Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Koloni (5)

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* (Sebelumnya....)

Zain menyela dan meminta saksi menyimak terlebih dahulu sebelum menyela. “Biar saya lanjutkan. ---------------------Korban meninggal dunia bukan di dalam gedung perpustakaan, tapi di lapangan samping.”

Kelima saksi itu terkejut lagi, meski kali ini mereka tidak berani memotong penjelasan. Robi dan Baso gemetaran mendengar fakta itu, mengingat beberapa kali mereka pernah bersekongkol ingin masuk ke halaman perpustakaan dan mungkin bisa mengambil beberapa buah mangga. Sementara Paulina sudah sesengukan, Angga si kasir masih kebingungan dan Taryadi cuma memijit-mijit tangan. Saksi yang paling tidak mengerti apa-apa, Atne, hanya menyimak dan tak sabar menunggu giliran andilnya.

“Tim penyelidik bersama ahli forensik INAFIS kami sedang berada di sana, dan baru saja saya mendapatkan laporan lewat telepon, dan foto, tentang apa yang dicurigai telah ditemukan di sana. Sebagai barang bukti, ini adalah gambar yang baru saja saya terima. Silakan lihat.” Pemimpin polisi itu menunjukkan gambar di layar laptop yang kini memajang foto sebuah batu seukuran dua kepalan tangan orang dewasa yang kini telah dikikis tanah bagian sampingnya.

“Batu ini awalnya penuh darah, akan tetapi pelaku membersihkannya dengan sangat ceroboh sampai darah-darah dari korban Paulinus mengalir ke tanah di sekelilingnya. Tim INAFIS sudah mengumpulkan tanah sampel itu dan dengan serangkaian tes, ditemukan berkas darah yang susunannya identik dengan korban Paulinus Petor. Hilman dari Sardjito membenarkan struktur luka di tengkorak korban dengan struktur batu, dan hasilnya persis. Dengan kata lain, korban mengalami kontak benturan paling keras pertama kali di batu ini yang, jadi penyebab kematiannya. Tapi, apakah korban benar-benar dibunuh?” Zain mengambil jeda sejenak, mengedarkan pandangannya ke semua saksi, kemudian melanjutkan. “Pak Taryadi, Anda ingin menjelaskan sesuatu?”

Tukang kebun itu menunduk, memegangi tangannya, menahan gemetar di lututnya. Kesemua saksi, Eno dan temannya, bahkan semua polisi di situ menyorotkan pandangan ke satu-satunya saksi paling tua di ruangan itu. Taryadi tidak bisa berkata apa-apa dan terus memijiti dua tangannya, menunduk dan terengah-engah. Orang tua itu tak bisa membela diri seperti yang ia kira sebelumnya. Di kepalanya berputar-putar pertanyaan “kenapa dan kenapa sekarang?” sebelum akhirnya ia menelan berat-berat semua perkataan yang ingin dilontarkannya.

“Di malam kematian korban,” melanjutkan. “Taryadi bertugas di perpustakaan itu, mungkin sejak sore hari ya. Membersihkan perabotan dari debu, merapikan halaman dan tiang bendera, dan di waktu-waktu magrib merapikan halaman. Awalnya entah bagaimana, asumsi kami, Paulinus berkunjung ke halaman itu kemudian terlibat percakapan sengit dengan Anda, Pak Taryadi. Kemudian terjadi pertengkaran, dan itu berujung pada jatuhnya korban ke tanah, sehingga kepalanya membentur batu yang tertanam sebagian. Anda yang waktu itu memegang hampir semua alat yang diperlukan, dalam keadaan panik, mengetahui bahwa korban tidak bernyawa lagi. Apalagi setelah melihat cucuran darah yang keluar dari belakang kepalanya. Anda punya banyak waktu berpikir karena hari telah gelap --yang berarti kecil kemungkinan ada orang yang melihat Anda melakukan apapun, kemudian membawa mayat Paulinus ke dalam rumah, dan meletakkanya untuk memancing opini bahwa korban meninggal di dalam rumah. Dengan alat-alat yang ada: jerigen berisi air, cangkul dan beberapa alat lainnya, Anda menyiram batu tempat darah bersimbah, membuatnya kelihatan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Darah yang mengalir dari puncak gundukan batu kemudian turun ke semua sisi melingkarnya, lalu meresap ke dalam tanah. Sementara Anda menyiapkan bahan pagar semata-mata agar tidak ada anjing liar yang mencium itu dan mungkin akan membongkar semuanya. Nah, sampel darah ini yang kami temukan bersama tanah oleh tim INAFIS. Itu darah Paulinus Petor.” Zain menatap tersangka itu sambil tersenyum. Sementara di kursi yang lainnya, istri korban sudah sesengukan dan pasrah saja. Paulina bahkan tidak berani menatap wajah pembantu suaminya itu.

“Satu-satunya misteri yang belum terpecahkan, adalah mengapa Paulinus sampai dibunuh. Dan karena Bapak Taryadi sendiri kebingungan untuk menjelaskan perihal kronologi yang lebih besar ini, rekan saya di sana akan membantu menjelaskannya.” Zain menunjuk ke arah Eno yang sudah siap dengan beberapa catatan di tangannya. Penyelidik pangkat rendah itu berjalan ke depan meja sambil memastikan teman nonpolisinya tidak mengganggu proses ini. Kepada semua saksi ia memberi hormat kemudian mulai bertutur.

“Baiklah,” Eno berdeham. “Banyak berita koran antara 21 September hingga 30 November 1993 tersebut beberapa kali namanya, meski di banyak kasus publik tidak terlalu memperhatikan. Berita itu mengungkap aksi militer yang diduga berkaitan dengan kematian puluhan aktivis tahun 1988 sampai 1989 yang hilang dan tidak diketemukan. Waktu itu, mungkin Pak Taryadi dan Ibu Paulina masih ingat, situasi negara mencekam karena banyak orang tidak berani keluar rumah. Penembak misterius diduga berkeliaran di mana-mana untuk menemukan orang-orang bekas komunis dan atau yang diindikasi terlibat rencana pemakzulan presiden. Di sebuah dusun terpencil dekat Kota Tua Semarang, terdapat sebuah gereja tua. Waktu itu, militer merangsek masuk dan berhasil menangkap tiga orang kecuali sorang pastor: Paulinus.” Eno menampilkan gambar korban ketika masih menjadi pastor, lengkap dengan jas tutup hitam dan kalungnya. “Terima kasih, Bu Paulina, untuk izin penggunaan fotonya. Mohon maaf Anda harus mendengar ini juga.

“Paulinus Petor membuat kesepakatan dengan militer pemerintahan untuk menunjukkan banyak jalan menuju orang-orang yang diduga sebagai pemberontak atau sisa-sisa komunis. Kita asumsikan saja bahwa Paulinus menerima bayaran yang cukup waktu itu….”

“Maaf, suami saya tidak sepicik itu!” Paulina tiba-tiba berontak, akan tetapi berhasil ditenangkan oleh Atne dan beberapa polisi. Istri korban itu kemudian mengalah dan akhirnya menangis di lututnya sendiri.

Eno menunggu beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan. “Belakangan, Paulinus mungkin menyadari kesalahannya yang menyebabkan kematian jemaatnya sendiri dan banyak orang tidak berdosa di bawah perintah tokoh militer, alasan paling masuk akal kenapa ia mengundurkan diri dari jabatan pastor dan memilih jadi psikolog amatir. Bu Paulina, saya yakin suami Anda pernah menceritakan alasan kemundurannya waktu itu? Atau mungkin juga tidak. Yang jelas, masa lalu seorang Paulinus tidak terlalu baik.”

“Tapi kan itu belum tentu jadi alasan seseorang untuk membunuhnya?” Robi kemudian mengangkat tangan dan meminta izin untuk berbicara. “Kalau dia dulu menerima uang, lalu kenapa dia harus dibunuh?”

“Nah, itu dia kunci teka-tekinya,” jawab Eno. Sekali lagi, semua mata di ruangan itu menyimak dengan rasa penasaran yang membuncah di kepala.

“Rupa-rupanya, tidak semua tentara waktu itu menerima apa yang mereka lakukan terhadap warga sipil tidak berdosa. Artikel-artikel yang saya sebutkan tadi menyebutkan  beberapa nama petinggi militer yang sebagiannya kini telah mati. Di antara mereka ini ada seorang perwira menengah, namanya Supardi, berpangkat Letnan Kolonel waktu itu, pada Desember 1993 merasa harus membongkar semua kekejian militer waktu itu dan bermaksud berbicara kepada publik. Akan tetapi rupanya itu tidak mudah, karena tidak begitu saja perkataannya dipercaya. Para petinggi militer saat itu yang merasa keamanan jiwa dan nama baiknya terancam, memutuskan untuk melakukan sesuatu. Kemudian, Paulinus disewa sekali lagi dengan bayaran yang lebih dahsyat, untuk…”

“Menyingkirkan Supardi,” celetuk Angga si kasir yang sedari tadi diam. Ia sendiri tidak percaya apa yang baru saja dikatakannya.

“Benar. Paulinus menerima pekerjaan itu --yang mungkin satu ini tidak Anda ketahui, Bu Paulina, dan menyiapkan cara terbaiknya sendiri untuk menyingkirkan orang yang dimaksud. Ia tidak membunuhnya, karena mungkin berpikir bahwa ia tidak ingin terlibat lagi dalam penghilangan nyawa lebih banyak orang. Maka kemudian ia mengambil cara lain yang lebih elegan: membuat Supardi tidak dipercayai lagi kata-katanya. Bagaimana caranya? Dia membuat orang itu gila! Atau setidak-tidaknya, dianggap sebagai orang gila….

“Paulinus mencari tahu sendiri apa yang bisa dipakai untuk melakukan aksi kejam itu, mencari bahan, kemudian meracik sendiri obat yang kemudian dipakainya untuk menciptakan suasana mental yang sakit bagi Supardi. Memanfaatkan posisinya sebagai psikolog amatir yang cukup dikenal publik waktu itu, ia menggunakan obat saraf itu kepada Supardi. Kami telah mengonfirmasi bahwa di kamp militer terdapat latihan bersih-bersih markas setiap Jumat dan Minggu. Di dalam rangkaian acara itu ada potong rumput dan bakar sampah semua anggota tanpa batasan pangkat. Nah, obat gas yang berhasil dibuat oleh Paulinus kemudian diselundupkan ke markas tentara dan dengan cara tertentu disisipkan ke dalam asap pembakaran sampah. Perpaduan waktu yang tepat antara pemasangan obat gas dan waktu bertugas letkol Supardi menyebabkan kejahatan yang seperti kecelakaan itu terjadi. Pendek kata, Letkol Supardi menghirup gas yang disengaja itu, bersama beberapa tentara yang lain, dan kemudian mengalami proses halusinasi yang bertahan sampai sekarang.

Selama beberapa hari, menurut catatan kami bekerjasama dengan militer dan penulis sejarah terkenal yang melakukan riset waktu itu --yang tak ingin disebutkan namanya--, Supardi mengalami halusinasi selama hampir tiga hari. Merasa ketakutan dengan bayangan dikejar-kejar setan dan orang-orang yang ditakutinya, ia kemudian, bukan secara kebetulan, memutuskan untuk berkunjung ke satu-satunya psikolog amatir yang dikenal sering membantu orang-orang bermasalah. Maka kemudian, pertemuan antara Supardi dan Paulinus (yang memang direncanakan itu) terjadi. Supardi diterima, bermaksud menyampaikan rahasia yang disimpannya, akan tetapi sama sekali tidak mengetahui bahwa semua setan yang mengejarnya hanyalah halusinasi. Ketakutan merenggut kemampuan  berpikirnya, sampai akhirnya ia bertemu dengan Paulinus yang telah yakin bahwa obat gas itu bekerja.”

Kesemua saksi dan orang-orang di ruangan itu hampir terngaga, tidak percaya dengan apa yang barusam mereka dengar. Seperti cerita film-film barat, kasus kejahatan seperti ini terdengar seperti tidak masuk akal dilakukan di tanah sempit yang masyarakatnya terkenal santun dan budayanya dekat. Paulina sudah semakin lemah dan tidak lagi menangis. Ia kini merenung, berusaha menemukan ketenangannya sendiri dengan usap-usapan bersahabat dari perempuan pemilik indekos.

“Lalu, Pak Polisi. Itu belum menjawab.” Robi lagi-lagi bertanya penasaran, kali ini dengan nada yang lebih kritis. “Kalau ada kejahatan masa lalu orang ini, mengapa meninggalnya baru sekarang, setelah… sebentar sembilan tiga, sembilan empat….” Anak itu menghitung dengan jari-jarinya sendiri. “sembilan belas tahun?”

Kali ini bukan Eno, bukan juga atasan mereka Zain yang menjawab pertanyaan pemuda itu, akan tetapi seseorang yang sedari tadi tidak begitu diperhatikan kehadirannya. Laki-laki berjaket cokelat dengan celana bak pengacara ini hanya menyilangkan tangan selama belasan menit saat menyimak penjelasan polisi dan melihat mimik muka para saksi yang ketakutan. Laki-laki ini, memperkenalkan dirinya sebagai Adam, kemudian menunduk hormat kepada semuanya dan langsung berbicara dari tengah ruangan itu. Beberapa polisi bawah yang turut mengintip dari luar pintu seperti tidak percaya mengapa orang asing klimis seperti itu mengambil alih eksaminasi atasan mereka. Tapi toh Zain tersenyum-senyum saja, sementara Eno sudah yakin temannya ini akan menjadi penutup dari pengungkapan teka-teki luar biasa ini. Adam, menepuk dua tangannya, langsung tersenyum. “Oke, selanjutnya, yang terakhir. Tentang, bagaimana tersangka Taryadi kita ini, bisa didekati oleh korban Paulinus, yang menjadi alasan paling masuk akal matinya korban. Dan, yang jauh lebih penting lagi, siapa yang sebenarnya dalang dari semua ini.”

“Apa? Dalang?” Enam orang di ruangan itu serempak bertanya dengan nada sedikit berteriak. Tentu saja, kecuali Taryadi dan seorang lainnya.

(selanjutnya...)

-----------------------------

Ilustrasi: convozine.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline