Layanilah Sesama dengan Penuh
Pengendalian Diri
Mereka yang telah mengendalikan diri, bersikap sama terhadap semua makhluk; dan senantiasa mengupayakan kesejahteraan bagi mereka semua dengan penuh kesadaran bahwa semuanya ada/ah percikan-percikan nyata dari Hyang Melampaui Segala Wujud dan Gugusan Pikiran serta Perasaan,
Hyang Maha Ada, Tak Pernah Punah,
Tak Terjelaskan, Abadi, Tak Tergoyahkan, dan Tak Berubah, akhirnya menyatu dengan-Ku." (12:3---4)
tanpa pengendalian diri, kita akan selalu berkarya demi kepentingan diri, kepentingan keluarga, kepentingan komunitas, atau siapa saja yang kita anggap sebagai bagian dan perpanjangan diri kita.
Barangkali Anda berpikir: Lho, apa salahnya?
Salahnya adalah sikap seperti itu merupakan benih bagi korupsi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya. Bahkan bagi segala macam konspirasi !
Selama ini, jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, alasannya adalah sikap menempatkan kepentingan diri, keluarga, dan kelompok di atas kepentingan umum, di atas kepentingan masyarakat luas, di atas kepentingan sesama anak bangsa, sesama manusia.
Hukuman seberat apa pun belum mampu menciptakan efek jera karena korupsi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya hanyalah akibat. Tiada berguna jika akibat dilawan. Adalah "sebab" yang mesti disikapi; dan, sebabnya adalah pola pikir, cara berpikir yang membeda-bedakan: Ini aku, ini milikku, demikian kami, ini milik kami---aku beda, kami beda, kau beda, kalian beda.
Selama belum ada kesadaran bahwa kita semua adalah satu keluarga; planet bumi ini adalah hunian kita bersama; dan, seluruh asetnya adalah untuk kita gunakan, kita nikmati bersama dengan penuh tanggung jawab, maka kita akan selalu bersikap sebagai maling. Kita mencuri di dan dari rumah sendiri.
Padahal, hasil curian itu pun tidak dapat kita bawa ke mana-mana, semuanya tertinggal di sini juga.
Membangun tempat-tempat ibadah dari hasil curian tidak bisa menafikan konsekuensi, akibat dari aksi curi. Semesta, "dalam pemahaman saya", tidak mengadakan, bahkan tidak mengenal lembaga pencucian dosa. Setiap orang mesti bertanggung jawab atas perbuatannya.
Hasil Yang kita peroleh dari lahan kehidupan kita, sudah pasti sesuai dengan benih yang kita tanam. Tidak bisa beda. Demikianlah Hukum Alam.
Mau membangun seribu candi dan ratusan ribu tempat ibadah pun, kita tetap harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan
Lagi-lagi, "demikianlah pemahaman saya".
Bagaimana dengan mereka yang membangun tempat-tempat ibadah atau institusi sosial lainnya dengan uang yang mereka peroleh lewat usaha dan upaya yang wajar? Bagus, asal tidak untuk mencari nama, bukan untuk mempromosikan diri. Niat yang tidak baik, tidak sesuai dengan kemuliaan suatu pekerjaan, ibarat setitik nila yang dapat merusak secawan susu.
Hasil korupsi tidak selalu berupa uang, barang, atau benda lainnya. Adalah kesalahan kita jika kita hanya mengaitkan korupsi dengan semua itu. Mencatut nama, termasuk menggunakan dalil-dalil kepercayaan demi kepentingan pribadi, dan untuk mencelakakan orang lain pun merupakan korupsi.
sebab itu, ketika melayani seseorang, layanilah dengan semangat pelayanan, bukan semangat membantu, menyedekahi, dan sebagainya. Jangan membiarkan ego merusak pelayananmu. Kendalikan dirimu, egomu. LaYani sesama dengan penuh kesadaran bahwa Yang Anda layani "adalah percikan-percikan nyata dari Hyang Melampaui Segala Wujud"
sumber : Anand Krishna. Kebijakan Bhagavad Gita bagi Generasi Y. PT. Gramedia Pustaka. 2017
https://www.booksindonesia.com/produk/kebijakan-bhagavad-gita-untuk-generasi-y/
(booksindonesia.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H