Lihat ke Halaman Asli

Apa Kabar Larangan Ngopi Semeja?

Diperbarui: 27 Oktober 2018   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dok. Pribadi

Saya sengaja memilih judul di atas untuk  mengajak kembali pembaca  media atau masyarakat informasi di Aceh mencermati  fenomena baru. Kali ini bukan korupsi apalagi politik, tapi fenomena sosial keagamaaan tentang imbauan larangan nongkrong berlainan jenis yang bukan mahram di warung kopi/kafe atau restoran. Imbauan yang tertuang surat edaran Bupati Bireun, Saifannur yang keluar 4 September 2018 langsung memancing reaksi.

Harian Serambi Indonesia terbitan Rabu (05/09) menulis "Nonmuhrim Dilarang Duduk Semeja". Edaran yang didukung Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun tentunya memancing pro dan kontra. 

Apalagi dalam edaran yang terdiri dari 14 butir poin itu memuat soal larangan pria dan wanita duduk semeja di warung kopi meskipun di tempat terbuka. Poin lain juga melarang warung kopi melayani tamu wanita di  atas pukul  21.00 WIB atau pukul 9 malam.

Kebijakan ini sudah berjalan hampir dua bulan pada 4 November 2018 mendatang. Namun, tidak terdengar lagi implimentasinya di lapangan. Jangan-jangan edaran itu sekadar mencari sensasi di tengah sepi pembenritaan di Bireun.

Edaran Bupati Saifannur  melengkapi sejumlah persoalan atau ketentuan unik di Aceh. Sebelumnya beberapa kebijakan daerah mengikat warganya.  Ada ketentuan larangan ngangkang atau duduk ala lelaki bagi penumpang perempuan di Kota Lhokseumawe,  imbauan larangan menari bagi wanita di depan kaum lelaki yang bukan mahramnya di Aceh Utara.

Publik juga masih ingat larangan berjenggot bagi Aparatur Sipil Negara (ASN)-dulu disebut PNS di Aceh Selatan. Demikian juga edaran Bapati Ramli MS di Aceh Barat yang mengharuskan PNS wanita mengenakan rok saat bekerja. Bahkan kaum hawa pun mendapat rok gratis dari pemkab Aceh Barat saat itu.

Awalnya ketentuan pakai rok hanya berlaku  bagi PNS wanita di lingkungan sekretariat kabupaten Aceh Barat. Namun, Bupati Ramli MS  justru menandatangani peraturan bupati tentang wajib rok bagi warga Aceh Barat tanpa kecuali. Bahkan, saat akan memberlakukan wajib pakai rok, pemkab setempat menyiapkan 20 ribu lembar rok gratis.

"Kita sudah siapkan 20 ribu helai rok untuk dibagikan kepada warga," kata Ramli kepada wartawan (25/05/2010) seperti dikutip okezone.com. 

Saat Ramli tak lagi berkuasa ketentuan pakai rok pun hilang begitu saja. Tidak jelas apakah peraturan bupati dicabut atau  tidak. Yang pasti saat  Teuku Alaiddin atau yang akrab disapa Haji Tito menggantikan Ramli M.S, justru yang populer peraturan bupati tentang larangan merokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Soal KTR bahkan sudah menjadi qanun atau perda Aceh Barat. Bahkan Aceh Barat  lebih dahulu menerapkan KTR dibandingkan Banda Aceh yang ibukota provinsi.

Pertengahan April 2018, Ramli MS yang belum lama terpilih jadi bupati Aceh Barat kembali mengeluarkan ancaman pecat bagi pegawai  atau ASN lelaki yang mengenakan pakaian ketat atau lebih khusus pada celana. Saat melantik kepala Baitul Mal Aceh Barat, Ramli menyatakan bahwa  berpakaian ketat dan memasukkan kemeja dalam celana tidak mencerminkan syariat Islam seperti dikutip Antara  yang kemudian disiarkan Liputan6.com (18/04/2018).

Sebelum Bupati Ramli MS memberlakukan wajib rok bagi PNS dan warga Aceh Barat, Bupati Aceh Selatan Husein Yusuf sebenarnya sudah melarang  PNS lelaki berjenggot. Larangan ini memang belum dituangkan dalam regulasi seperti peraturan bupati bahkan  qanun, namun sempat menuai kecaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline