Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kemerdekaan bagi Anak-anak

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1374292548754831264

[caption id="attachment_267644" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi anak-anak (LPAB/dokumen DAC)"][/caption] Dalam sebuah jalan santai sore bulan September 2009, saya bertemu Ari. Waktu itu lalu lintas padat di persimpangan Mirota Kampus, Yogyakarta dan saya tertarik menghampiri sekelompok anak yang meminta-minta kepada pengendara. Anak ini, laki-laki yang usianya saya taksir sekitar 7 tahun. Yang membuat saya terkejut adalah, ternyata Ari adalah "anggota paling baru" dari mereka berlima. Kawasan sekitar kampus UGM memang sejak dulu merupakan yang paling ramai dengan anak-anak jalanan. Ari baru bergabung seminggu di anggota kelompok mereka. Pengakuannya sendiri, Ari diajak bergabung di jalan "daripada menggelandang sendirian". Mula-mula anak ini diajak oleh orang tuanya hijrah dari Padang, akan tetapi ia kehilangan pegangan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hingga akhirnya ikut orang dan ditelantarkan sampai ke Yogyakarta. Begitulah kisah awalnya seorang Ari, yang kulitnya putih dan rambutnya hitam lembut, berakhir di pinggir jalan pusat bisnis sebuah kota yang tak pernah dikenalnya. Saat ini saya sudah tidak bisa menemukan Ari di jalan, pun tak bisa menelusuri ke mana ia dan teman-temannya dibawa. Banyak perempatan jalan utama di Yogyakarta yang sudah tidak ditempati anak-anak jalanan ataupun pengemis. Kalau tidak kosong melompong, sudah diganti oleh kelompok baru yang entah datang dari mana. Praktik mengemis dan mengamen dengan membawa anak-anak masih marak di kota dengan slogan "Berhati Nyaman" ini. Instruksi Presiden No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan  menegaskan masih diperlukannya penguatan program rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi anak. Peraturan ini menyempurnakan klasifikasi sasaran program perlindungan sosial terkhusus anak ke dalam tiga kelompok: Anak dan Balita Terlantar (AB), Anak dengan Kecacatan (ADK), Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), dan Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK). Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Inpres No. 3 tahun 2010 yang melahirkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai panduan praktis pemberdayaan anak di dinas-dinas pemerintah tingkat I dan II. Tujuannya satu: memerdekakan hakikat anak-anak. Di Yogyakarta, masalah terkait kehidupan anak relatif sama dengan banyak kota besar lain: Kemiskinan keluarga sehingga anak dipaksa bekerja sebelum waktunya, luput terhadap hak-hak dasar seperti kesehatan dan pendidikan (yang semestinya dipenuhi oleh negara), kekerasan, kenakalan remaja akibat kurang perhatian rohaniah, telantar, diskriminasi (biasanya terhadap mereka yang mengalami kekurangan fisik atau gangguan mental), hingga terlibat kriminalitas. Kepala Dinas Sosial kota Yogyakarta, Sulistyo kepada Kompas.com mengungkapkan jumlah anak jalanan yang (terdata) berkeliaran di kota Yogya setiap hari mencapai 400 orang. Angka ini sudah lebih rendah ketimbang pada 2009, ketika jumlahnya mencapai 1360-an anak. Masalah yang berfokus pada masa depan anak-anak Indonesia ini kemudian dikerucutkan ke dalam banyak bidang penanganan sesuai inpres yang berjalan. Di Yogyakarta sendiri saya tertarik mengikuti aktivitas banyak lembaga nonpemerintah yang bergelut di bidang pemberdayaan anak-anak. Walaupun pemerintah daerah Yogyakarta saat ini sedang getol mengampanyekan Kampung Ramah Anak (yang kini sudah membentuk 14 kampung terfokus di 4 kabupaten), saya menilai tetap ada political barrier atau hambatan-hambatan birokrasi lainnya yang akan jadi penghambat program-program sosial seperti itu. Di samping itu sistem kampanye sosial yang berasal dari pemerintah cenderung sifatnya top-down sehingga masyarakat, terlebih anak-anak yang jadi subjek kegiatan, sering kali tidak teroptimalkan keinginannya. Karenanya pula saya fokus meriset lembaga nonpemerintah. Berkebutuhan khusus Tercatat lebih dari 100 lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi bidang sosial di Yogyakarta, tapi hanya beberapa yang benar-benar aktif mengampanyekan, menggerakkan aksi nyata dan menekankan keberlanjutan kepedulian masyarakat kepada anak-anak. Rasa penasaran pun timbul soal bagaimana kota Yogya, yang berbasis pendidikan, bisa memberi harapan kepada anak-anak, terutama mereka yang berkebutuhan khusus. Saya kemudian mampir ke Lembaga Peduli Anak Bangsa, sebuah lembaga sosial berbasis gerakan yang berkedudukan di daerah Panembahan Keraton. LPAB ini berdiri sejak 2007 dan mula-mula ditujukan untuk menangani anak-anak korban gempa, juga anak-anak korban kekerasan rumah tangga. Tapi lembaga ini sekarang berfokus menjadi tumpuan kreativitas anak-anak penyandang tunarungu (tuli). Saya disambut oleh Dida, penanggung jawab lembaga ini yang kemudian menjelaskan panjang-lebar kepada saya cara mereka menangani anak-anak berkebutuhan khusus ini. "Orang dewasa harus bisa menjadi tempat mengadu bagi anak-anak." Demikian kalimat Dida yang lantas melebarkan obrolan kami sore itu. Lebih lanjut jelasnya, selama ini banyak lembaga, termasuk pemerintah, menelurkan program-program yang sifatnya "menyodorkan". Dari pemerintah untuk anak-anak. Program dibentuk oleh eselon 1 dan 2, dilaksanakan oleh pelaksana di dinas sosial, dana sudah dianggarkan, namun luput melakukan pemetaan minat anak-anak. Akibatnya, program memang berjalan, ada panggung dan musik tradisi anak, tapi setelah itu, selesai. Manfaat bagi mental anak tidak optimal. "Parahnya, yang menyelenggarakan acara dan program-program untuk anak itu, mereka yang sama sekali tidak paham bagaimana menangani anak-anak," lanjut Dida dengan wajah serius. Mendengar penjelasan seperti itu, saya membatin, ternyata selama ini banyak orang yang mengaku paling paham anak, tapi sebetulnya tidak mengerti. LPAB sendiri saat ini sudah mewadahi beberapa komunitas/kelompok kreatif yang anggotanya kebanyakan adalah anak-anak penyandang tunarungu. Satu yang sekarang sudah dikenal baik adalah Deaf Art Community, komunitas kreatif yang banyak melakukan pentas seni tari, puisi, bahkan teater dan kesemua aktor/aktrisnya adalah anak-anak tuli. Saya pertama kali melihat mereka pentas di kawasan Nol Kilometer, 27 Maret lalu di tengah-tengah gelaran Earth Hour. Mumpung sedang berada di markas mereka, saya memutuskan menggali lebih dalam. "DAC lahir bukan menawarkan kepada anak-anak penyandang tunarungu ini, apa yang mereka inginkan. Kita mengalir saja, mereka datang, ketemu teman-temannya, dan memutuskan mereka mau bikin apa," jelas Dida. Lebih lanjut saya jadi tahu bahwa di DAC ini, tidak ada program khusus yang ditetapkan para pengurusnya. Anak-anak diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menekuni minat mereka, berkumpul dan memutuskan karya yang akan mereka buat. Kesenian itu sejatinya adalah olah rasa, rasa yang dipelajari, dinikmati, sehingga menjadi sebuah karya. Selama hampir tiga jam saya mengikuti kegiatan teman-teman DAC di situ, yang kebetulan mereka sedang sibuk membuat video presentasi memuat bahasa isyarat tangan (sign language) di depan sebuah kamera DSLR bertumpuan tripod aluminium. Empat-lima anak berganti-ganti meniru kata-kata yang tertulis di papan arahan yang berisi ungkapan-ungkapan dasar seperti "Ya", "Tidak", "Kapan?", "Kakek-nenek", sampai "Rumahmu di mana?" Semuanya lewat bahasa isyarat. Dari Dida saya mengetahui, yang paling muda dari DAC ini ada yang berusia 3 tahun, dan yang paling tua sekitar 21, sudah mahasiswa. Jumlah anggota aktifnya sudah 30-an anak. [caption id="attachment_267641" align="alignnone" width="580" caption="Anak-anak Deaf Art Community saat tampil di konser Silent Memories bersama pianis Inggris Nick Palfreyman, Juli 2008. (LPAB/dokumen DAC)"][/caption]

DAC rupanya berhasil membentuk kepercayaan diri anak-anak berkebutuhan khusus ini. Tak terhitung sudah berapa kali mereka diundang pentas sampai  diajak berkolaborasi dengan seniman internasional saat ini berderet prestasi mereka kantongi sebagai motivasi untuk membuat karya-karya, dan saling merangkul. Kebebasan yang kadung membuncahkan rasa percaya diri membuat anak-anak ini seakan sudah lupa kalau mereka punya keterbatasan. Bagi saya ini kemerdekaan. Saat tulisan ini saya buat, saya sedang mengontak dan coba menggali penjelasan lebih dalam dari inisiator gerakannya, Broto Wijayanto. Semoga bisa. Secara umum di Indonesia, belum ada angka pasti berapa jumlah anak berkebutuhan khusus. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat hingga Januari 2013, ada sekitar satu setengah juta jiwa anak yang tergolong berkebutuhan khusus. Angka aktualnya lebih dari itu, karena data Bank Dunia menjabarkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus rata-rata adalah 1/10 (sepersepuluh) dari jumlah anak usia sekolah (UNICEF, 2012). Sebagai catatan, jumlah anak usia sekolah (usia 5 hingga 14 tahun) di Indonesia saat ini mencapai 43 juta jiwa. Ini berarti setidak-tidaknya ada 4,3 juta jiwa anak Indonesia yang tergolong berkebutuhan khusus. Bagaimana kita memberdayakan anak-anak dengan jumlah sebanyak itu? Meski pemerintah menggelontorkan dana hingga Rp 200 juta setiap kegiatan daerah yang melibatkan penuh anak-anak, toh kita masih lebih banyak mendengar pengembangan kreativitas anak-anak yang bersumber dari lembaga-lembaga nonpemerintah seperti LPAB dan yayasan-yayasan swasta lain. Kemerdekaan bagi anak-anak akan tetap utopis selama kita membuat program secara serampangan tanpa mengerti kebutuhan yang sebenarnya pada anak-anak sasaran. Jika statistik menunjukkan bahwa 1 dari 10 anak di dunia merupakan penyandang disabilitas, kita bisa berpikir optimal tidak hanya di 1 ini, atau 9 anak ini saja secara terpisah. Tidak ada alasan untuk berhenti meskipun para pejabat Kementerian sempat meributkan dipangkasnya anggaran APBN bidang perempuan dan anak sebesar 18,9 miliar menjadi (hanya) Rp 234, 7 miliar, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan habis di pembiayaan kantor dan aset (FITRA/ rilis pers, 23 September 2012). [caption id="attachment_267637" align="alignnone" width="580" caption="Anak-anak Deaf Art Community saat tampil dalam Konser Kami Juga Anak-anak Adam dan Hawa, Monumen SO 1 Maret Yogyakarta, Agustus 2010. (LPAB/dokumen DAC)"][/caption] Yang jelas, statistik dan anggaran bukan jadi keresahan masyarakat yang setiap hari dilalui anak-anak jalanan dan yang berkebutuhan khusus. Apa yang terlihat di persimpangan jalan dan di panti-panti kreativitas, itulah yang dinilai. Karena bagaimanapun, anak-anak seperti Ari dan teman-teman di DAC selalu mengingatkan saya tentang masa kecil yang begitu penting, namun rapuh. *




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline