Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Helvetica

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Helvetica

“Masuk.”

Pintu berderit dan terbuka. Meloloskan cahaya matahari keemasan jatuh ke lantai ubin hitam yang bersih dari debu. Juga udara sejuk yang membelah hangat dan pengapnya ruang tamu.

Di ambang pintu kini berdiri Elin, gadis delapan belas tahun yang lebih senang dianggap sebagai gadis dewasa. Dandanannya lebih mirip perempuan dua puluhan: kaus tipis kuning pucat yang cukup untuk melindungi bagian dada dan pundaknya yang sempit, yang ujung bawahnya menindih pinggang celana jins warna biru yang sama pucatnya. Di pergelangan tangannya bahkan terlilit ikat rambut yang seperti sengaja dijadikan gelang, menambah kesan kalau dia benar-benar ingin terlihat cantik. Setelah masuk sebagaimana disilakan tuan rumah, gadis itu dengan hati-hati meletakkan rantang tiga susun di tengah meja tamu, persis di dekat tumpukan kertas dan sampul buku yang berantakan.

“Sudah banyak sampah daun di luar,” ujar gadis itu sambil menyapa.

Tuan rumah itu terkekeh dan membenarkan. “Belum sempat aku bersihkan, maklum, kau lihat sendiri.”

Elin mengangguk dan mengiyakan. Benar laki-laki sesibuk ini mana sempat memikirkan hal-hal seperti sampah di halaman atau cat yang belum diganti. Aduh, bahkan beberapa bagian rumah itu keropos tak juga diperbaiki. Gadis itu baru akan pergi ketika tiba-tiba mendengar namanya dipanggil.

“Iya?” ujarnya membalik badan.

“Sebentar.”

Sang tuan rumah, laki-laki dua puluh enam tahun yang lebih kelihatan tigapuluhan, bangkit dari kursi di meja kerjanya yang menghadap jendela itu. Meregangkan dua lengannya ke udara sejenak, kemudian merogoh sesuatu dari saku celananya yang tergantung sembarangan di dinding ruang tamu itu. Baru saja ia mencari-cari uang di dalam sana, tiba-tiba mendengar Elin berseru. “Tidak perlu, Kak.”

Jonas, laki-laki itu, terkekeh kemudian berkata dia bukannya mau memberi tip, melainkan akan membayar utang kateringnya yang kemarin-kemarin. Elin kemudian mengingatkan bahwa Jonas masih ada deposit uang untuk pembayaran jasa kateringnya sampai pEling tidak empat hari lagi. Jonas menepuk jidat, berterima kasih, malu. Ia lantas berkata bahwa kalau boleh, ia minta dibawakan jus buah segar pada sore harinya. Elin bertanya “buah apa?” Jonas tersenyum berkata, “Kamu yang pilihkan.”

**

Sudah tiga bulan memang juru ketik ini memutuskan untuk makan di rumah, memesan katering rantangan setiap dua kali sekali, alih-alih keluar makan yang hanya akan menghabiskan waktunya tidak berkualitas. Pekerjaannya menyelesaikan dua buku beruntun memberinya pilihan yang lebih hemat, cermat, namun tidak harus membuatnya kehilangan selera. Tawaran jalan keluar itu kemudian muncul ketika tidak sengaja di suatu Jumat sore, ia baru saja pulang dari jalan santai melihat pemandangan sungai kecil di dekat Danau Cebong tempatnya biasa menggali ide sembari bercengkerama dengan para petani sawah. Di jalan kecil itu, ia menemukan rumah yang dipermak seadanya menyediakan jasa penyediaan katering, makanan siap santap yang dapat dilanggan setiap bulan. Tidak butuh waktu lama bagi Jonas untuk berbelok ke rumah itu, mengetuk pintunya dan memesan jasa untuk beberapa bulan ke depan.

Selayaknya banyak penemuan, sering kali diwarnai pertemuan.

Di rumah katering itu, Jonas bertemu dengan Elin --yang tentu saja setelah  bertemu kedua orang tua yang juragan warung. Mereka berkenalan dan langsung menyepakati bahwa jika Bu Nela atau karyawan tunggalnya Pak Kirno, tidak sempat mengantarkan makan siang, mungkin Elin yang akan mengantarkannya. Bagi Jonas tidak masalah, yang penting ia bisa makan dan pekerjaannya tetap lancar. Sejak itulah, sudah beberapa kali pula Elin mengetuk pintu kecil rumah tua berlantai dua yang letaknya di sudut jalan Cebongan itu, menyapa tuan rumahnya, dan pulang dengan perasaan yang tenang, dan muka berseri-seri. Sesuatu yang tak mungkin ditunjukkannya dengan polos begitu saja.

**

Jonas membuka matanya. Ia terheran-heran, bukan karena melihat ramat di langit-langit rumahnya sudah sedemikian banyak tanpa ia sadari, dan atau mengira-ngira bagaimana ia bisa jatuh tertidur di sofa seperti itu. Ia heran karena bukannya bunyi ketukan di pintu, ia malah mendengar bunyi sapu beradu dengan tanah dan dedaunan di luar sana.

“Elin?” sapa Jonas begitu membuka pintu. Sejenak setelah mendapatkan balasan senyuman dan anggukan dari luar sana, Jonas buru-buru menutup pintu kembali, merapikan rambutnya dan kerah kemejanya yang dipakai begitu saja saat bangun, dan juga ritsleting celananya yang longgar. Di luar, ia bisa merasakan cahaya membuatnya pusing. Merasa memang ia terlalu lama di dalam rumah.

“Oh, Kak Jonas maaf,” ujar gadis yang memegang sapu itu. “Aku tidak tahan lihat sampah, dan lihat ada sapu nganggur, saya sapu saja. Maaf kalau membangunkan Kak Jonas…. Saya bawa jus?”

Jonas lalu mengarahkan pandangannya ke bangku kayu kecil di dekat situ, tempat berdiri segelas plastik jus berwarna merah, lengkap dengan sedotan dan plastik bungkusnya yang rapuh. Jonas menepuk jidatnya dan menyadari ia benar-benar hampir pelupa.

“Maaf, saya agak…” ujar Jonas.

“Tidak apa-apa. Saya tidak tahu jus apa kesukaan Kak Jonas, maka saya bawakan ini…”

“Tomat yes?”

“Silakan.”

Jonas merasa malu kemudian karena tahu rasa yang diseruputnya sama sekali bukan tomat, semangka, atau apapun yang ada di pikirannya yang suka menebak-nebak. Tapi rasanya segar. Dalam satu-dua seruput ia bisa merasakan kepalanya kembali terisi darah segar yang membuat dua matanya lebih cerah. Ia menggelengkan kepala, sangat menikmati. Ia lalu berterima kasih. Di depannya, Elin kembali menggiring sampah-sampah daun kering yang membuat halaman itu nampak sedikit terawat.

“Enak,” ujar Jonas mengangguk berkali-kali.

Elin tersipu. Ia tidak salah memilih buah. “Aku pikir pekerjaan Kak Jonas banyak menyita pikiran, bikin mata lelah. Makanya, asal saja, mungkin jus wortel sedikit mengobati mata yang capek.”

Jonas tersedak mendengar itu. Tertawa.

“Kenapa?” protes Elin.

“Tidak. Tidak. Bukan.” Jonas sempat ingin berlontar bahwa lugu juga anak ini mengira wortel benar-benar akan mengobati mata lelah yang memerah. Vitamin pada hakikatnya “hanya” menjaga metabolisme dan mekanisme jangka panjang, bukan mengobati gejala yang datang tiba-tiba seperti matanya yang sering memerah. Dan lagi, wortel tidak lebih baik daripada kandungan susu, madu yang jadi makanan favoritnya, atau ikan salmon ditambah kacang almond yang rasanya lebih berwarna. Ia urungkan penjelasan sok tahu itu dan menyilakan Elin melanjutkan kesenangannya. Toh jus wortel itu lesap dalam beberapa seruputan saja. Perasaan Jonas benar-benar terisi. Kombinasi tidur singkat dan minuman segar memulihkan staminanya.

“Kamu senang sekali menyapu ya?” Jonas bertanya.

Mendengar pertanyaan seperti itu, Elin berhenti sejenak. “Kok tahu?”

“Kamu menyapu seperti di halaman rumahmu sendiri.”

“Jangan sok tahu deh kak.”

Jonas tertawa, menghela napas kemudian melihat ke arah langit.

“Menurutku rumah ini cantik, kalau dirapikan.” Elin melanjutkan perbincangan. Kali ini sapuannya sudah selesai. Ia lalu menegakkan sapu di dekat garasi kemudian duduk meluruskan kaki di bangku lain dekat Jonas. Di bawah pohon ketapang seperti itu, mereka seperi duduk menikmati kafe kecil di dekat jalan kecil yang tidak begitu ramai Kehidupan desa yang menyentuh gaya retro masa kini.

“Ditambah meja dari batang pohon mungkin bagus ya, di sini,” ujar Jonas sembari menggerak-gerakkan tangannya, melukiskan apa yang ada di kepalanya. Elin setuju, dan bahkan, ia mengisyaratkan bagi Jonas untuk segera memperbaiki saja rumah ini.

“Rumah malang.” Jonas berujar lagi setelah keheningan sejenak, membiarkan angin berlalu.

Elin bertanya apa maksud pernyataan itu, menunggu Jonas mengelaborasi kata-katanya, supaya dirinya mengerti bingkai pikiran yang terjadi.

“Aku beli rumah ini dari Pak Ponijan, yang veteran tentara itu. Sekarang kan dia sudah diboyong anaknya pindah ke surabaya. Kamu tahu kan?”

Elin mengangguk.

“Nah, yang kamu belum tahu, alasan aku pilih rumah ini, dan kenapa aku membiarkannya begini-begini saja --ini sekaligus menjawab pertanyaanmu tadi kalau aku lebih baik mengecat dan memperbaiki rumah ini.”

Elin mulai menyimak. Setiap inderanya menunjukkan ketertarikan tentang subjek. Melihat Jonas menjelaskan dengan luluh seperti itu, ia seperti melihat sosok seorang laki-laki yang lama menahan pikirannya, dan ingin menumpahkan semuanya momen itu juga. Gadis itu merapatkan tangannya, mewanti-wanti jikalau sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.

“Januari lalu, waktu masih di Wales, aku tidak sengaja membuka sebuah laman di internet. Di situ ada cerita yang menarik tentang seorang kakek, dan istrinya, dan tentang keseharian mereka yang tidak banyak diliput orang. Tentang kemerdekaan menaruh cinta pada sebuah hunian tempat mereka tinggal.”

Elin mengernyitkan keningnya, semakin penasaran. Ia lantas menegakkan duduknya di kursi itu dan dengan isyarat tertentu meminta Jonas melanjutkan penuturannya.

“Emmanuel, si suami, dan Listi, si istri. Awalnya, Nuel, suami ini, tidak setuju dengan orang tuanya yang memboyongnya pindah ke Inggris. Di kampung halamannya di Salatiga, dia hidup bahagia sebagai remaja, berpendidikan, dan bergaul dengan banyak teman yang membuatnya nyaman. Dia bahkan menyatakan tidak mungkin meninggalkan pacarnya keluar negeri dan untuk tidak pulang lagi. Tapi orangtuanya kekeuh, anak muda itu diboyong juga. Di Goodison Park, tempatnya tinggal, ia akhirnya kuliah sambil bekerja sebagai pembantu paruh waktu untuk seorang kurator Museum Anglo-Saxon. Nah, pekerjaan ini yang membuatnya mulai tertarik dengan kesenian, mulai mempelajari sejarah-sejarah pengetahuan lewat lukisan dan instalasi, berusaha melupakan masa lalunya. Di negara liberal seperti itu, ia mulai berpikir kisah cintanya tidak akan terjalin kembali dengan dia yang di Salatiga. Kehidupannya berubah, makanannya berubah. Di tempat  kerja ia seorang anak muda yang disegani pekerjaannya, tapi di rumah dia tetap anak tunggal yang membangkang karena urusan ini-itu. Sampai pada suatu hari Nuel muda diajak berkumpul dengan keluarganya di rumah, ‘Menyambut tamu penting,’ kata ayahnya. Tanpa pikiran apapun dan tanpa penasaran yang berlebihan, Nuel muda manut saja.”

Jonas menyeruput sisa-sisa jus wortel kemudian melanjutkan ceritanya.

“Yang tidak disangkanya adalah, bahwa pertemuan itu bertujuan mempertemukan dua manusia untuk sebuah ikatan yang serius. Suci, kalau kata ayahnya. Emmanuel dijodohkan. Ia lari berhari-hari setelah pertemuan itu, setelah melihat wanitanya, ia menolak. Singkat cerita, pernikahan itu terjadi juga. Tepat malam awal musim semi, Nuel menikah dengan Listi, seorang gadis Indonesia yang tak dicintainya.

Pernikahan mereka berjalan begitu saja, tanpa banyak tamu dan hanya keluarga. Setelah lulus dari University of Liverpool, Nuel dan istrinya kembali ke Indonesia. Kecintaan Nuel pada istrinya tidak juga membaik bahkan setelah anak mereka lahir. Di malam-malam hening di mana tidak banyak kegiatan di luar, Nuel memilih menuntaskan banyak riset biologinya, mengurus burung-burung dan membuat patung-patung kayu. Sementara istrinya memasak, ia tak membantu. Sementara istrinya tidur, ia tidak memeluk. Bertahun-tahun kehidupan mereka hanya agar terdengar manis di depan orang-orang, bahkan di depan anak mereka yang bertumbuh dewasa. Mereka bahkan tetap berlibur tiga bulan sekali keluar kota tanpa orang banyak tahu sebenarnya mereka menikmati momen sendiri-sendiri. Nuel semakin tua dan istrinya tetap nampak lebih tua. Di banyak makan siang Listi memancing cerita suaminya tapi tidak banyak yang digubris, selain Nuel menceritakan ambisi-ambisinya ingin menjelajahi Papua Nugini dan menemukan spesies kus kus baru. Tapi itupun katanya hanya mimpi karena ada banyak hal yang menghalanginya. Listi tertunduk kalau sudah begitu. Hari-hari mereka, tahun demi tahun, bergegas namun terasa lama. Mereka hidup tidak selayaknya suami-istri yang mengisi rumah dengan kehangatan. Nuel bahkan membangun sebuah bilik khusus untuknya bekerja dan satu bilik lain untuk Listi untuk mereka berdua di perenungan masing-masing lewat tengah malam.

Begitu lama. Sampai suatu malam yang dingin di akhir Maret, waktu isu usia mereka sudah lima puluh satu, atau lima puluh dua tahun. Anak mereka sudah keluar dari rumah dan membangun keluarga sendiri. Nuel merasa kedinginan karena tertidur di sofa. Ia membangunkan Listi yang tertidur di biliknya, membuka pintu, mengguncang pintu dan tidak sengaja melihat sesuatu terjatuh dari sana. Sebuah buku tebal yang berisi semua cerita Listi selama bertahun-tahun belakangan. Di antara buku-buku lain. Kamu tahu apa isi bukunya?”

“Curhatan,” tebak Elin.

“Benar. Bukan cuma itu. Listi menyelipkan banyak sekali amplop dan surat yang ia kirimkan dalam tahun-tahun terakhir itu kepada saudarinya. Di dalam surat-surat itu tertulis, semua pujian, perasaan bahagia yang ia rasa, penggambaran baik hati dan hangat tentang suaminya, dan pengakuannya kalau kehidupannya bahagia saja, sama seperti perempuan lain di dunia. Sebagian besar dicetak dengan huruf Helvetica --itu ada di komputer--, surat itu mudah dimengerti. Membaca itu Nuel merasa terpukul, pipinya panas seperti habis digilas roda besar yang menghukumnya dalam-dalam. Istrinya berkata semua hal indah tentang hubungan, keluarga dan ikatan mereka di bawah atap rumah itu, tanpa sedikitpun mengeluh soal semua hal yang membuat Nuel marah. Nuel Marah kepada dirinya sendiri, ia bangunkan Listi, kemudian menangis. Suami itu meminta maaf kepada istrinya untuk berpuluh-puluh tahun yang mungkin menyiksa, dan untuk seumur hidup pertemuan mereka tanpa pengakuan sayang sedikitpun. Nuel menangis di pelukan istrinya sampai pagi. Listi, tersenyum.”

“Wow….” Hanya itu yang keluar dari mulut Elin mendengar kisah itu. Ia tak bisa berkata apa-apa, bahkan matanya berkaca-kaca. Ia menghela napas seakan-akan turut merasakan apa yang dialami Listi dalam kisah barusan. Melihat reaksi seperti itu Jonas tidak banyak membalas, selain melanjutkan bagian terakhir kisah itu.

“Sejak itu kehidupan Emmanuel dan Listi berubah total. Hari-hari mereka penuh senyuman, bahagia. Bahkan Nuel tidak tanggung-tanggung lagi menggelitik, memeluk Listi dari belakang tatkala memasak di dapur, dan mengajak anak mereka makan malam bersama, turut bersama cucu-cucu. Nuel bahkan membelikan sepasang merpati untuk mereka. Rumah itu jadi hangat. Penuh lukisan dan ukiran seni karena Nuel memang jiwanya berseni. Nah, sejak itu, Nuel menamakan rumahnya Helvetica, sama seperti jenis font yang dipakai Listi dalam surat-suratnya. Mereka sudah mengubah hunian itu dari house menjadi home. Seperti yang kamu lihat, rumah ini juga namanya Helvetica.”

“Wow….” Elin terperanjat lagi. Ia melototkan matanya ke tulisan buram Helvetica yang tertulis di atas pintu kecil ruang tamu itu. Tidak banyak diperhatikan orang yang lalu lalang.

Jonas bermaksud menyudahi kisahnya. Kali ini seruputannya dari gelas plastik benar-benar kering, bahkan tidak ada ampas. Ia haus, makanya masuk sebentar ke arah dapur, kemudian keluar lagi membawa dua gelas air putih untuk mereka. Elin ikut meneguk, seperti habis mengeluarkan energi dan kesenangan.

“Sesaat sebelum meninggal, Nuel menyatakan wasiat kepada Listi bahwa ia harus dikuburkan di rumahnya. Tapi kemudian sampai Listi wafat, wasiat itu tidak dilakukan karena peraturan daerah tidak mengizinkan. Jasad keduanya dikebumikan di liang yang sama di pemakaman tidak jauh dari sini.”

“Apa? Jadi… Rumah Helvetica itu?”

“Iya, rumah ini,” jawab Jonas. “Rumah ini dicat, dipugar, terakhir kali tahun 1969 beberapa bulan sebelum kematian Nuel. Sampai sekarang tetap catnya seperti ini. Bahkan setelah dibeli Pak Ponijan, beliau tidak berani mengganti cat rumah. Entah kalau perabotan. Tapi bentuk kamar dan layout, semua masih seperti penuturan dalam kisah Emmanuel dan Listi.”

Elin baru percaya setelah diajak melihat-lihat isi rumah itu. Dengan dua bilik kerja yang kini dipasang berdampingan di ujung koridor kecil dekat tangga, dan dapur yang jendelanya besar-besar tempat melihat ke halaman belakang yang berumput.

“Aku tidak percaya masih ada kisah cinta yang seperti ini,” Elin menggeleng-gelengkan kepalanya saat berjalan kembali keluar melewati ruang tamu. “Terima kasih ya, Kak Jonas. Untuk kisahnya. Aku jadi paham kenapa kakak getol sekali menulis buku itu, yang judulnya The Happy Man.”

Jonas menyadari Elin melihat naskah yang tertera di laptop meja kerjanya. Naskah itu sudah memasuki halaman keseratus dan memang judulnya seperti yang diterka gadis itu.

“Kak Jonas sengaja mengontrak rumah ini untuk mendapatkan jiwa sepenuhnya tentang cerita yang disusun. Kak Jonas nulis cerita tentang Pak Emmanuel ini kan?”

“Betul.” Jonas menyilangkan tangannya. Setelah mengantar Elin kembali ke pintu keluar. Gadis itu pamit pulang.

“Kak, kalau ceritanya tentang aku, judulnya jadi apa? Besok-besok aku akan lebih sering kemari loh,” tanya Elin setelah beberapa langkah dari pintu. Mendengar itu Jonas menggaruk-garuk dagunya, meraba-raba pikirannya di langit yang mulai gelap memerah.

“Entahlah. Tergantung nanti. Mungkin akan kutemukan kalau sudah ada sepasang merpati di rumah ini.”

Elin tertawa. Jonas pun tertawa. Dan mereka tidak menyadari kalau beberapa meter jelang tanjakan ke rumah tua itu, seorang pedang tua melintas dengan sepedanya. Membawa puluhan pasang merpati siap beli.

---------------------------

Ilustrasi: community.curtislibrary.com. *




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline