Yogyakarta tidak punya sejarah kuat mengenai tanaman kopi.
Sejak lama Tanah Mataram ini lebih dikenal sebagai penghasil reramuan jamu, rempah masak, teh, dan hasil tani pegunungan segar yang sekira sama dengan banyak daerah lain. Di sekitarnya pun nyaris tak ada perkebunan kopi berskala besar, setidaknya sebelum perkebunan Losari di kaki Merbabu tak jauh dari Candi Borobudur, yang sejatinya juga masuk wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah.
Di luasan Pulau Jawa, kopi yang diakui otentik sebagai paling tua dan tradisional kiranya baru Kopi Ijen di pegunungan Bondowoso yang konon telah menjadi komoditas sejak era V.O.C. tahun 1700-an.
Akan tetapi waktu membuktikan Yogyakarta muncul ke permukaan sebagai daerah eksotis tujuan para peminum kopi, apalagi sejak era kopi jos dengan seduhan bara kayu dan penyajian kakilimanya.
Kini, sejarah produksi kopi Yogyakarta coba memasuki tahap baru, coba memanen biji-bijian ajaib ini dari tanahnya sendiri. Dan sebagaimana dikenalnya sebagai tanah sakral berlapis tradisi, tempat mana lagi di Yogyakarta yang lebih subur dan otentik, kecuali kaki Gunung Merapi.
Sabtu pagi (16/5/2015), saya bersama kompasianer “isu kota” Ratih Purnamasari menghirup udara segar yang sama sejak berangkat dari kota Yogyakarta sekira pukul tujuh lebih sepuluh. Tak sampai setengah jam keluar dari keramaian lalu melewati jalan menanjak persawahan, saat udara perlahan semakin sejuk, kami tiba di gerbang masuk Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Udara begitu bersih di ketinggian 780mdpl ini, meski lalu-lalang truk penambang pasir di atas aspal rusak tetap merusak pemandangan. Tujuan kami adalah Dusun Petung, agak ke barat dari kantor desa dan belum begitu berkembang.
Kami harus menembus hutan curam dengan jalan hancur berbatu karena dilindas truk-truk penambang pasir berplat luar daerah. Setelah jalan agak membaik dan membelok ke barat melewati Kalikuning, kami tiba di pelataran landai berpasir, persis di tengah-tengah jalur wisata off road Lava Tour. Bau debu vulkanik yang terhambur dari ban-ban kendaraan 4-WD selalu tajam menggelitik rongga hidung.
Pada kedua sisi jalan tak banyak pepohonan selain tumbuh-tumbuhan pelindung dan beberapa tanaman kecil berdaun hijau mencuat di tanah. Hanya beberapa langkah dari kebun mini ini, membuka arah pandang langsung ke wajah cantik Merapi, warung “Kopi Merapi” berdiri rendah, di titik yang pas di mana kita bisa menikmati semburan gas tipis dari kawah puncak di utara dan pemandangan kota nun jauh di selatan.
Pria berperawakan sedang, rambut tipis, senyuman ramah dan suara tenang, dengan kaus Stand Up Comedy KompasTV season 4 biru cerah menyambut kami.
Sumijo (40) adalah petani kopi tulen yang juga pemilik “Kopi Merapi”, satu-satunya warung kopi di area ini. Dua cangkir disuguhkan dan kami langsung menyesap Robusta dan Arabika, dua rasa kopi tertua di dunia. Hangat di kerongkongan melebur rasa dengan sejuk udara di kulit. Raungan mobil-mobil Lava Tour diselingi sorakan girang wisatawan mengelilingi kami di kejauhan, dan Sumijo mulai menceritakan jalan panjang kopi di kaki merapi.
“Dulu memang tidak dikenal. Kami baru mulai seriusi kopi Merapi sejak 2004.”
Sumijo menjelaskan, tanaman kopi di lereng Merapi Sleman sebetulnya sudah ada sejak zaman kolonial. “Sekitar 1930-an,” ujarnya sembari membetulkan posisi duduknya, “Nenek-kakek kami dulu sudah menanam kopi di sini. Entah bagaimana awalnya, tapi kebanyakan lahan penanaman kopi di sini sudah ada dari dulu. Saya sendiri mewariskan tanaman dan lahan kebun kopi kecil dari orang tua.”
Tidak ada catatan sejarah dari mana sebetulnya bibit kopi bisa sampai di Merapi. Akan tetapi beberapa tulisan blog pecinta kopi beranggapan bahwa kemungkinan bibit-bibit di Sleman menyebar dari perkebunan terdekat, terutama di lereng Merbabu daerah Magelang atau plato Dieng di Wonosobo. Meski begitu ada pula yang beranggapan bibit kopi di Merapi dulunya digotong dari Pegunungan Ijen.
“Kalau Kopi Ijen itu jenis Arabika,” Sumijo coba menyatukan dugaan. “Saya kurang jelas, tapi zaman sebelum kami, bibit-bibit kopi di Merapi ini kebanyakan memang jenisnya Arabika. Tapi karena ternyata tumbuhnya tidak begitu bagus, bijinya kecil-kecil, kami ganti dengan Robusta, yang ukurannya lebih besar, dan ternyata cocok sampai sekarang.”
Dari beberapa petak kebun kopi yang mulai tersebar di Petung, menurut Sumijo, semuanya petani akhirnya beralih dari Arabika ke Robusta. Fase pertumbuhan jenis Arabika memang kurang cocok dengan geografi lereng merapi yang didominasi vulkanik tebal dan tanah berpasir pada ketinggian yang hanya di bawah 1.100mdpl.
Padahal, ketinggian optimal untuk kualitas tumbuh terbaik jenis Arabika berada di kisaran 1.200 hingga 1.800mdpl. Robusta, yang kebutuhan geografi optimalnya hanya di ketinggian 400 hingga 800 mdpl, lantas jadi pilihan. Meski biji-bijinya belum sebesar lahiran daerah penghasil lain, Robusta di Merapi ternyata tumbuh menjanjikan. Kopi pekat dengan asam lebih rendah di cangkir memang terlihat cemerlang dan asli.
Sugiman, seorang petani dengan area tanam yang paling luas menjelaskan, sejauh ini belum ada kopi selain jenis Robusta yang pernah diujicobakan dan berhasil di Petung. Bibitnya dibawa dari perkebunan di pelosok Jember, Jawa Timur, dan sampai sekarang berhasil tumbuh tanpa banyak kendala.
Sejak pertanian diintensifkan pada 2000-an, kopi Robusta bertahan paling lama dari serangan hama penggerek. “Arabika kerdil-kerdil, tumbuhnya sebentar dan hasilnya sedikit sekali,” ujar pria paruh baya yang tidak kalah ramahnya. Dengan terbuka Ia menerima kami langsung di tengah kebunnya, hanya sepenanjakan dari Museum Mini “Sisa Hartaku” yang dipadati wisatawan dan jadi tempat parkir mobil-mobil off road tadi.
Anak-anakan Robusta di kebun Sugiman sedang masuk fase tanam matang, berkisar antara dua hingga dua setengah tahun umurnya. Pohon-pohonnya setinggi leher orang dewasa dan biji-bijinya mulai merebak di banyak tangkai, bulat merumpun dengan kulit hijau-hijau gelap mengkilap. “Paling cepat masuk bulan September atau Oktober,” papar Sugiman, “biji-bijinya merah dan moga-moga siap dipanen.”
Mengalah pada erupsi
Akan tetapi di masa-masa awal perkembangannya, perkebunan kopi Merapi harus siap akan kenyataan yang tak terelakkan. Fase erupsi gunung yang relatif teratur setiap lima-enam tahun sekali mengejar siklus tanaman kopi dalam masa tanam yang begitu sempit. Sugiman mengenang, tanaman kopi yang dulunya menyebar pada 1990-an berkali-kali harus mengalah pada kekuatan alam yang sulit ditebak itu.
“[Petani] yang bertahan tidak banyak. Makin ke sini, tambah sedikit.” Saat saya tanya mereka beralih ke tanaman apa, petani itu tersenyum tanpa suara, kemudian menggeleng. “Bukan tani lagi. Tambang pasir. Uangnya banyak, cepat kaya.” Sejenak terdengar raungan mesin-mesin truk pengangkut dari kejauhan.
Kembali ke warung, Sumijo membenarkan. Ia mengungkapkan bahwa erupsi Merapi memang tidak bisa dihindari, dan karena itu pula sebisa mungkin kopi bisa dipanen setidaknya satu kali dalam satu tahun. Itupun, dengan luasan kebun yang belum seberapa, belum banyak hasil tanam dari fase-fase panen yang bisa dinikmati langsung sampai ke cangkir.
Ia pun belum banyak tahu soal kabar “panen besar” yang tersebar di media, menuliskan bahwa pekan-pekan ini Kopi Merapi sedang memulai panen rayanya yang pertama sejak erupsi tahun 2010. “Belum, kalau saya sendiri belum. Masih kecil-kecil pohonnya,” tunjuknya ke cuat-cuatan pohon kecil di pasir yang saya lihat sebelumnya.
Guna mengonsolidasikan kembali para petani kopi setiap masa pasca-erupsi, Sumijo bersama beberapa rekan mengadakan pertemuan. Sejak terbentuknya Asosiasi Petani Kopi Kabupaten Sleman pada tahun 2004, pemetaan lahan pertanian dan petani kopi di lereng Merapi sendiri mulai terlihat polanya. Meski hasil dari paguyuban ini belum begitu banyak, Sumijo terus memantau keadaan dan menjalankan lahannya.
Hingga akhirnya ia didapuk sebagai Ketua Koperasi Kebun Makmur desa Petung. Anggotanya ada 1.200 petani. Meski hanya setengah dari jumlah itu melanjutkan lahannya, Sumijo yakin mereka jalan.
Tak mau saingi merek besar
“Kami membudidayakan kopi bukan untuk dijual mengalahkan merek-merek besar,” sanggah Sumijo saat saya singgung bahwa potensi pasar Kopi Merapi sebetulnya besar, mengingat citarasanya yang khas dan potensi wisata ngopi-nya yang mulai dilirik. Ia berdiri sejenak untuk melayani sepasang muda-mudi yang baru datang dan duduk semeja dengan kami.
Tercatat, beberapa tokoh pecinta kopi sudah pernah mampir ke Kopi Merapi. Penyanyi Trie Utami, mantan Panglima TNI Djoko Santoso, dan adik kandung Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Maya Soetoro pernah duduk di bangku warung tempat yang sama dengan kami. Tapi Sumijo mengaku tidak mau muluk-muluk.
Meskipun bubuk Kopi Merapi kini mulai dijual dalam kemasan dengan merek terdaftar dan pesanan mulai datang berkali-kali berbagai hotel, kafe espresso ternama, dan penyedia jasa wisata, fokus koperasi tani Kopi Merapi tetap pada bagaimana mengembangkan lahan pertanian terlebih dahulu. Lahan tanam yang ada di Desa Petung masih terpencar di banyak titik dan luasannya belum seberapa luas.
Lahan milik Sugiman, misalnya, ditanami hanya sekitar 200 hingga 210 pohon. Sang petani mengaku, masa tani kopi Merapi masih coba-coba, termasuk dalam menghitung jarak ideal antarpohon dan menambah peran jenis-jenis tanaman naungan seperti sengon dan lantoro, pohon berdaun kecil dan rapat yang ditanam sekeliling agar kopi tidak terlalu terpapar sinar matahari yang bisa merusak keseimbangan nutrisinya. Karena itu pula petani ini masih merasa malu jika lahannya disebut “kebun,” karena luasannya tak seberapa itu.
“Cita-cita kami sederhana saja,” ujar Sumijo begitu kembali duduk di bangku setelah melayani rombongan lainnya. “Selama ini, yang kita tahu, kopi Indonesia kita terkenal bagus, dibawa ke banyak negara dan dijual mahal di sana, disajikan mewah dan bagus. Kopi Toraja, Kopi Gayo, Luwak, kita terbaik di dunia.
"Tapi saya sendiri tidak pikir sejauh itu. Kalau untuk Kopi Merapi, yang paling penting, saya itu kepingin kopi kami dikenal oleh orang Indonesia sendiri.” Sumijo menerawang jauh dan suaranya terdengar lebih bersemangat. Ia sendiri telah berkeliling banyak daerah dan menjelajahi kopi di banyak tempat, selalu mendapatkan citarasa khas yang berbeda, dan itu menurutnya peluang bagus untuk kembangkan kecintaan kopi di dalam negeri, tidak melulu berorientasi ekspor.
Kopi Toraja, Gayo, dan Luwak jadi komoditas terbesar menyumbang perdagangan internasional Indonesia. Pasar terbesarnya tetap benua Amerika dan Eropa dengan nilai ekspor tahunan tiap-tiapnya 4,6 dan 5 triliun. Menyusul MEA, Australia jadi sasaran ekspor kopi-kopi khas Indonesia dengan target nilai 2,4 triliun dan mulai menguasai pasar Asia, bersaing ketat dengan Vietnam. Bagaimanapun, Sumijo punya pandangan sendiri.
“Orang Indonesia sudah banyak yang kaya. Citarasa kita terhadap kopi sekarang makin bagus, tidak lagi meminum sekadar karena kebutuhan. Gaya hidup kita membaik, dan pasti bagus kalau kita paham kopi yang tumbuh di tanah kita sendiri. Di mana-mana kopi kita diakui, sudah waktunya kita kasih kopi terbaik untuk orang Indonesia.”
Dengan nada suara kembali tenang Sumijo juga mengungkapkan harapannya bahwa petani-petani Indonesia makmur dari kopi, ataupun mengembangkan pengetahuan meninggalkan sistem monokultural, menambah komoditi dan mengembangkannya bersama-sama.
Jika sekarang ia masih merasa kekurangan tenaga meyakinkan petani untuk beralih ke kopi atau tidak beralih menjadi penambang pasir, ia selalu optimis bahwa masa depan Kopi Merapi akan semakin baik. Beberapa tokoh dan penjelajah kopi yang bergantian mengunjungi Merapi hanyalah tanda-tanda baik bahwa Kopi Merapi akan jadi bagian penting dari perjalanan kopi Indonesia.
Pada 2007, Sumijo membawa beberapa bungkus Kopi Merapi memenuhi undangan sebuah forum penghargaan merek produk di hotel J.W. Marriot, Jakarta.
Dengan gugup karena berhadapan dengan banyak pengusaha berskala besar, Sumijo memperkenalkan Kopi Merapi dan bercerita banyak tentang pertaniannya. Meski dengan terkekeh ia mengenang kesulitan saat gala dinner yang menyajikan lobster besar dan tanpa hidangan nasi, ia senang dengan pengalamannya itu. Kopi Merapi yang produksi koperasi petani mengalahkan banyak merek dan diganjar Standar Nasional Indonesia (SNI) Award, bersanding dengan empat merek lain yang diproduksi oleh perusahaan berskala Perseroan Terbatas (PT).
Piala SNI itu kini tertempel sebagai cap mentereng di kemasan Kopi Merapi, dan akan bertahan sampai bertahun-tahun mendatang.
---------------------
Kebun Kopi Desa Petung | Ketinggian: 750-820mdpl. |Letak: Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman.
Bagaimana ke sana: Jalur Jl. Kaliurang menuju Cangkringan, ke utara hingga melewati gerbang wisata Kinahrejo, berbelok ke timur menuju area offroad Lava Tour dan Museum “Sisa Hartaku”.
Warung Kopi Merapi milik Sumijo | Harga per cangkir Robusta atau Arabika: Rp6.000,-.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H