*
Lima jam sudah Josef Kaluani duduk bernaung di tepi jalan yang panas desa Tomok. Kadang bersiul kadang ikut melagu sampai kepalanya bertambah panas. Debu yang terbang kadang menghalangi pandangannya. Ia memandangi seberang jalan, di mana tangan-tangan gemulai bersenandung. Kepala ditundukkan kemudian mendongak lagi. Kaki berjinjit dan mulut bersungut dan menyanyi. Tarian Sigale-gale didalangi oleh seorang tua yang duduk bersila di bawah rumah adat itu. Kulitnya gelap dan tak ada senyum di wajahnya, sesekali tersenyum pada tiga mamak yang ikut berjinjit di atas sisa rumput.
Aktor utama tarian itu bukanlah ketiga mamak, melainkan sebuah boneka kayu. Boneka yang wajahnya menyerupai tetua dari mereka. Lebih tinggi dari orang dewasa dan lebih kurus dari anak-anak. Ber-ulos hitam dengan sapuan kain lagi di kepalanya. Matanya putih-hitam dan tak pernah berkedip. Tangan-tangannya menghadap ke langit. Dua tangan itulah yang diikat dengan sepasang tali tipis pengontrol gerak, yang oleh dalang di bawah rumah dihentakkan dan kadang dilembutkan. Mengikuti alur gerakan poros tengahnya yang longgar. Boneka menari-nari menarik perhatian, seperti berpesan pandu antara dua dunia.
Tarian berlangsung sepuluh menit, sampai akhirnya Josef yang berada di seberang jalan tak tahan lagi. Ia berlari dari tempatnya duduk, nyaris menabrak sepeda motor sampai akhirnya melompat memeluk patung. Disergapnya Sigale-gale itu dengan dua tangan sampai terjatuh. Keduanya bergulingan di atas rumput. Ketiga mamak di situ menutup mulut ketakutan, seorang di antaranya bahkan histeris dan lari memanggil orang-orang. Upacara buyar seketika saat dalang urun melerai pertarungan fisik yang belum pernah terjadi itu. Orang-orang berkerumun di padang bukit sisa rumput itu, sementara yang lain memotret dengan ponsel.
Josef meronta, kekuatannya seperti tertandingi. Boneka itu kadang di bawah dan kadang di atas, berguling-guling seperti murka. Oleh orang-orang Josef akhirnya terangkat dari tanah, dijauhkan dan berusaha ditenangkan, meninggalkan Sigale-gale yang tak bergerak. Tapi pun kakinya masih menendang-nendang dan mengumpat, "Keluar, Nak. Keluar!"
**
Konsentrasi pada pelajaran Fisika seketika buyar ketika tiba-tiba pintu kelas digedor keras. Pembantu sekolah tidak mau mencoba hal itu dua kali, maka ia langsung memberi tahu guru yang ada di situ, bahwa seseorang harus keluar dari ruangan. Guru itu menerima bisikan, melirik ke arah murid-muridnya, kemudian mengangguk.
"Uli, kemasi barang-barangmu, kau boleh pulang."
Siswi itu, mendongak dari buku dengan heran, kemudian melempar senyum meriah. Ia pikir ia diberi kebebasan khusus tatkala ia merasa teman-teman di sekitarnya itu cemberut. Maka dengan anggukan saja ia menurut dan beberapa saat kemudian sudah duduk di ruangan kepala sekolah.
"Bapakmu ditangkap polisi, kau boleh menjenguknya."
"Polisi?" sergap Taruli penasaran. "Ada apa lagi?"