Lihat ke Halaman Asli

Sadar Kentut (Refleksi Meningginya Kasus Korupsi di Indonesia)

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam beberapa seminar sering kali dipaparkan mengenai karakter bangsa Indonesia yang kian memprihatinkan. Ada yang menjelaskan masalah tawuran antar siswa maupun antar mahasiswa, ada juga yang menjelaskan karakter pemuda masa kini yang sudah berubah kemudi dari moralitas bangsa yang diajarkan oleh leluhur menuju moralitas yang mengarah pada apresiasi diri yang berlebihan. Bukan hanya masalah remaja yang dipaparkan, pembicaraan mengenai karakter bangsa juga sampai pada lembaga pemerintahan baik legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Sebut saja masalah korupsi. Dalam berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga terkait diseluruh dunia, Indonesia tidak pernah keluar dari big five negara terkorup di dunia. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar untuk kita bukan hanya dalam seminar namun juga dalam menjalankan tugas dan pengabdian kita terhadap bangsa dan negara tercinta. Apa yang salah dari Indonesia?

Jika kita menengok dari kacamata sejarah, lahirnya Indonesia bisa dikatakan sebuah keajaiban. Betapa tidak, keanekaragaman suku di Indonesia yang begitu beragam menyebabkan timbulnya sikap etnosentrisme dalam masyarakat yang terkadang berujung pada kontak fisik yang bahkan sampai saat ini masih sering kita jumpai. Tidak hanya itu, Plurasisme agama di Indonesia juga menjadi faktor betapa sulitnya berdiri sebuah negara dalam suatu keberagaman dimana setiap saat terjadi perbenturan nilai nilai keyakinan dan kepercayaan antar umat beragama. Akan tetapi dengan semangat perjuangan para pejuang yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa kita terbebas dari jerat penjajahan. Dari semua hal itu kita bisa belajar betapa hebatnya karakter kepemimpinan para pendahulu kita yang telah berhasil mempersatukan Indonesia dalam sebuah keberagaman tanpa mengedapankan ras, suku, maupun agama. Melainkan mengedepankan integritas dan persatuan yang berlandaskan kearifan lokal (baca : budaya).

Dari sejarah kita belajar bahwa kearifan lokal tak bisa lepas dari kehidupan kita. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Masyarakat kian berpaling dari kearifan lokal. Masyarakat justru lebih memilih “identitas” bangsa lain ketimbang bangga dengan bangsa sendiri. Anehnya setiap kali ada kisruh mengenai “klaim”kebudayaan Indonesia yang direbut negara lain masyarakat justru marah dan merasa dilecehkan hingga akhirnya konflik batin antar negara pun terjadi. Secara pribadi saya merasakan hal yang sama ketika mendengar adanya klaim budaya tersebut. Namun dibalik itu saya merasa heran jika masyarakat bangga dengan budaya Indonesia lalu mengapa masyarakat enggan untuk menjaga dan melestarikannya. Mengapa masyarakat justru memilih budaya bangsa lain disaat bangsa lain justru melestarikan budaya kita dengan meng “klaim” bahwa itu adalah budaya mereka. Sungguh ini adalah sebuah ironi bagi kita.

Berangkat dari ironi tersebut kita menyadari bahwa dengan tergerusnya kearifan lokal kita oleh perubahan zaman maka tergerus pula karakter kepemimpinan kita, kepemimpinan bangsa kita. Hal ini didasari oleh semakin buruknya kondisi negara kita saat ini. Di mana para pemimpin seakan menutup mata melihat kondisi negara kita yang porak-poranda, kemiskinan merajalela, hukum yang tak berpihak, KKN, tawuran dimana-mana, dan masih banyak lagi. Miris nampaknya mengingat negara kita yang begitu kaya tapi seperti tidak memiliki apa-apa. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh para pemimpin kita. Belum hilang dari ingatan kita –semoga saja tentang anggota DPR yang meminta kenaikan gaji sementara buruh dengan semangatnya mengadu mengenai peningkatan upah kerja minimum dan penghapusan sistem outsourcing yang sama sekali tidak berpihak terhadap mereka. Belum hilang dari ingatan kita kasus pengadaan renovasi gedung DPR dimana anggarannya begitu fantastis sementara saudara kita di timur sana masih belum terpenuhi kehidupannya. Lebih parah lagi, bahwa showroom mobil termahal (mewah) di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang di penuhi oleh mobil para anggotanya, bahkan tanpa mengindahkan batas besarnya kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan tersebut. Keluhan birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat sama sekali tidak diperhatikan. DPR tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri yang tampak jelas dimata kita. Dengan kata lain para anggota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka peroleh tanpa memperhatikan sah atau tidaknya kekuasaan mereka itu.

Sebenarnya masalah yang kita hadapi saat ini adalah persoalan klasik. Kepercayaan (trust) masyarakat kepada sistem pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang memprihatinkan. KKN terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak nyata sudah tak terkendali lagi. Benarlah kata alm. Mahbub Junaidi bahwa nanti kita harus membayar pajakkarena mengantuk, seolah-olah sebuah kenyataan hidup. Runtuhnya kekuasaan Wangsa Syailendra (pembangun candi Borobudur ) dan kerajaan Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan) adalah pelajaran bagi kita bahwa berkuasa tak berarti memimpin. Kekuasaan Wangsa Syailendra dianggap tidak ada oleh kaum Hindu-Budha yang membangun candi Prambanan yang di kemudian hari hijrah ke Kediri di bawah Darmawangsa dan mengingkari kekuasaan Wangsa tersebut. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama Hindu-Budha/Bhairawa, akhirnya juga hilang tanpa dapat ditolong lagi karena ketidakmampuan mempertahankan keadaan di hadapan tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid Jamaluddin Husaini dalam abad ke-15 masehi.

Dengan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat tersebut, jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada amanat tersebut. Kepentingan rakyat, yang dirumuskan deengan sangat baik oleh para pendiri bangsa ini, melalui pembukaan UUD1945, yaitu dengan rumusan “masyarakat adil dan makmur”, jelas menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Pernah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk National Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan tersebut? Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran pun sudah jarang di lakukan.

Kehidupan kita yang kering-kerontang ini sekarang hanya dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekuasaan disamakan dengan kepemimpinan, dan kekuasaan tidak lagi mengindahkan aspek moral/etika-nya dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolah-olah tidak memiliki kepemimpinan, karena kita sudah kehilangan aspek moral dan etika tersebut. Kepemimpinan kita saat ini, sebagai bangsa, hanya dipenuhi oleh basa-basi (etiket) yang tidak memberikan jaminan apa-apa kepada kita sebagai bangsa.

Untuk mengatasi krisis karakter kepemimpinan tersebut, mestinya kita dapat belajar dari hal-hal yang sederhana. Ada sebuah kisah yang dapatdianalogikan sebagai upaya dalam mengatasi krisis karakter kepemimpinan bangsa kita. Saya teringat ketika SMA dulu saat pembelajaran tengah berlansung tiba-tiba tercium bau tak sedap yang ternyata bersumber dari kentut salah seorang siswa dalam kelas. Seketika suasana kelas menjadi kacau balau mengingat bau kentut tersebut sangatlah mengganggu proses pembelajaran. Sebagian siswa bahkan berhamburan keluar kelas dan sebagian lagi hanya bisa berkomentar “siapa yang kentut?”. Beberapa menit berselang pelajaran kembali dilanjutkan tanpa peduli pelaku kentut tersebut. Kentut akhirnya berlalu bersama angin. Dari peristiwa ini kita belajar bahwa terkadang banyak hal yang merugikan terjadi kepada kita dan kita sebagai korban hanya melakukan pembiaran tanpa adanya upaya untuk menindaklanjuti kasus yang kita alami.

Dari sebuah kentut yang sangat bau muncul sebuah pertanyaan, adakah diantara kita yang pernah member sanksi moral kepada orang yang kentut? Seberapa sering kita menegur mereka yang kentut? Pertanyaan ini tentu tidak bermaksud untuk mendiskreditkan orang-orang yang kentut karena kita pahami bahwa kentut termasuk barometer sehatnya tubuh seseorang sehingga tidak satupun manusia di dunia ini yang tidak pernah kentut. Pertanyaan tersebut menjadi sebuah momok besar bagi kita sebagai pemimpin setidaknya pemimpin bagi diri sendiri bahwa terkadang kita tidak jujur dalam beberapa hal yang notabenenya merugikan diri kita. Kita hanya diam menunggu sebuah masalah berlalu bersama angin tanpa adanya penyelesaian yang berarti. Kita marah bahkan jengkel namun apakah itu menimbulkan efek jera kepada orang-orang yang kentut tanpa memperdulikan kita? Tentu tidak.

Persoalan kentut ini sejalan dengan kondisi negara kita. Meski saya menyadari bahwa persoalan negara tidak sesederhana persoalan kentut. Namun sejauh ini kita semua paham betul bahwa para pemimpin kita sudah terlalu sering “kentut” yang “bau”nya bahkan sampai ke pelosok daerah di Indonesia. Kita tertanggu? Tentu saja. Banyak dari kita yang sadar akan “kentut” namun hanya melakukan pembiaran dan sekali lagi “kentut” berlalu bersama angin. Sebuah ironi nampaknya, orang-orang yang justru “sering” berjalan bersama pemimpin kita malah tidak mendengar dan mencium “kentut” tersebut. Tidakkah mereka punya telinga untuk mendengar dan hidung untuk mencium merasakan “kentut” tersebut? Atau mungkin para pemimpin kita yang tidak sadar bahwa mereka telah “kentut”? Inilah persoalan pokok yang kita hadapi saat ini. Banyak diantara kita yang sering mengaku telah berbuat baik namun kurang dari kita yang mengaku telah berbuat buruk.

Sekali lagi melalui kentut kita belajar untuk memupuk rasa malu dan berperilaku jujur. Melalui hal sesederhana kentut kita juga paham bahwa dunia tidak akan pernah mencapai sebuah kesempurnaan karena setiap waktu meski para pemimpin berganti tetap saja akan menghasilkan “kentut” yang baru. Namun kita sebagai manusia, kita sebagai sebagai pemimpin, harus proporsional dalam menanggapi dan menangani segala hal tentang kentut. Dengan belajar dari persoalan kentut semoga kita menjadi manusia yang memiliki etika dan moral dalam memimpin minimal memimpin diri kita sendiri dan dengan sadar kentut kita menjadi Indonesia yang bermartabat.

Akhirnya, kita semua hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti akan datang masa dimana para pemimpin kita dan orang-orang yang sering jalan bersamanya sadar akan “kentut” dan tidak lagi membiarkannya berlalu bersama angin. Kalaupun masa itu tak kunjung datang, saya tetap percaya bahwa Tuhan yang Maha baik hatinya tidak tuli dan pasti mendengar setiap “kentut” yang baunya meresahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline