah, yang kemudian diikuti dengan munculnya bintik-bintik merah di sekujur tubuh.
Penyakit campak ini juga dapat menyebabkan komplikasi seperti diare hingga radang paru-paru. Berbeda dengan campak, gejala pada penyakit rubella tidak khas.
Seringkali gejalanya ringan, seperti demam yang tidak terlalu tinggi disertai ruam kemerahan.
Namun, jika menyerang orang dewasa gejalanya lebih parah, mulai dari nyeri sendi hingga radang selaput otak.
Rubella juga sangat berbahaya jika menyerang ibu hamil karena dapat menyebabkan keguguran dan bayi lahir cacat (disebut juga sindroma rubella kongenital).
Melihat berbahayanya penyakit campak dan rubella, WHO menargetkan untuk mengeliminasi penyakit ini secara total pada tahun 2020.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia menetapkan target jumlah anak yang harus divaksinasi adalah >95% dari seluruh anak.
Bukan hal yang mudah untuk mencapai tujuan tersebut. Berkembangnya isu hoax mengenai anak yang lumpuh setelah diberi vaksin, anak menjadi idiot, serta gosip lain yang beredar luas di tengah masyarakat membuat banyak orang tua tidak mengizinkan anaknya diberi vaksin.