Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Selektif Memilih Kamus Bahasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1351568270837511515

[caption id="attachment_220713" align="aligncenter" width="598" caption="Ilustrasi/Admin (KAMPRET/Bowo Bagus)"][/caption]

Kamus bahasa Indonesia ataupun terjemahan ke bahasa lain kian murah dan mudah didapatkan. Industri dan penjualan semakin gencar. Hanya saja, seiring dengan banyaknya kamus yang beredar, makin banyak pula kamus yang ‘abal-abal’ dan asal jual. Isinya banyak yang salah dan hanya mengandalkan judul yang bombastis di sampulnya. Kalau tidak hati-hati, pemakai kamus jenis ini bisa ikut tersesat menggunakan bahasa.

Saya berjalan-jalan di beberapa toko buku di Yogyakarta khusus untuk menemukan contoh kamus yang menyesatkan tadi. Hasilnya sesuai dugaan, banyak sekali kamus, utamanya terjemahan bahasa Inggris-bahasa Indonesia atau sebaliknya, yang isinya tidak sekeren judulnya.

Kecenderungan yang saya amati realtif sama. Kebanyakan kesalahan penulisan kosakata terjadi pada kata-kata yang mirip. Beberapa kata lain mengalami salah ketik yang fatal. Di sebuah kamus dwibahasa “50 Miliar sekian” saya mendapatkan kata-kata Inggris yang salah ketik, seperti weather (n. cuaca) yang seharusnya whether (k.sam, apakah). Atau mengartikan data sebagai lema bermakna tunggal.

Yang lebih parah, bahkan di jilidan berjudul Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat satu-dua kesalahan (sejauh saya temukan) yang jelas-jelas menyalahi aturan bahasa umum yang lazim digunakan. Salah satu KBBI yang diterbitkan baru-baru ini dan dipajang paling banyak di toko-toko buku popular memasang kata dimana dan kemana di kolom huruf D dan K. Padahal, kedua kata ini adalah bentuk tanya yang penulisannya seharusnya di mana dan ke mana.

Kesalahan lain di KBBI jenis ini adalah di penulisan kata-kata yang terkesan tidak mengikuti pembaharuan transliterasi kata. Kamus menyantumkan kata populer yang seharusnya popular (bentuk dasar dari popularitas, popularisme), atau menyantumkan kata partikel super dan purna sebagai ajektiva. Pembaca, dengan banyaknya kesalahan penyajian kamus bahasa ini, dituntut agar lebih teliti atau bila perlu melakukan pengecekan silang agar yakin bahwa terjemahan atau pengertian yang ditemukan memang sesuai aturan bahasa yang berlaku.

Kesalahan pada banyak kamus yang adalah produk niaga kepustakaan ini bukan semata-mata dilimpahkan ke industri. Dalam hemat saya, dewan dan pusat bahasa selama ini masih kurang menyosialisasikan bahasa Indonesia dan tata cara penggunaan terjemahan. Bahkan di sekolah pun, sewaktu saya SMA, kecenderungan yang terjadi adalah siswa tidak pernah dilatih untuk kritis terhadap kamus-kamus yang menyantumkan nominal lema yang bombastis di sampulnya. Akibatnya, semakin tinggi angka lema di sampul kamus Inggris-Indonesia, semakin bangga siswa. Memang soal harga, karena di SMA kebanyakan kamus-kamus dwibahasa sekelas karangan John Echols dan Hasan Shadily masih “dikuasai” guru lantaran harganya relatif mahal.

Beberapa petunjuk sederhana untuk membedakan kamus akurat dengan kamus ‘abal-abal’ ini.

  1. Kamus akurat biasanya tidak terlalu mentereng di rancangan sampul. Kesannya lebih elegan, tidak banyak warna dan tidak memakai tulisan angka-angka. Penerbitnya jelas dan yang paling baik adalah yang nama pengarangnya sudah dikenal.
  2. Kamus akurat diterbitkan lembaga-lembaga bahasa resmi (biasanya Kementerian Pendidikan Kebudayaan atau beberapa penerbit ternama) dan ketebalannya di atas 600 halaman.
  3. Jangan lekas percaya kamus yang di sampulnya mencantumkan jumlah kata miliaran apalagi triliunan. Angka di sampul tidak selalu sama dengan jumlah aktualnya. Kamus bahasa jenis ini biasanya diterbitkan oleh penerbit kecil yang baru mencari pasar.
  4. Tidak ada salahnya memilih kamus saku (biasanya ukurannya kecil seukuran genggaman) yang diterbitkan lembaga resmi, semisal kampus-kampus ternama. Kamus saku, walaupun jumlah lemanya terbatas, cenderung lebih akurat karena dibuat untuk para praktisi.
  5. Saat membeli kamus, periksa tahun penerbitannya. Dewan bahasa melakukan pembaharuan kosakata setiap lima tahun atau lebih. Pastikan kamus yang Anda pilih sudah menyantumkan pembaharuan yang diterbitkan. Ini juga berlaku jika yang dipilih adalah kamus terkenal terbitan luar semisal Oxford Advanced Learner’s Dictionary.
  6. Gunakan moda kamus tercetak dan virtual secara bersamaan. Saat ini sudah banyak aplikasi kamus untuk komputer yang bisa diunduh secara legal dan gratis. Pengecekan silang bisa dilakukan untuk memastikan kebenaran lema yang ditemukan.
  7. Bila perlu, amatilah perkembangan kebahasaan di media. Sering kali muncul kata baru yang belum ada di kamus, atau baru saja didaftarkan sebagai lema baru. Ini membantu Anda membangun kritik atau menemukan kesalahan bahasa.

Sosialisasi ataupun pendidikan kekamusan kita (kalau ada), menurut saya hanya bisa dilakukan lewat media baru. Cara lama untuk mengedukasi masyarakat agar selektif memilih kamus dan mengasah kemampuan berbahasanya tidak bisa sepenuhnya diandalkan. Tanpa merendahkan fungsi formal lembaga pendidikan, akan lebih efektif jika kita sebagai konsumen kamus terlibat dalam komunitas kebahasaan untuk menggali lebih banyak informasi sebelum membeli sebuah kamus bahasa tertentu. Kalau memang kamus dianggap alat untuk mencerdaskan, maka sejatinya kandungannya mengandung kebenaran seutuhnya.

Ini memang bukan perkara genting sekelas beredarnya cerita vulgar di lembar-lembar kerja siswa, tapi membiarkan kekeliruan produksi massal yang salah, sama saja menggiring konsumen bahasa kita untuk terjebak pada kesalahan yang meluas.

Selektiflah dalam memilih kamus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline