Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Koloni (3)

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* (Sebelumnya....)

Pencarian mereka tidak sia-sia, karena teman Eno berhasil mendapatkan enam eksemplar koran yang tiap-tiapnya memuat berita dengan sematan nama Paulinus Petor, baik sebagai seorang psikolog amatir dan pastor. Keenam tulisan itu berjenis berita dan ditulis antara 21 September hiingga 30 November 1993. Meski sebagiannya berbau politik, Eno bisa mengendus sebuah petunjuk penting dalam barisan artikel ini. Temannya kemudian menemukan sebuah buku sejarah berjudul Petrus: Siapa Pemicunya? karangan Emir Ansyarullah, mantan staf ahli menteri yang konon berdiam di sebuah desa tertinggal di ujung selatan Sulawesi. Eno dan temannya berangkat pulang dari tempat itu sekitar pukul satu, membangunkan penjaga tua yang menyerakkan lebih dari sepuluh puntung rokok di lantai yang baru dibersihkannya.

“Kepolisian harus mengejar sesuatu di tempat jauh,” kata teman itu kepada Eno saat mereka berjalan menuju mobil.

“Maksudmu, penyelidik harus menghadirkan pengarang Emir Ansyarullah ini?”

Teman itu mengangguk. “Tidak bisa menghadirkan. Kalian yang harus ke Bulukumba, diam-diam. Itu kabupaten kecil di selatan pulau Sulawesi. Kalau polisi cukup pintar, kalian akan bisa membawa pulang keterangan dan mungkin bukti-bukti penting dari sana dengan aman tanpa menaruh siapapun di bawah risiko lebih besar. Penulis ini tahu siapa Paulinus Petor yang sebenarnya. Buku-bukunya penuh detil penting tentang sebuah kasus besar yang merupakan sejarah kelam operasi militer di tanah air. Sabarlah, temanku. Kasus kalian ini lebih besar dari kelihatannya.”

Kedua orang itu melaju menderitkan ban sedan itu di atas aspal basah. Yang tidak mereka sadari adalah, seseorang di balik pohon tersudut seberang jalan telah lama menunggu mereka.

**

Perjalanan ke daerah pesisir Kabupaten Bulukumba dibantu oleh satuan polisi setempat sejak penjemputan di Bandara Hasanuddin Makassar sampai ke rumah orang yang dicari. AKBP Zain Abdullah memimpin langsung penyelidikan ini, dibantu ketua tim penyelidik Eno dan seorang rekannya yang lain. Di desa bernama Tanahberu itu, mereka disambut dengan sedikit sajian adat ala campuran etnis Bugis-Makassar dipadu laku ritus tua yang diklaim telah berumur ratusan tahun. Pohon-pohon kelapa berbaris paling depan dekat jalan sampai ke pasir-pasir berwarna coklat keputihan, meloloskan sapuan angin yang menderu kemudian menghilang, berulang-ulang. Di atas rumah panggung berlantai papan itu, tim penyelidik menyerahkan berkas dokumen surat perintah, permintaan resmi atas nama yang dituju, dan bahasa verbal yang dengan cepat meyakinkan --orang di desa ini sangat peka dengan kehadiran polisi, yang berarti sebetulnya mereka tidak perlu surat-surat itu, karena tiga orang tua di rumah itu buta huruf. Hanya satu laki-laki tampak lebih muda di antara mereka, bertelanjang dada dengan perut membusung yang menjadi satu-satunya topang-gantungan sarung kotak-kotak hijau bambu yang terlilit dan mengembang. Zain langsung mengetahui orang itu dan memperkenalkan timnya. Meski awalnya canggung dan penuh kecurigaan, mantan akademisi itu akhirnya bersedia memberi keterangan. Satu-satunya janji yang ia minta ditepati adalah bahwa tak seorangpun selain dari para tamu itu tahu di mana dan apa aktivitas dirinya saat ini. Dan berbagai kebocoran informasi di kemudian hari mungkin akan jadi yurisprudensi buruk bagi kepercayaannya pada penegak hukum. Emir Ansyarullah mengaku memiliki hubungan darah dengan kampung ini, satu-satunya alasan masuk akal mengapa memilih tempat ini sebagai “pelarian terakhir”.

“Paulinus itu orang hebat.”

Emir memulai penjelasannya di depan penyelidik, langsung lancar setelah beberapa teguk kopi hitam pahit yang juga dibagikan untuk tamu-tamunya. Musik khas Bugis bersenandung gemerisik dari kejauhan belakang.

“Dia pemandu rohani saat-saat genting. Mungkin orang berpikir saat-saat genting memberikan banyak pilihan pelarian jiwa. Tidak, tidak di saat-saat operasi militer atau mata-mata seperti tahun delapan puluhan. Anda bisa bebas beragama waktu itu, tapi kebebasan Anda yang sesungguhnya diatur sedemikian rupa oleh penguasa. Anda bebas beribadah tapi diatur harus di mana tempatnya dan dilarang pada ajam-jam tertentu.” Emir berhenti sejenak, mengisap dalam-dalam tembakau gulungnya kemudian membuat bulatan-bulatan asap di udara. Tamunya yang terheran-heran pada akhirnya cuek saja setelah mantan pengajar itu melanjutkan pemaparannya. “Ada sebuah kampung, jauh di heningnya Kota Tua Semarang, pada September 1987, menjadi tempat pembantaian puluhan orang etnis Cina, Kristen dan Katolik secara diam-diam karena rezim waktu itu menganggap mereka bagian dari bibit-keturunan komunis. Akhirnya diam-diam terjadi aksi penculikan terhadap para aktivis gereja dan orang-orang kelenteng waktu itu. Tak ada yang tahu siapa yang memerintahkan, tapi bisik-bisik di masyarakat tentu punya opini tersendiri, meskipun tak ada orang biasa yang berani coba membongkarnya. Karena jelas, semua tahu akibatnya. Akan tetapi, saya yang waktu itu melakukan studi akademisi metode jurnalistik tentang penanganan keturunan terduga komunis menerima banyak penjelasan dan praduga. Lewat bisik-bisik kabar di kalangan militer, saya bertemu dengan orang ini. Oh, permisi sebentar.”

Emir bangkit, masuk ke kamarnya kemudian kembali dengan selembar foto setengah folio di tangannya. Gambar itu menunjukkan suasana latihan militer yang setidaknya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Di dalam sana ada tiga perwira yang seperti sibuk memberi komando --sudut pemotretannya tersembunyi dan insidental, terlihat dari gestur objek foto yang tidak mengetahui diri mereka dipotret.

“Orang di paling kiri ini,” Emir menunjuk dengan jarinya. “Dia yang akhirnya memberi tahu saya soal fakta-fakta yang menjurus bukti bahwa aksi militer dan penculikan itu dilakukan oleh petinggi yang berurusan dengan orang-orang politik rezim pemimpin. Anda tahu orang-orang siapa yang saya maksudkan. Nah perwira ini, lebih tepatnya, pangkatnya Letnan Kolonel, diam-diam membocorkan salinan rencana dan daftar nama-nama target operasi ‘pembersihan’ yang waktu itu sudah setebal ini!” Emir membentangkan dua tangannya dalam jarak sekitar lima sentimeter.

“Tunggu. Tunggu dulu.” Zain memotong. “Kolonel ini, siapa namanya?”

“Letnan Kolonel Supardi.”

“Supardi yang dikenal sebagai Jinggo?, dia itu kan anggota penting dari operasi pembebasan Irian Barat tahun 1962.”

Emir membenarkan tebakan Zain.

“Maaf, siapa orang ini?” Eno coba mendapat petunjuk. Dalam pikirannya belum ada sama sekali memori soal orang bernama Supardi ini. Lagipula, catatan sejarahnya sendiri tidak banyak mempelajari cerita-cerita buku tentang teori konspirasi atau hal-hal yang terjadi di masa kanak-kanaknya.

“Supardi komandan batalyon yang memimpin aksi militer ke Papua Barat, yang waktu itu dikenal sebagai Operasi Pembebasan Irian Barat.” Zain ganti menjelaskan kepada anak buahnya. “Presiden waktu itu melakukan agresi militer dan politik untuk memenangkan pertaruhan di kawasan yang waktu itu berhadap-hadapan dengan Belanda sampai akhirnya diambil alih oleh tim ad hoc pemerintahan eksekutif PBB. Irian Jaya bergabung dengan Republik Indonesia setelah referendum tahun enam puluh sembilan dan operasi militer sepanjang perjuangan tujuh tahun itu dianggap sebagai keberhasilan  besar ABRI. Nah, Supardi yang waktu itu masih perwira bawah kemudian diangkat jadi Letnan Kolonel setelah juga ikut terlibat dalam operasi pemberantasan pemberontakan di Aceh.”

Emir mengangguk mengiyakan. “Belakangan, Supardi ini (yang dianggap orang setia di korps ABRI) menyadari ada yang salah dengan operasi terbaru perburuan para aktivis dan orang-orang ‘yang dianggap ancaman bagi negara’ selama tahun delapan puluh enam sampai delapan puluh sembilan. Ia lalu mencari sendiri, bukti-bukti yang bisa mengarahkan ke orang-orang tertentu yang jadi pelaku inti pembantaian. Hasilnya mengecewakan, karena Supardi, bukannya mendapatkan petunjuk, malah mulai mendapat ancaman-ancaman misterius dari kelompok-kelompok yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Termasuk, beberapa kali merasa dirinya telah diracun dan berusaha dibuat gila. Supardi menandai beberapa orang yang sering mengejar untuk membunuhnya, sampai akhirnya ia tidak kuat dan merasa depresi. Ia mengaku sering bermimpi seram dan merasa selalu dikejar setan. Ia selalu mendengar kokangan senjata dan bunyi derat peredam suara meskipun ia tak bisa melihat siapa-siapa di dekatnya. Ia paranoia, dan memutuskan untuk bertemu seorang yang sekiranya bisa mengobati rasa takutnya.”

“Paulinus Petor….” Eno berujar sendiri seperti mengikuti irama penjelasan. Semua kronologi itu mulai mencuatkan garis merah kini. Ia juga yakin jawaban tebakannya tepat karena Emir mengarahkan telunjuk padanya sebagai isyarat bahwa itulah kelanjutan yang ingin ia utarakan.

“Paulinus Petor memang bukan psikolog profesional. Ia tidak bersertifikat dan tidak memiliki surat legal apapun. Tapi, seperti halnya dukun yang lebih dipercaya daripada dokter, orang ini menarik perhatian banyak orang yang percaya bahwa nasib mereka bisa lebih beruntung setelah berbicara dengan orang dengan nalusi penyembuhan yang baik, bukan segepok peralatan medis dan daftar harga jasa. Supardi punya pemikiran yang sama dengan orang-orang itu. Dan pada puncak ketakutannya malam bulan Juni 1993 itu, ia menemui Paulinus. Di rumahnya yang --seperti Anda sudah selidiki-- di Sleman. Oh, sungguh saya tidak mengira nasib orang itu benar-benar sial. Supardi pasti masih memiliki kekuatan sakti ala militernya sehingga bisa membuat orang yang mengobatinya sendiri mati mengenaskan seperti itu?”

“Belum ada yang bisa memastikan apa yang menyebabkan kematian Paulinus.” Zaini berusaha meluruskan semua alur perkara yang ditanganinya. Opini publik sering kali melenceng terlalu jauh dari fakta penyelidikan yang berlangsung. Meski demikian, ia tidak memungkiri telah merasakan ada banyak sesuatu yang benar dengan penjelasan Emir barusan. Setidaknya, ia kemari untuk menggali lebih banyak potongan teka-teki yang bersangkutan dengan latar dan mungkin juga, penyebab kematian seseorang.

“O, tentu saja itu tergantung apa yang kalian temukan nanti. Kalau beruntung, kalian akan menemukan fakta yang sesungguhnya, dan bukannya terjebak pada persepsi yang berlaku lama.”

“Maaf, maksudnya?” Eno meminta kejelasan pernyataan tersebut.

“Fakta-fakta…,” jelas Emir. “selalu berada di balik tirai yang menyelubung, Nak. Dan kau selalu tahu bahwa tirai selalu tertiup angin, dan belum tentu kembali ke posisi jatuhnya yang semula. Memori, nalurimu akan berbicara.” Eno lantas merasa sedikit takut karena orang itu melototkan mata dan mendekatkan wajah kepadanya.

“Kami sudah paham itu, Pak. Terima kasih.” Zain mengangguk paham dan tak ingin integritas mereka disalahartikan lebih jauh. Saya rasa kami sudah mendapatkan apa yang kami cari, Pak. Oh ya, kalau tidak keberatan, Pak Emir, saya meminta kontak pribadi Anda untuk sewaktu-waktu…”

“Sebelum itu, Pak Zain,” Emir memotong dengan telapak tangannya. “Saya kepingin tanya: Siapa yang memberitahukan ide untuk menemui saya ini?”

Zain agaknya tidak bisa menjelaskan tegas,  karena pada faktanya kunjungan sejauh lebih dari seribu kilometer itu atas ide anak buahnya. Lagi-lagi ia merasa malu dan untung saja Eno, seorang yang mengawalnya sepanjang hari itu, menjelaskan kronologi ide awal kedatangan mereka dan itu ternyata memuaskan hati Emir Ansyarullah. Tuan rumah itu berdeham kemudian berkata, “Sepertinya kalian tidak sendirian.” Zain lalu mengiyakan bahwa memang mereka datang secara berkelompok, tenang sebelum akhirnya menyadari bahwa maksud pernyataan itu sebetulnya misteri lain yang membuatnya bingung. Memilih tidak ingin menambah beban pikiran, ia serahkan teka-teki terakhir itu kepada anak buahnya yang, untungnya Eno, tahu persis jawabannya.

Seturun dari rumah panggung itu, rombongan polisi itu berpamitan dengan beberapa orang yang tampak sibuk menjahit jala. Aroma rumput laut mulai menyeruak saat matahari mulai panas-panasnya sebelum nanti mendingin membawa gulungan awan kering. Eno mengangguk menyalami orang itu satu-satu, kemudian berlalu ke mobil. Saat rombongan itu kembali ke Makassar seusai santap siang bernuansa kelapa bakar, rumah panggung itu kembali sepi seperti biasa. Di kolongnya yang berlantai tanah, seseorang mencabut alat hitam yang menempel di lantai kayu yang berada di atasnya. Orang itu tersenyum puas. (selanjutnya...) -------------------------------- Ilustrasi: convozine.com. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline