Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Gaun Tempur

Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: An Eco-Friendly Pianist Wears Her Heart on Her Sleeveless Dress Seo Yeon Lee/New York Times

*

Banyak orang menyemangatiku,

Itu wajar karena aku akan menghadapi pertempuran.

*

Ibuku, seorang mantan guru yang dipaksa membikin senjata di zaman perang,

Sebelum pulang dan menjadi miskin, menjahitkanku sepucuk gaun.

Manset dan payet menghiasinya di banyak sisi,

dan aku berputar-putar seperti anak girang di taman

Berpamer muka dengan berkata “Aku orang yang beruntung.”

Dan orang membalas, “Ya, kau gadis yang beruntung.”

*

Ayahku, dulunya pandai besi,

Tapi ia tak begitu dikenal meski negeri kami memangkan peperangan.

Keringatnya membasuh bayonet dan otot-ototnya menempa peluru,

Tak ada  yang tahu, tak satupun mencari tahu. 

Beliau mati dalam keadaan tua, miskin dan terasing.

Makamnya berada di pulau yang jauh dan ditancapi senjata yang ia tempa dulu,

Tanpa nama dan tanpa tanggal.

*

Les Dolores, sebuah panggung megah di tengah kota yang hampa.

Di sana banyak orang berpangkat, laki-laki penggawa dan perempuan penggibah.

Dulunya, pelataran ini hanya diinjak Ningrat yang bersepuh pedang,

Dan selop-selp jinjit inlander penjilat dan tanpa kuasa.

Di sela abad konon Jepang mendudukinya pula,

Memilahnya di banyak ruangan dan menjadikannya kantor pajak.

Menghitung rente yang dipungut dari orang rendahan,

Menghitungnya dengan tangan-tangan pribumi sendiri.

Tapi masa kini berbeda dengan apa yang tiada.

Panggung megah bermandi cahaya, dan aku akan menari di atasnya.

*

Seorang campuran bersenyum sendu.

Rahangnya kokoh namun matanya syahdu.

Hadwin, begitu namanya, menyapaku tanpa berani menyentuh.

Nama itu magis dan lugu, bercampur antara Kaukasia dan bau Sahara.

Pria yang lucu, tersenyum setiap aku tertawa,

Mengangguk setiap aku bercerita.

Di sela detik bahkan ia memamerkanku pada rekan-rekannya,

Mengangkat dagu dan menggandeng bangga.

Aku tepekur, Aku bergumam.

Andai Ibuku di sini, dia pasti akan sangat senang.

Gaunku diseret dan tanganku digamit.

Orang-orang tak percaya. Para wanita tak berdaya.

*

Tetiba aku ingat Ibu pernah berkata,

Perempuan gunakan bibir sebagai pengundang,

Tetapi gunakan Gaun sebagai senjata.

Main mata berusai cepat,

Tapi pertautan hati ibarat pertentangan.

Aku tak bisa terus begini, aku ada panggung dan tuntut menari.

Hollesto, Hollesto, beberapa jingkrak dari Hindia Tengah.

Hanya itu, dan orang-orang akan bertepuk tangan.

Tetapi sesuatu lantas terjadi.

*

“Orang itu seharusnya jadi mayor sekarang,” kata sebuah suara.

“Bukannya mati di pulau terlarang. 

Tanpa nama dan tanpa bunga berkarang. Syih, begitu menyedihkan

Nasib Lillian Ongsu, pandai besi tak berguna.”

Hatiku gempar, semangatku runtuh. Ibarat anggur merah yang berubah hitam,

Memuai kaca hingga pecah, Membasuh bibir hingga terbakar.

Ya, hatiku terbakar. Dimakan murka, aku terbakar.

Perkatannya begitu ringan, mukanya bahkan menyungging,

Menyinggung ujung rokku yang terlau pendek,

Ataukah aku yang berjalan nan lambat.

Tak perlu banyak jenak,

Aku berlalu dan menyapu segan,

Membuai senyum yang bukan-bukan.

Kamudian kutarik belati dari pinggang seorang Mayor.

Dan kutusukkan tepat ke tengah lehernya.

Anggur keluar mancur dari lubangnya.

Ia mencela gaunku, dan merasa dirinya baru saja meninggalkan pertempuran.

Oh, tidak. Dia baru saja masuk ke pertempuran.

Seperti muntahan cerca yang keluar dari mulutnya.

--------------------------

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline