Menjelang peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 31 Mei 2018 ini, ada perkembangan bagus bagi penggiat antitembakau di Aceh khususnya Banda Aceh. Pemerintah Kota Banda Aceh bakal memidanakan perokok yang merokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Ancaman ini menidaklanjuti pemberlakuan Qanun atau Perda No. 5 Tahun 2016. Qanun yang sudah disahkan lebih dari tahun ini seharusnya sudah melewati masa sosialisasi.
Dalam suatu diskusi terbatas di Banda Aceh, Rabu (23/05), Kepala Dinas Kesehatan Banda Aceh, Warqah Helmi berencana menerapkan sanksi atau tidak pidana ringan (tipiring) terhadap perokok, penjual rokok yang melakukan kegiatan transaksi termasuk memasang iklan dalam KTR. Bahkan, pidana juga diterapkan untuk badan usaha yang bertransaksi dalam KTR akan dikenakan kurungan 14 hari atau denda hingga Rp 10 juta.
Memang baru sanksi ringan menjerat perokok dan penjual rokok. Untuk perokok di KTR dikenakan kurungan penjara 3 hari atau denda paling banyak Rp 200 ribu. Sedangkan untuk penjual rokok dalam KTR baru diancam sanksi denda Rp 500 ribu atau penjara kurungan 5 hari.
Untuk mengawasi penerapan peraturan ini, Dinkes Banda Aceh tengah melatih sedikitnya 50 tenaga pengawas penerapan Qanun KTR. Mereka terdiri atas aparat Satpol PP, petugas Dinas Kesehatan dan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika seperti dikutip dari www.kompas.id (27/05/2018).
Kebijakan ini mendapat dukungan Pemko Banda Aceh. Wakil Walikota Banda Aceh, Zainal Arifin memastikan langkah ini akan efektif per awal tahun 2019 nanti. Karena pidana untuk pelanggar KTR baru diterapkan secara bertahap Juli atau Agustus 2018 ini. KTR di Banda Aceh diantaranya mencakup perkantoran pemerintah, lembaga pendidikan, rumah ibadah, SPBU, sarana pelayanan kesehatan, tempat olahraga tertutup, dan arena permainan anak.
Bertahap
Rencana Pemko Banda Aceh menegakkan peraturan sesuai dengan Qanun memang bukan pertama di Aceh. Aceh Barat sudah memulai sejak dilahirkan Qanun No. 14 Tahun 2015 lalu. Sebagai model, pelanggar KTR di Masjid Agung Meulaboh, Aceh Barat dikenakan denda Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta.
Sayangnya langkah maju Banda Aceh dan Aceh Barat menyelamatkan warga dari paparan asap rokok belum bisa menggerakkan daerah lain melakukan hal serupa. Pemerintah Aceh sendiri saat Zaini Abdullah menjabat gubernur, lingkungan sekretariat Aceh pernah memberlakukan larangan merokok dalam bangunan dan sekitarnya. Tapi larangan itu sebatas imbauan gubernur belum menjadi Pergub apalagi Qanun atau perda.
Saat ini pemerintah Indonesia masih menunda meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. Bahkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani ratifikasi FCTC.
Padahal Indonesia termasuk negara yang menginisiasi FCTC bersama India, Thailaind, negara-negara di Amerika Latin. Ratifikasi bisa dengan menerbitkan peraturan presiden (Perpres) atau UU non Progra Legislasi Nasional di DPR RI. Lagi-lagi langkah tersebut tak pernah digubris (www.komnaspt.or.id).
Saat Joko Widodo baru setahun menjabat presiden, wacana membatasi peredaran rokok dan jumlah perokok sempat mengemuka dengan menaikkan harga rokok. Namun, rencana kembali dimentahkan produsen rokok dan oknum yang diuntungkan dari rokok dengan menjadi petani sebagai tumbal. Mereka berpendapat jika harga rokok mahal, tingkat konsumsi rokok menurun hingga berdampak pendapatan pekerja dan petani tembakau.