Lihat ke Halaman Asli

Afsokhi Abdulloh

Menulis untuk bersenang-senang

Remote: Bukan Sekadar Pindah Meja Kerja

Diperbarui: 9 Maret 2021   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

renebook.com

Bekerja secara remote agaknya sudah sering kita jumpai, apalagi di kota-kota besar, dengan adanya pandemi, remote semakin mununjukan eksistensinya. akhirnya kita mulai sadar bahwa kantor tidak sekaku itu. tapi terkadang bekerja remote di budaya kita---jika dibandingkan dengan bekerja di kantor---pekerja remote terlihat seperti pekerja 'kelas b', dengan gaji yang lebih murah, karena 'ketidakhadirannya' di meja kerja. tapi, benarkah begitu?

budaya kerja konvensional dengan adanya manajer, staf, hingga bos, juga akan semu jika remote dijalankan. hierarki akan menjadi tidak selamanya berpola lurus. remote mempunyai berbagai masalah dalam pengaplikasiannya, namun di buku ini, penulis mencoba membuat antitesis budaya kerja konvensional---dengan pengalamannya merintis perusahaan dengan karyawan yang mayoritas menjalankan remote.

buku ini mencoba menawarkan pola pikir bekerja di masa depan. di mana orang-orang di masa depan akan berpikir kok di masa lalu ada yang namanya kantor? sedangkan teknologi sudah secanggih ini. kita bisa melakukan komunikasi dengan mudah, entah itu teks, suara, video, dan perpaduan antara itu.

kunci dari berjalannya sebuah pekerjaan remote adalah kepercayaan antara bos, manajer, kepada pegawai. dan mereka juga harus sadar bahwa yang terpenting dalam sebuah pekerjaan adalah karyanya. jika pekerja mampu memberikan karya yang sesuai, tidak ada alasan lagi untuk datang ke kantor dari jam 9 pagi sampai 5 sore, bukan?

apalagi kegiatan monoton berangkat kerja dan pulang kerja dengan melalui jalan yang sama, duduk di bangku yang sama akan membuat inspirasi mandek. lain cerita  jika kita bekerja di tempat yang berbeda tiap minggunya,  entah di rumah, cafe seberang kantor, hotel, atau luar negeri, kemungkinan datangnya inspirasi akan lebih besar. sebab bekerja agaknya bukan sekadar tentang apa yang dihasilkan, tapi apa yang baru.

buku ini juga mencoba 'melawan' pernyataan bahwa bekerjalah sampai pensiun, setelah pensiun baru senang-senang. sedangkan kita tidak tahu apa yang terjadi esok, apakah kita masih hidup? hingga akhirnya menyesal mendapati diri selama hidup tak berhenti bekerja, tanpa bisa menikmati hidup ini.

dengan remote, kita mempunyai banyak kesempatan untuk mengeksplor tempat-tempat yang ingin kita kunjungi, dan melakukan hal yang kita inginkan. mempunyai waktu dengan keluarga, dan hal-hal yang kita bayangkan hanya bisa dilakukan 30 tahun lagi, bisa dilakukan sekarang.

tapi tentu saja hal itu perlu dibayar dengan tanggung-jawab-karya yang harus ditunjukan kepada manajer atau klien. tapi bukankah itu sepadan?

budaya kerja konvensional, dijelaskan dalam buku ini, juga memiliki berbagai kekurangan. seperti halnya untuk berkomunikasi dengan orang di sebarang meja saja kamu harus mengirim email. pekerjaan seperti itu seperti membuat yang dekat menjadi jauh, dan untuk melakukan itu apakah harus menuntut kita hadir di kantor?

belum lagi distraksi antara pekerja di ruangan, yang terkadang membicarakan hal-hal yang tidak perlu. yang tidak jarang pula membuat pekerjaan kita menjadi tidak fokus. berbeda dengan remote, kita bisa mengendalikan itu semua, tentu saja dengan catatan bekerja di tempat yang nyaman. malah dengan begitu, kita bisa lebih produktif dan menyimpan tenaga kita yang awalnya untuk pulang-pergi kantor, menjadi untuk melakukan gym atau berkumpul dengan keluarga.

buku ini memang sedang berbicara tentang budaya remote di Amerika, penulisnya merupakan pendiri perusahaan yang mayoritas karyawannya bekerja secara remote. tentu saja apa yang ia tuliskan di buku ini benar-benar sudah ia aplikasikan di dalam budaya kerjanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline