Waerebo merupakan kampung adat di pelosok Nusa Tenggara Timur yang namanya menggema, bukan hanya di Indonesia, namun hingga negara-negara di belahan dunia lain. Hal ini terbukti ketika saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu situs peninggalan yang diakui UNESCO ini, selain bertemu dengan turis dari Jakarta, Makassar, serta Lombok, saya juga bertemu dengan turis asing dari Korea, Italia, hingga Swiss.
Untuk mencapai Dintor, titik start sebelum menuju kampung adat Waerebo, butuh waktu sekitar 4 jam dari kota Ruteng menggunakan mobil. Jalanan panjang yang berkelok-kelok terasa tetap menyenangkan karena pemandangan yang luar biasa indah, mulai dari gunung, hamparan sawah luas, hingga lautan luas.
Setibanya di Dintor, kehadiran saya disapa dengan hujan. Menuju ke pos 1, mobil sudah tidak bisa lewat lagi sehingga saya harus menggunakan jasa ojek seharga 40.000 rupiah. Dari pos 1 tersebut perjalanan yang sesungguhnya pun dimulai. Jalanan becek karena hujan serta cukup menantang dengan alur mendaki sekitar kurang lebih 3 kilometer.
Setelah berjalan sejauh 5 kilometer, akhirnya pada pukul 17.45 kami sampai juga di Desa Waerebo. Kabut tebal dan terpaan angin menyapa. Kami langsung diajak ke rumah kepala adat untuk disambut dengan doa secara adat. Sebelum didoakan, turis tidak boleh melakukan aktivitas apa pun, termasuk mengambil foto. Selepas itu, barulah kami mulai berkeliling sekitar desa dan karena sudah mulai gelap kami diajak untuk minum kopi flores sembari menunggu makan malam.
Sebenarnya, kesan saya terhadap Desa Waerebo tidak seperti apa yang saya pikirkan sebelumnya. Awalnya saya mengira desa ini masih orisinil. Ternyata, Desa Waerebo ini tampak sudah dikondisikan sebagai salah satu tempat tujuan wisata. Pasokan listrik sudah ada sehingga turis dapat menggunakannya misal untuk mengisi daya handphone. Tersedia pula cukup banyak kamar mandi yang memadai. Dengan membayar 325 ribu rupiah, kita sudah dapat menginap di rumah adat. Fasilitas yang disediakan adalah "spot" untuk tidur dengan alas tikar serta selimut dan bantal, serta makan malam dan sarapan.
Alam memang tidak dapat ditebak. Hujan yang terus menerus turun membuat bulan dan bintang enggan keluar. Pagi hari selepas bangun, hujan masih tidak kunjung reda. Kabut juga menurunkan jarak pandang. Pemandangan dengan latar bukit serta gunung hijau Waerebo yang didamba-dambakan tidak bisa kami lihat.
Kecewa sih sudah pasti, namun apa boleh buat. Perjalanan ini harus tetap dinikmati dandiambil sisi positifnya. Kabut juga memiliki daya tariknya sendiri, membuat kami serasa berada di negeri khayangan di timur Indonesia. Mungkin ini berarti suatu saat kami harus mencoba peruntungan kembali lagi ke Desa Waerebo, siapa tahu pemandangan luar biasa seperti di foto-foto itu bisa didapatkan...
Catatan:
- Gunakan sepatu hiking atau sandal gunung yang nyaman.
- Jangan lupa membawa cukup perbekalan dan air minum karena perjalanan yang cukup panjang, sekitar dua jam berjalan kaki.
- Hati-hati dengan lintah, apalagi jika melewati genangan air.
- Walau musim panas, tetap sedia jas hujan karena cuaca sangat tidak bisa ditebak.
- Suhu di Desa Waerebo cukup rendah, sehingga lebih baik sedia pakaian tebal juga.
- Apa pun yang terjadi, tetap bersyukur karena bisa berkunjung ke Waerebo!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H