Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Para Pembisik

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1349755172501618999

*

ADA SEBUAH MEJA BESAR di mana tujuh pembisik duduk saling berpedang mata. Angin dan cahaya seperti terisap keluar dan bunyi-bunyian bersembunyi di bawah meja ketika ketujuh-tujuhnya masih diam. Mereka adalah sumber suara satu-satunya! Kedaulatan sebuah kampung akan ditentukan oleh kata pertama yang keluar dari mulut mereka. Mereka pembisik, dan seseorang harus angkat bicara.

Lilin sebagai sumber cahaya satu-satunya, menyala tegak dan menyimak semuanya.

**

Ketenteraman Kampung Mairwa terusik sebulan jelang pesta panen. Wabah penyakit merebak membuat tigapuluh warganya muntah-muntah dan menderita gatal di usus. Sawah-sawah rusak karena ditinggalkan petaninya. Tak pernah ada kasus seperti ini sebelumnya. Anak-anak menangis karena menunggui ibu-bapaknya terbaring di rumah sakit. Remaja-remaja urung ke sekolah  karena takut terjangkit. Berita simpang siur dan bikin keadaan makin semrawut. Berlusin persembahan dan gelar larung hanya menghabiskan biaya. Soles, ketua adat selama dua hampir dua dekade, mendesak pemerintah administratif untuk mengeluarkan solusi. Seperti apa warga harus bersikap.

Tapi ada masalah bagi Jumasy sang kepala daerah. Ia harus mengambil keputusan terkait masalah pelik milik warga. Sayang, pikirannya tumpul karena emosi bercampur kebingungan. Pernikahannya dengan Lies terancam bubar. Dan pada hari ketujuh waktunya menyelesaikan berkas-berkas perceraian, berita itu datang. Ia tak bisa memikirkannya sendiri. Maka ia panggil para pembisik dari setiap penjuru kampung. Tujuh pasang mata mereka mungkin telah menyimpan semua informasi. Di meja bundar inilah, Jumasy harus mengeluarkan suaranya untuk esok hari.

“Menurut hamba persoalannya adalah jaringan pipa air itu, Yang Mulia.” Pembisik pertama melaju pendapat. Jumasy mengangguk menerima sebelum membalas.

“Tapi jaringan itu baru dipasang dua bulan lalu! Dan itu oleh perusahaan yang saya percaya. Tidak mungkin! Pendapat lain.”

Gugurlah pendapat pembisik pertama. Ditolak mentah-mentah dan dinilai tidak masuk akal. Giliran pembisik kedua yang mengangkat wajahnya. Tirus dengan rambut setapak tilam mengarah ke samping.

“Angin muson sedang bertiup, Yang Mulia. Hamba berpikir positif, dan bahwa kebakaran hutan di Kampung Hilar membawa asap berpenyakit sampai kemari. Ini akan hilang pada minggu ketiga saat hujan mengguyur turun.”

Jumasy mengangguk dengan perasaan lebih ringan. Tapi tetap ia belum puas dengan bisikan itu. Ia beralih ke pembisik ketiga. Seorang perempuan muda dengan perawakannya yang nyaris sempurna. “Miu, kau pembisikku yang paling sering tepat. Kau dokter. Menurutmu, penyakit apa yang kita hadapi ini?”

Tapi pembisik ketiga itu hanya diam. Matanya menatap sedih dan menyimpan kebingungan yang tak terjawab. Jumasy membentak pada akhirnya, tapi gadis itu malah menggeleng dan menangis. Tak seperti biasanya, pikir kepala daerah.

Sampai pembisik keenam tidak ada jawaban yang memuaskan Jumasy. Ada yang menjawab ini adalah masalah arah bangunan balai desa baru yang seharusnya menghadap ke utara dan bukannya barat; pembisik lainnya malah mendebat dengan mengatakan bahwa sudah saatnya ketua adat diganti atau dihilangkan posisi sosialnya.

Jumasy bingung, tapi ia merasakan syarat-syarat menakutkan bahwa sebuah perubahan besar harus dilakukan di kampungnya.

Ruangan gelap itu seperti mengalirkan bola-bola panas dari atas kepala satu ke atas kepala yang lain. Berputar-putar pada opini yang berdebat hingga lewat tengah malam. Lilin-lilin berpendar tak terpedulikan.

Di ambang pintu ruangan, di bagian yang jauh lebih gelap, sepasang mata besar itu jarang berkedip. Lies merapalkan tangannya ke bingkai kayu pintu. Bersandar dengan napasnya yang tak beraturan. Mungkinkah suaminya akan menceraikannya hanya karena tidak bisa mempunyai keturunan? Seperti apa ia harus mempertahankan pernikahan empat tahun ini? Ia sadar bukanlah pasangan pertama dan satu-satunya. Tapi ia merasa berhak mengemukakan pendapat lahiriahnya, bahwa kakinya masih harus berpijak di rumah berbingkai mahoni.

Pembisik ketujuh akhirnya berkata tegas, “Yang Mulia harus meletakkan jabatan.”

Jawaban itu membuat satu ruangan hening. Bahkan para penjaga di dekat pintu-pintu dan jendela memajukan kepala sambil meraba gagang senjata di pinggang mereka. Tapi Jumasy ingin mendengar lebih lanjut pendapat menyakitkan itu.

“Maaf, Yang Mulia. Tapi menurut hamba Yang Mulia sudah berbuat banyak untuk Mairwa. Ada sebuah pesan dari kakek saya, bahwa di saat banyak masalah tak terjelaskan sumber dan pemecahannya di suatu kampung, berarti itu saatnya sang pemimpin melihat dirinya sendiri. Ia adalah kepala dari sebuah masyarakat, dan jika ada sebuah penyakit di bagian tubuh lain, kepala yang seharusnya mengambil keputusan, bahkan untuk melepas bagian tubuh itu.”

Enam pembisik lainnya saling pandang dan sebagian bercakap heran dalam bisik yang liar.

“Berani sekali kau berpendapat begitu!” Jumasy menggebrak meja sambil berdiri. Kursi bersandaran tingginya terdorong hingga nyaris jatuh.

Pembisik ketujuh itu diam sambil meminta maaf. Saat kepala daerah itu bisa tenang kembali, ruangan kembali hening. Bola api sudah kembali lari keluar, meninggalkan kegelapan yang mendingin di antara jari-jari mereka.

Pintu tertutup dari luar dan Lies melangkah jauh. Lukisan-lukisan sawah, laut, dan anak-anak emas di sepanjang koridor sunyi itu seperti jadi pembisik bagi jiwa perempuannya. Tapi ia memilih tidak mendengarkan hingga menghilang di sudut kamar.

Pertemuan malam itu sia-sia. Jumasy akhirnya bangkit tanpa jawaban dan para pembisik digiring keluar seperti peliharaan yang urung diambil susunya.

**

“Kau seharusnya tidak bicara begitu di depan Yang Mulia!”

Pembisik keenam menghardik pembisik ketujuh. Ketegangan dan silang pendapat di antara mereka wajar di atas meja, meskipun hubungan mereka di dunia nyata tak pernah benar-benar sempurna. Iri dengki dan persaingan adalah pedang yang terhunus. Tapi pembisik ketujuh itu memilih tak menjawab. Langkahnya mantap di depan.

Di barisan belakang, Miu si dokter muda, pembisik ketiga itu, menaruh kedua tangannya di depan pada posisi saling memegang. Pikirannya soal pemuda pembisik ketujuh itu sudah ringan dan berharap sejak dulu, tapi ia pikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara. Tidak ketika mereka sama-sama telah membuat kesalahan di meja itu.

**

Tiba saatnya pengumuman dan tigaratus sebelas warga dikumpulkan di alun-alun. Matahari bersinar panas meneteskan keringat dari banyak ujung dagu dan sisi pelipis. Sebagian meringis karena cairan bening berbau aneh seperti meleleh dari tangan-tangan mereka. Meski begitu angin sesekali bertiup dan membuat anak-anak berhenti merengek. Mereka adalah warga, sebagiannya adalah saling keluarga, meninggalkan lapak-lapak pekerjaan mereka, juga sawah-sawah mereka, untuk mendengarkan jawaban apa yang diberikan pemerintah atas krisis berkepanjangan ini.

Di tengah barisan depan, Soles sang Ketua Adat duduk bersila dan membumbungkan asap melalui piring tanah liat berbakar bunga dan daun bambu. Ritual penyelesaian akhir.

“Saudara-saudara …” Suara itu terdengar juga pada akhirnya. Kumpulan menyemut itu perlahan diam dari keriuhannya sendiri-sendiri, mengarahkan mata dan daun telinga ke ujung tertinggi di sebelah timur. Jumasy sudah berdiri dengan dua tangannya di belakang pinggang. Di sampingnya setia menemani sekretaris, pengelola keuangan dan Lies, istrinya yang banyak tertunduk.

“Wabah ini adalah masalah kita semua. Masalah saya, dan segenap pemerintah.” Sambutan itu mengalir merdu dan beberapa kali terangkat jempol dari tengah kerumunan.

“Saya, sebagai kepala pemerintahan, harus mengambil keputusan, agar masalah ini bisa kita lihat sebagai persoalan yang jelas, dan bisa diselesaikan. Untuk itu, dengan ini, saya nyatakan …”

Warga banyak berdiri. Soles mengangkat kepalanya ketika asap mulai mengilang dari piringnya. Jawaban itu sebentar lagi keluar. Jawaban dari kepala daerah ini, akan menjadi isi pikiran segenap warga untuk keluar dari masalah penyakit, atau justru jadi penyakit baru. Ini tergantung apa dan bagaimana jawaban itu dilontarkan.

Di tujuh tepian terluar lapangan, para pembisik itu melipat lengan di depan dada.

“Saya nyatakan …” Jumasy berdeham dan melanjutkan kalimatnya mengumpulkan segenap keberanian. “Saya nyatakan … program pengobatan gratis untuk semua warga … disahkan mulai hari ini.”

Sontak kerumunan bersorak-sorai. Bukan jawaban yang diinginkan, tapi pernyataan kepala daerah itu seakan mengobati kerinduan kepemimpinan bagi mereka, juga persoalan tahunan di balai-balai pengobatan berlabel pemerintah. Selama ini mereka banyak lari  ke dukun-dukun dan pemangku adat untuk mengadu kesehatan. Dengan ini, mereka merasa logika mereka telah kembali. Bersamaan dengan perasaan senang itu, mereka berharap penyakit akan perlahan pergi.

“Dan untuk menjamin itu …,” Jumasy mengambil kembali kendali publik. “Mulai hari ini saya nyatakan menghilangkan Ketua Adat dari posisi penasihat pemerintah dan warga. Soles, maaf. Tapi kau harus kembali menjadi warga biasa.”

Piring tanah liat itu menumpahkan isinya. Soles bangkit dan menggelepar. Rambutnya yang panjang dan keriting memberontak di udara. Selama ini ia upayakan ritual dan menjaga tradisi kampung guna melindungi warga, tapi ia malah dipojokkan dengan jawaban yang menyedihkan.

“Tidak ada hubungannya! Ini tidak ada hubungannya! Ketua Adat berdiri sejajar dengan Kepala Daerah. Warga harus percaya adat dan tradisi! Kau bedebah!” Mulutnya terus merapal makian saat tubuhnya ditarik keluar lapangan oleh para penjaga.

**

Di tepian, pembisik ketujuh itu melipat bibirnya. Ia sama sekali tak menyangka jawaban ini yang keluar. Meski begitu ia tak begitu menyayangkannya. Dengan begini, setidaknya kampung Mairwa punya pilihan yang lebih  jelas.

Miu, di ujung yang lainnya, malah menangis. Kertas tergulung di tangannya basah karena keringat, memudarkan tulisan tangan di dalamnya. Sebaris perintah yang menggoyang keteguhan logikanya sebagai pembisik, tapi sekaligus membuai perasaan lembutnya sebagai seorang perempuan.

Apa yang tertulis di kertas itu adalah sebuah permintaan, dari perempuan kepada perempuan. Permintaan yang sulit dilawan, bahkan dengan integritas status sosial dan ikrar pekerjaan. Tertulis dengan tinta gelap yang jelas, perintah itulah yang jadi awal dari semua ini.

Kepada Miu, pembisik ketiga.

Aku memilihmu karena hanya kau yang bisa mengerti apa yang kurasakan. Aku di ambang perpisahan dengan suamiku. Dan aku tak akan membiarkan ini selama cinta kami masih terdiam di dalam kristal kaca yang jadi hadiah hari penting itu. Jumasy hanya sedang bingung, dan aku tahu waktu akan mengibas semuanya.

Aku butuh bantuanmu terkait krisis penyakit ini. Kalian para pembisik adalah pita suara sang kepala daerah. Dan menurutku jika ini kusampaikan dengan kesetiaan kalian, adalah jalan terbaik sekaligus terburuk yang kuambil dalam hidup.

Aku sudah tahu inti persoalannya. Semuanya dari limbah perusahaan tenun yang didirikan Maskor bulan-bulan lalu itu. Dan aku yakin kau, sebagai dokter, tahu persis ini.

Yang kuminta ini mungkin akan mempertaruhkan integritasmu sebagai dokter. Tapi tolong, jangan sekali-kali katakan bahwa limbah inilah permasalahan utama dari penyakit warga. Jumasy dan Maskor adalah karib dekat, dan ia ikut membiayai permodalan perusahaan itu. Mengetahui sumber masalah datang dari perkaranya sendiri akan membuat sang kepala daerah jatuh sakit. Aku tak mau suamiku punya beban pikiran lebih yang berujung pada kekalapannya menghancurkan keluarga.

Carilah alasan apapun untuk krisis ini agar keyakinan kepala daerah teralihkan dari penyebab sebenarnya.

Kau adalah orang kepercayaanku, Miu. Kita telah melewati banyak waktu bersama di sekolah dan ketentaraan perempuan. Kalau kau tak membantuku di meja bundar bulan depan itu, maka mungkin kampung ini akan kehilangan semuanya.

Sahabatmu, Lies.

**

Ada alasan pasti, mengapa malam itu si dokter memilih diam. Dan ada alasan pasti, mengapa malam itu pembisik ketujuh mengajukan pendapat yang sulit diterima. Keduanya sudah saling ketemu, dan pesan dari surat  itu dimengerti keduanya. Satu-satunya yang Miu tak mengerti adalah, mengapa pembisik ketujuh itu tak mengetahui isyarat cintanya.

Bagaimanapun, lilin masih berpendar.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline