Lihat ke Halaman Asli

Benar Itu Belum Tentu Baik

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Izinkan saya bercerita tentang pengalaman yang terkait dengan judul diatas. Kejadian ini saya alami kira-kira dua minggu yang lalu. Saat itu saya dan teman saya bernama Alan sedang dalam perjalanan pulang dari acara reuni SMA. Jalanan sendiri masih macet walaupun sudah dekat dengan hari raya. Kami pun memilih melewati jalan tol Cikampek agar lebih cepat sampai di rumah. Kami keluar di pintu tol Pondok Gede Timur yang ternyata masih padat merayap. Faktor malam minggu mungkin.


Tak ingin membuat kondisi makin macet, saya memilih jalur kiri dan mengantri dengan sabar. Namun tiba-tiba ada mobil taksi putih yang mencoba menyalip dari jalur kiri yang notabenenya adalah bahu jalan. Well, saya tidak senang dengan kondisi ini. Setau saya, menyalip yang diperbolehkan itu adalah menyalip lewat jalur kanan, bukan jalur kiri. Hal ini karena menyalip lewat kiri dapat menimbulkan bahaya dan kecelakaan fatal, terutama di jalan tol. Meskipun ini bukan jalan tol, saya rasa hal ini juga tidak dapat ditoleransi.

Atas alasan diatas maka secara refleks saya menutup jalur untuk taksi tersebut dan tidak memberi ruang sama sekali untuk bergerak. Namun ternyata si sopir taksi punya naluri membalap yang gila karena dia masih saja ngotot untuk masuk. Dengan sedikit emosi saya kembali menutup jalur dengan harapan dia mengalah. Tapi mungkin karena jarak antar kedua mobil terlalu dekat sehingga berakibat mobil saya terkena kaca spion taksi tersebut. Mobil saya pun akhirnya sedikit rusak walaupun tidak parah.
Seketika itu juga si taksi putih ini menghampiri mobil saya, masih dari jalur sebelah kiri. Kali ini si sopir memunculkan kepalanya dari balik jendela dan berkata dengan nada sedikit menantang :


“Mau diadu mas mobilnya? Kalo mau diadu bisa aja nih kita adu sekarang!”


Wah, perasaan saya agak campur aduk saat itu. Tapi lebih dominan perasaan panik dan takut. Haha, dasar pengecut. Tapi faktor keselamatan pribadi menjadi pertimbangan saya dalam mengambil keputusan. Kasihan juga orang tua saya karena masih menanti kehadiran saya di rumah. Saya pun hanya menjawab “Enggak pak” agar nasib saya dan Alan tidak terancam. Si sopir pun memberi statement penutup sebagai pembelaan atas tindakan ngasal yang dia lakukan ini.


“saya nyalip dari kiri soalnya saya mau belok kiri di depan mas!”


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline