Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kehilangan Dunia

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1426854031522959208

*

“Akan kuceritakan sebuah kisah, mungkin menjelaskan pentingnya yang hidup dan yang mati. Atau mungkin kebingungan yang membedakan keduanya.”

“Silakan. Dan mungkin aku akan menyimak.”

Selama enam puluh sembilan tahun kehidupannya, Thomas Aspardin merasa telah mendapatkan semuanya, kecuali satu hal yang tertinggal: ia ingin melakukan perjalanan ke Alexandria hingga Madinah. Di usia remaja ia tumbuh sebagai anak yang menguasai matematika dan mendapatkan pekerjaannya dengan mudah sebagai teknisi keamanan di sebuah perusahaan Komputa pada usia sembilan belas. Karirnya menanjak dengan cepat dan pendapatannya setara menteri pada usianya yang duapuluh enam. Ia menikahi idolanya di masa kuliah, dan mereka diberi dua anak yang berbakat di musik dan teknik arsitektur. Kehidupannya berjalan seimbang dan sejahtera. Ia mendapat promosi setiap setahun-dua tahun, mendapatkan unit usahanya sendiri, dan terlibat dalam inisiasi publik penggalangan dana untuk para penderita Parkinson. Thomas Aspardin dikenal luas sebagai seorang teknokrat, penemu, pakar manajemen, pembicara televisi, dan inovator senior setelah usianya melewati tigapuluh. Ia mendapatkan penghargaan tingkat Asia-Pasifik untuk pengembangan peranti lunak untuk toko-toko supermarket, manajemen parir elektronik, dan sistem antrean rumah sakit. Ia mengantongi 99 paten di bidang informatika dan teknologi digital, mengisi ratusan seminar bertiket mahal, dan menjadi bagian dari think tank pertahanan nasional yang dibentuk pemerintah.

Namun kebahagiaan paling tinggi seorang Thomas Aspardin terletak pada kesempatan yang diraihnya untuk melindungi keluarganya, menghidupi kecintaannya. Anak-anaknya tumbuh produktif dan penyayang, memegang teguh kepercayaan keluarga dan membuat iri banyak tetangga. Istrinya, yang menemani perkembangan karirnya sejak masa sulit dan tahap-tahap kemapanan awalnya, menjadi penyeimbang setiap kegeraman dan menjadi pengendali setiap pikirannya. Seorang istri menyempurnakan kehadiran suami di depan publik, dan itulah yang didapatkan Thomas. Hampir ke semua kunjungan ke luar negeri ia ditemani. Di setiap acara dalam negeri ia didampingi. Kecintaannya berbicara membuatnya dikenal tak hanya sebagai pemikir, tapi juga pencinta. Seorang istri yang mendamba, mempercayai, dan tanpa banyak bertanya. Yang mengorbankan pencapaiannya sendiri dan menyimak hal-hal yang dicintai keluarganya. Thomas tak bisa menghitung jika ia harus mengukur semua pemberian dan kelapang-dadaan seperti itu. Kehidupannya menanjak dan keberhasilannya tak terlepas dari dukungan tanpa henti, dan cinta tanpa batas.

Tapi satu hal yang belum Thomas raih, keinginannya melakukan perjalanan, perziarahan kuno melewati Alexandria menuju tanah suci Madinah. Ia mengumpulkan banyak buku geografi, dan demografi, catatan perjalanan serta foto-foto penemuan antara dua kota kuno. Ia membeli suvenir mahal dari kedua kota dari teman-teman yang pernah singgah, dan atau dari perjalanannya sendiri yang hanya sebentar. Beberapa mimpi membisikinya tempat-tempat suci yang rahasia, setiap kali hatinya membuncah. Tidak, kunjungan ke kedua kota haruslah bermakna, dan ia ingin perziarahan itu menandai pencapaiannya dalam hidup berdekade, serta kepercayaannya pada Penciptaan Yang Agung. Ia menunjukkan ke orang-orang bahwa setiap orang harus punya satu impian paling besar, mimpi pamungkas, yang bisa dan hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup, dan dalam keadaan mengorbankan segala-galanya. Keinginan mendalam dan tak biasa itu menghantuinya tahun-tahun belakangan, hingga banyak kolega menaruh perhatian padanya. Tapi Thomas Aspardin tidak sempat menggapai itu. Leukimia menjeratnya di pembaringan selama tiga bulan sebelum meninggal dengan tenang.

“Pria yang malang.”

“Tunggu sampai kau dengar cerita lainnya.”

“O? Baiklah.”

Evelina Hajar seorang pengasih. Keluarga yang berakar pada desa mengajarkannya bahwa manusia adalah tanggung jawab manusia lainnya. Kehidupan adalah bagian dari kehidupan lainnya. Evelina lahir dan tumbuh dalam kungkunan nilai tradisi yang begitu menghargai simbol-simbol hidup, kesejahteraan jauh berbeda dengan kekayaan, seperti ketidak-punyaan tidak menandakan kemiskinan. Orang tua adalah segala-galanya bagi Evelina. Akan tetapi di beberapa nilai yang menemaninya berkembang, ia merasa perlu mengikuti kata hatinya dan meninggalkan tradisi tua yang tak lagi bermakna. Evelina berpikir bahwa pemikiran orang tua tak lagi berimbang dengan anugrah pemikiran yang diwariskan pada dirinya, maka ia meninggalkan rumah. Meski keluarga memberi semua kebebasan bahkan tanpa diminta, Evelina tetap merasa, jauh dalam pemikiran kalamnya, bahwa kebebasan sejati ada di luar sana, sesaat setelah ia melintas keluar pagar dan melewati sebuah jembatan di tempat jauh.

Zaman mengajarkan bahwa perjalanan manusia melalui tahap-tahapan berat yang membentuk sifat dan karakter, cara hidup serta kesukaannya. Evelina di usia remaja mempelajari evolusi semacam itu, mempelajari perputaran bintang-bintang sama pentingnya dengan pemahaman tentang perjalanan nenek moyang manusia. Saat dewasa ia mengajarkan itu kepada banyak orang, dan institusi-institusi pendidikan menghargai makalah-makalahnya yang berbicara tentang nilai masa kini manusia jauh lebih penting dari mahligai berkilau zaman es atau era pencerahan. Evelina seorang saintis sekaligus spiritualis, menganggap bahwa jurang antara sains dan agama sesungguhnya merupakan jembatan yang tak tampak, dan manusia berakal mesti punya bentuk titiannya sendiri-sendiri. Ia adalah seorang katarsis, pembelajar masa lalu dengan karakter futuristis.

Semua orang mengira dalamnya pemikiran simbolis Evelina menjauhkan dirinya dari lingkungan peradaban manusia yang serba-datar, lazim dan normal-biasa. Tapi kekuatan Tuhan yang dipercayainya menunjukkan bahwa bahkan stigma seorang saintis yang galau dan penyendiri juga bisa salah. Ia menemui pasangan hidupnya di usia duapuluh enam, dan membangun keluarganya dengan sangat pelan bertahun-tahun kemudian. Dunia baru bernama “kehidupan berkeluarga” memeriahkan isi pikiran dan hatinya, membawanya mengenali dirinya sendiri dan mengukur mutasi manusia dari masa-ke-masa yang dipengaruhi oleh proses reproduksi dan tumbuh-kembang generasi. Di depan anak-anaknya ia tak membahas ini, tentu saja, tapi dinding kamar kerjanya ditempeli banyak kemeriahan saintis bahwa seorang perempuan matang, sejauh apapun ia melangkah, akan tetap membawa lantai dan atap rumahnya. Seperti Hawa dengan kelengkapan fisiologisnya yang bertahan di zaman ini.

Akan tetapi penemuan katarsis berikutnya membawa pemahaman Evelina bahwa nilai luhur seorang perempuan, bagaimanapun, tidak banyak berubah. Tradisi dan norma spiritual berseberangan namun berjalan beriringan. Ia memahami perempuan sebagai penyebab kehadiran manusia, penyeimbang cerita-cerita dari masa ke masa, dan penyebut di banyak folklor suci yang diwariskan ke generasi-generasi penerus. Evelina memahami kodrat yang dianggap semu dan stigmatis, tetapi lalu menyadari bahwa bahkan dirinya tak bisa mengelak dari kehendak dunia. Ia mengalahkan egonya kemudian menghentikan semua penelitiannya. Sebagai seorang istri, ia meninggalkan kesenangannya. Sebagai istri, ia akhirnya mengabdi, membawa dirinya pada tingkatan yang sama dengan banyak perempuan pintar di muka bumi: lantai keluarga.

Evelina merasa kehilangan duapuluh tahun hidup masa depannya ketika memutuskan berhenti meneliti dan mengikuti semua aliran di keluarganya. Ia merasa kehilangan peluangnya meniti karir karena menyerahkan jiwa-raganya dalam kebersamaan penuh pada suaminya. Ia mengabaikan godaan harta berlipat dan jabatan bertingkat karena menyadari bahwa anak-anak yang ditemani tumbuh adalah segala-gala penerus dan penyambung hartanya. Evelina melucuti semua tempelan di kamarnya, melipatnya rapi dan menyusunnya dalam katalog yang dikunci dalam peti. Tak ada marka khusus di sana, kecuali tulisan tangannya yang berbunyi, Aku menyerahkan semuanya.

“Sekarang, pertanyaannya….”

“…”

“Mana di antara dua orang dari dua kisah tadi, yang mengalami kehilangan terbesar?”

“Apa maksudnya? Kedua cerita tadi?”

“Ya. Dari dua orang berbeda. Siapa yang kehilangan paling banyak? Apakah Thomas Aspardin yang menempuh puluhan tahun hidupnya, mendapatkan semua yang diinginkannya tetapi gagal mewujudkan impian terbesarnya? Ataukah Evelina Hajar yang menyerahkan diri dan karirnya pada pengabdian dinamakan ‘keluarga’?”

“Apakah ini perhitungan matematis?”

“Kalau kau mau menganggapnya begitu. Katakanlah, siapa yang kehilangan di atas 70 persen, Thomas, atau Evelin?”

“Kehilangan apa?”

“Kehilangan dunianya, tentu saja.”

“Evelina tidak kehilangan dunianya hanya karena menyerahkan pengabdian pada keluarganya.”

“Mungkinkah begitu? Tapi bukankah ia kehilangan peluang? Kita hidup beriringan di atas dunia, tapi ceritaku adalah ceritaku, dan ceritamu adalah ceritamu. Bukankah dengan mengabdi, seorang perempuan merelakan separuh jiwa dan hak hidupnya pergi menghilang?”

“Mungkin benar. Tapi volume perasaan yang dihadapinya tidak mungkin berkata demikian. Perubahan selalu memunculkan rasa syukur. Evelina mungkin tidak merasa mengorbankan apapun.”

“Tapi banyak perempuan, ibu lainnya, bukankah begitu?”

“Dalam pemahaman duniawi, iya.”

“Berarti dia yang kehilangan paling besar?”

“Belum tentu. Belum tentu.”

“O, jadi menurutmu Thomas yang kehilangan dunianya paling besar?”

“Kenapa? Karena ia tidak menunaikan keinginan luhurnya berziarah?”

“Kenapa tidak?”

“Kehidupannya penuh, pencapaiannya paripurna. Ziarah hanyalah serpihan kecil dari egonya. Keberhasilan hidupnya adalah soal bagaimana orang menghargai dirinya, bukan soal pendapatnya terhadap keberhasilannya sendiri.”

“Tapi bukankah ketenangan adalah saat seseorang meyakini dirinya telah melakukan semua yang diperlu

kan?”

“Benar.”

“Benar. Berarti tidak ada artinya bagi Thomas, keberhasilan berpuluh-tahun hidupnya, jika ia tak bisa menghadiahi dirinya sendiri dengan pengalaman spiritual yang direncanakannya itu?”

“Hmmm….”

“Bukankah setiap orang mengejar kebahagiaan batin? Melebihi kemenangan citra kehidupan diri? Pandangan orang terhadap diri?”

“Iya. Benar. Tapi tidak berarti pencapaian hidup seorang Thomas lantas tidak ada artinya?”

“Lalu apa gunanya keyakinan kalau tidak bisa diwujudkan?”

“Apa bagusnya kenyataan kalau tidak sesuai keyakinan?”

“Persis.”

“Antara ada dan tiada. Antara yang semu dan yang nyata. Aku menyerah. Aku tidak tahu mana dari mereka yang kehilangan paling besar. Thomas mendapatkan dunianya tetapi tidak mendapatkan satu hal yang paling berharga. Evelina merelakan dunianya dan menyerahkan kebersamaan yang memberi makna. Gambaran ini terlalu sumir. Nasib dan perjalanan manusia sering kali tidak dibenturkan dengan gambaran-gambaran abstrak ataupun simbol-simbol. Semuanya berupa garis lingkar yang terdiri dari jutaan titik. Dan setiap titik punya artinya sendiri-sendiri. Entahlah, mungkin pada akhirnya tidak ada manusia sial dan manusia yang benar-benar berhasil. Volume pemikiran dan besaran keyakinan mengukur seberapa beruntung seseorang dapat hidup atau mati. Dan dunia, yang menggambarkan penghidupan dan batasan kematian, mungkin melebihi pemahaman transendental dan atmosfer kehidupan berpuluh-puluh tahun sarat suka-duka. Pada akhirnya tiap orang punya ukurannya sendiri-sendiri. Lagipula, mengapa kau mengambil contoh orang-orang bernama Thomas dan Evelina ini? Apa hubungan keduanya?”

“Entahlah. Terkhir yang kukenal, mereka sepasang suami istri.”

------------

Sumber Ilustrasi: photocase.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline