Lihat ke Halaman Asli

Saatnya Kembali ke UUD 1945

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembangunan suatu negara yang berkelanjutan memerlukan tingkat stabilitas yang tinggi, stabilitas bisa didapat jika kita memiliki kepemimpinan yang berkarakter kuat dan sistem politik yang mapan, seperti model pemerintahan China, dengan memiliki sistem politik yang sangat kuat, sehingga menghasilkan struktur perpolitikkan yang sangat stabil, sehingga siapapun pemimpin yang menjabat akan otomatis menjalankan dan melanjutkan kebijakan yang telah digariskan. Terbukti begitu perkasanya ekonomi China, ditandai dengan pembangunan infrastruktur yang sangat menunjang tumbuhnya industri, menjamin iklim investasi yang kondusif, menyiapkan berbagai tingkatan tenaga kerja, baik buruh kasar hingga tenaga ahli, sehingga terjadi alih tehnologi yang sangat menguntungkan, dan yang paling penting dari semua itu bagaimana kuatnya komitmen para pemimpin China didalam memberantas korupsi sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal, sehingga tidak heran apabila saat ini ekonomi China telah dapat menggeser Amerika Serikat.

Indonesia pasca reformasi yang sudah berjalan 12 tahun merupakan Indonesia yang (semakin) jauh dari harapan rakyat, malah reformasi yang dihasilkan dengan mengamandemen UUD 1945 -lucunya, amandemen UUD 1945 yang seharusnya meminta persetujuan rakyat melalui referendum -hanya diputuskan ditingkat parlemen yang notabene hanya berjumlah kurang dari 1000 orang untuk menentukan nasib 200 juta rakyat Indonesia. Indonesia pasca reformasi melahirkan panggung politik demokrasi yang bebas sebebasnya, dimana setiap kepala pemerintahan baik ditiap tingkatan dipilih oleh rakyat secara langsung (one man one vote) yang lagi-lagi lucunya demokrasi seperti ini hanya terjadi satu-satunya didunia, bahkan Amerika sekalipun yang mengembar-gemborkan sebagai negara mbahnya demokrasi pun tidak melakukan seperti Indonesia.

Hasil dari reformasi perpolitikkan indonesia inilah yang melahirkan carut-marutnya program pembangunan pemerintah, karena tidak adanya sinkronisasi pembangunan, yang disebabkan tidak adanya hubungan langsung antara Presiden, Gubernur dan bupati, sehingga walaupun pemerintah SBY memiliki Musrenbangnas (musyawarah perencanaan pembangunan nasional) yang menghasilkan RPJM (rencana pembangunan jangka menengah) tetap tidak berarti, ditambah lemahnya kepemimpinan dan managemen SBY sebagai Presiden yang tercermin dari struktur APBN, dimana pengalokasian belanja modal dan belanja sosial dengan alokasi total Rp202.923 miliar atau

setara dengan 22,3 persen. Padahal, alokasi untuk belanja pegawai plus bunga utang mencapai 32 persen. Dapat kita lihat anggaran untuk belanja pegawai yang sebesar Rp182.875 miliar hanya dinikmati oleh 4,8 juta pegawai atau sekitar 24 juta, Sementara itu, belanja sosial dengan alokasi Rp66.046 miliar hanya dinikmati 30 juta orang miskin. Itu pun tidak semua orang miskin menikmatinya.

Reformasi politik Indonesia juga menghasilkan malapetaka lainnya, bagaimana mahalnya pemilu yang diadakan untuk memilih bupati dan gubernur seluruh Indonesia yang memakan biaya puluhan bahkan ratusan milyar dan kebanyakan menghasilkan kepemimpinan yang jauh dari harapan, bayangkan untuk mengadakan 1 pilkada provinsi membutuhkan biaya Rp. 200 M, total kalo dipukul rata untuk 33 provinsi sekitar Rp.6.6 T, belum lagi biaya pilkada untuk tiap kabupaten/kota yang saat ini 497 kabupaten/kota berjumlah puluhan milyar, bayangkan, jika puluhan trilyunan tersebut diperuntukkan bagi petani, berapa banyak irigasi sederhana yang bisa dibangun, pembangunan infrastruktur jalan, bibit padi gratis yang bisa dibagikan, pupuk bersubsidi, kapal nelayan yang bisa diberikan geratis kepada nelayan-nelayan yang tidak mampu, atau berapa banyak jembatan yang bisa dibangun, sekolah, pasar dsb. Belum lagi lemahnya sistem penjaringan Partai Politik didalam memilih calon kepala daerah, sehingga Parpol cenderung mendukung calon yang memiliki uang banyak, bukan berusaha mencari calon pemimpin yang memiliki kompetensi, juga menyebabkan terjadinya monarki politik diberbagai daerah, contoh seperti di Banten, dari adik, ipar, ibu tiri duduk di lembaga eksekutif tingkat dua, sedangkan sang patron duduk sebagai gubernur banten, di jawa barat, kabupaten kuningan dan kabupaten kendal jawa tengah , jabatan bupati dua periode dipimpin oleh sang suami, saat ini di estafetkan kepada sang istri, belum lagi para istri dan anak pejabat yang duduk sebagai anggota DPR, DPRD Tk 1, Tk 2 ataupun DPD, memang benar, dengan menggunakan alasan memiliki hak sebagai warga negara, para istri, suami, anak ataupun kerabat para pejabat daerah boleh maju pilkada ataupun pilleg, tapi masyarakat yang melek politik haqqul yakin, keterpilihan mereka jauh dari kemampuan yang dimiliki, melainkan karena keterkaitan jabatan dari orang tua, suami atau kerabatnya, tidak heran kualitas para wakil rakyat dari tiap tingkatan daerah begitu sangat mengecewakan.

Dari sedikit gambaran kekacauan reformasi politik yang diakibatkan amandemen UUD 1945 yang kebablasan, sudah sepantasnya reformasi politik dikaji ulang, jikalau memang mudharatnya lebih banyak dibanding manfaatnya, sebaiknya dikembalikan ke UUD 1945 yang asli, karena para founding father didalam menyusun UUD 1945 sudah menyelami dan memahami secara mendalam karakter bangsa ini. Ketentuan per Undang-undangan mengenai pembentukan partai politik dibuat seberat

mungkin yang tidak hanya bertujuan untuk melakukan penyederhanaan Parpol, tapi juga untuk mempertimbangkan nantinya Parpol harus dan akan memiliki sistem yang sedemikian rupa bagusnya sehingga diharapkan nantinya Parpol akan dapat menghasilkan kader yang berkualitas pemimpin serta menghasilkan kader yang benar-benar mampu menjadi wakil rakyat yang bekerja untuk rakyat. Pemilu dilakukan hanya untuk memilih wakil rakyat, pemilihan Presiden/Wapresdikembalikan kepada MPR/DPR, Presiden terpilih selain menyusun kabinetnya juga memiliki hak didalam menentukan para pembantu yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat yang berada didaerah yang akan duduk sebagai Gubernur dan bupati/Walikota, sehingga pembangunan dapat berjalan paralel dan berkesinambungan dengan berpedoman kepada GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang telah ditetapkan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi Republik Indonesia melalui TAP MPR. Peran parlemen yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dari tiap tingkatan daerah harus difungsikan sebagai lembaga yang melakukan “ Watch Dog” terhadap kinerjalembaga eksekutif dari tiap tingkatan, sehingga bersama-sama lembaga tinggi lainnya dapat melakukan check and balances. Mengingat begitu derasnya arus Informasi dan begitu cepatnya perkembangan tekhnologi informasi, peran media massa sebagai fungsi kontrol akan dapat mengeliminir ketakutan terhadap kembali berkuasanya kepemimpinan model era orde baru. Sudah saatnya tangis para pendiri bangsa dialam kubur harus dihentikan, saatnya burung Garuda Pancasila yang merupakan roh bangsa Indonesia kembali hinggap di sanubari rakyat Indonesia....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline