PENDAHULAN
Perumusan dasar negara Indonesia merdeka mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). Anggota-anggota BPUPK mengemukakan pandangan tentang nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sosial. Saat itu, prinsip-prinsip yang diajukan masih bersifat serabutan, belum ada yang merumuskannya secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar negara yang koheren.
Pancasila adalah landasan idiil dalam menjalankan kehidupan nasional. Pancasila yang ditemukan formulasinya pada pembukaan UUD 1945 adalah suatu pandangan atau nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkahlaku bersama dalam berbagai kehidupan nasional.
Semakin terpahaminya Pancasila sebagai landasan idiil diharapkan mampu menjadi pengontrol tingkahlaku masyarakat. Terlebih lagi karena pada tataran perilaku masyarakat tersebut, media massa, khususnya televisi, setiap hari menyiarkan massa yang beringas merusak tempat-tempat tertentu seperti pabrik, rumah pribadi, kantor instansi pemerintah, gedung DPR/DPRD, kampus, malah tempat ibadah pun dibuat porak poranda. Begitu pula dengan kantor-kantor penegak hukum seperti gedung pengadilan, kepolisian, kejaksaan dan lain-lain. Berita-berita tersebut menyedot perhatian berbagai pihak dan berharap agar tak terjadi lagi.
Disinilah perlunya tetap menguatkan peran Pancasila sebagai paham, ideologi (pandangan hidup). ... Pancasila disepakati untuk dijadikan sebagai dasar, falsafah dan ideologi negara. Nilai-nilai luhur sebagai nilai instrinsik yang dikandungnya diperoleh dari hasil penggalian terhadap nilai-nilai budaya yang terkandung pada bangsa Indonesia sejak jaman dulu secara turun temurun yang demikian majemuk, plural dan heterogen yang disebut dengan Bhinneka.[4]
Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historis, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian- pencapaian agung peradaban bangsa. Pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut:[5]
Pertama, nilai-nilai Ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan "agama" dari "negara" dan berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Tetapi pada saat yang sama, Indonesia juga bukan "negara agama", yang hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama untuk mendikte negara.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persatuan dunia itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial." Ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan ini adalah "adil" dan "beradab."
Ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara kesatuan-kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dengan ungkapan "Bhinneka Tungal Ika." Satu sisi, ada wawasan kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik temu dari segala kebhinnekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila), UUD, dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka "musyawarah-mufakat." Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (diktator mayoritas), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan, artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu (yang terlembaga dalam pasar) dan peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing pelaku ekonomi diberi peran yang secara keseluruhan mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar) diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam posisi penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial.
penutup
Pemahaman historisitas menjadi kunci agar nilai-nilai Pancasila mengakar kuat dan betul-betul menjadi ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Peran dunia pendidikan salah satu strategi penanaman nilai-nilai Pancasila secara sistemik. Tak dapat dipungkiri proses dialektika tentang keberadaan Pancasila senantiasa menjadi perbincangan hangat, suka ataupun tidak. Namun, demikian seyogyanya diartikan sebagai salah satu bentuk dinamika berbangsa dan bernegara. Dinamika Pacasila sebagai ideologi masih akan selalu hadir dalam tiap perkembangan zaman dan hampir pasti hal ini akan berpengaruh besar terhadap kemandirian dan keberlanjutan bangsa Indonesia. Segala bentuk kritik dan masukan menjadi ide konstruktif. Namun perlu disadari, bahwa implementasi nilai-nilai Pancasila bukan hal yang bersifat statis. Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia akan terus teruji sesuai perkembangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H