Pemuda itu Moze, diidolakan Mila.
Pemuda itu tewas, dengan pisau menusuk perutnya.
Mila terguncang. Hatinya berusaha mengatur emosi yang meledak spontan sementara pikirannya berusaha meraba-raba logika apakah hal ini benar-benar terjadi dan ia menyaksikannya sebagai kenyataan. Pandangannya gelap dan ia baru sadar ketika merasakan goyangan hebat di lengannya, membuatnya segera sadar dan tercegah dari pingsan. Sejurus kemudian ia sudah melihat wajah oval dan tegas dari omnya, bibir yang bergerak-gerak tapi ia tak tahu kalimat apa yang diucapkan. Saat pendengarannya pulih dan matanya terbuka sempurna, ia menggeleng dan mengedip-ngedipkan mata.
“Mila!”
“Ya … ya, Om Adam.”
Adam nampak lega. Kemudian dengan gesit ia menerima gelas berisi air yang sebelumnya ia minta dari pekerja rumah yang sama terkejutnya. Air itu diminumkan dan Mila segera baikan. Begitu sadar apa yang terjadi, anak itu mendapati dirinya telah dikerumuni empat temannya dan dua orang dewasa termasuk Adam. Ia bangkit dan langsung memeluk omnya itu. “Om … aku takut ….”
Adam menepuk-nepuk punggung keponakannya itu kemudian dengan isyarat mata meminta yang lainnya untuk tetap tenang dan tidak beranjak dari ruangan itu. Kurang dari dua menit kemudian polisi tiba dan berusaha menghalau orang-orang yang sudah berkerumun di pintu masuk. Beberapa lelaki paruh baya yang nampaknya pengurus desa memilih tetap di dalam ruangan dan bertugas menyambut aparat. Adam berdiri di barisan paling belakang, dekat pintu menuju ruang belakang. Ia satu-satunya orang yang paling protektif terhadap kamar mandi tempat mayat ditemukan. Saat enam petugas kepolisian dan dua petugas INAFIS melangkah masuk dengan sepatu-sepatu laras mereka, seorang pejabat setempat, ketua RT 10 ia menyebut dirinya, langsung menemani Ajun Komisaris Polisi Iskandar Hasan selaku Kapolsek Tegalgendu sebagai pemangku wewenang di wilayah ini.
“Siapa yang menemukan korban pertama kali?” tanya kapolsek Iskandar saat melangkah melewati ruang tamu.
Seorang pekerja rumah mengangkat tangannya yang masih basah oleh air berbusa. Sepertinya ia belum rampung mencuci alat makan. Kapolsek Iskandar melangkah ke dalam dan meminta saksi kunci itu menuntun. Perempuan paruh baya berbadan bulat itu melangkah agak ragu-ragu karena takut, kemudian hanya dua meter menjelang ambang kamar mandi, ia tak berani melangkah lagi, dan hanya mengarahkan jempolnya. Kapolsek kemudian meminta dua anak buahnya ikut. Senter-senter dinyalakan dan dua petugas INAFIS mulai mengambil posisi di sudut ruangan, berdiri saling pandang, dan merapatkan sarung tangan karet berwarna hijau kekuningan. Empat polisi lainnya berjaga di pintu penghubung ruang tamu dan dapur sementara delapan lainnya berjaga di pintu dan pinggir jalan. Orang-orang berusaha menerobos tapi sia-sia saja. Seketika rumah itu sudah terisolasi dengan garis polisi.
Ajun komisaris Iskandar Hasan berjongkok di depan mayat. Ia mengatur posisi agar sepatu kulitnya yang hitam mengkilap tidak menginjak aliran darah yang semakin jauh dan sebagiannya sudah turun melalui lubang pembuangan. Bercak-bercak di dinding juga sepertinya karena bekas pergerakan korban sebelum meninggal. Dua tim forensik berseragam oranye itu segera mengambil sidik jari, menarik pisau berdarah dari jari-jari tangan korban, kemudian memotret di beberapa bagian. Tak ada yang diizinkan memasuki ruangan kamar mandi itu selain polisi.
“Korban adalah Mozé Aldri Mangulika, tiga belas tahun laki-laki, tinggi 167, berat badan belum terdata. Kartu identitas korban hanya ada kartu pelajar untuk SMP Budi Mulia Ekstensi Yogyakarta, kelas delapan. Di sini tertulis asalnya adalah Buton, di mana itu?” Iskandar bertanya begitu arah kemudian seseorang di belakangnya menyeletuk.
“Sulawesi Tenggara.”
Adam hanya melihat dari jarak satu meter. Ia memerhatikan betapa kapolsek itu seperti kebingungan karena bekas kematian ini nampak begitu brutal. Komputer lipat yang tadi tergeletak di dekat kaki korban kemudian diangkat keluar bersama sebuah tas yang nampak sebagai tempat penyimpanan perangkat itu. Adam mengamati lampu kecil berwara biru masih berkedip-kedip di tepian laptop, membuatnya menepuk pundak petugas INAFIS seketika. Merasa diganggu, petugas itu menghalau tangan dan menatap tajam, tapi kemudian Adam menunjuk laptop dan berkata, “Sepertinya ada sesuatu di layar laptop itu, Pak. Anda tidak ingin melihatnya?”
Petugas forensik itu sontak melihat ke arah komputer lipat. Benar saja. Ada noda darah di beberapa tombolnya. Tapi yang membuat mereka menutup perangkat itu kembali adalah karena tampilan layar menampilkan tidak lain kecuali laman selamat datang bernuansa biru dengan bar kosong tempat kursor berkedip-kedip.
Adam menajamkan penglihatannya dan langsung tahu kalau itu adalah baris tempat mengisi kata sandi.
“Bagaimana Anda akan membuka komputer ini kalau dipasangi kata sandi?”
Kalimat itu lagi-lagi menarik perhatian tim forensik, yang lalu menahan tangan mereka memasukkan perangkat komputer itu ke dalam kantong barang bukti. AKPB Iskandar kemudian melangkah keluar dari kamar mandi dan lalu berdiri tegak di depan orang yang berbicara tadi.
“Oh, jadi Anda. Saya baru memperhatikan. Pak Adam Yafrizal,” sapa kapolsek itu seperti baru saja mengembalikan ingatannya, atau perhatiannya. “Anda seperti ada di setiap kasus pembunuhan ya … Wah itu kebetulan yang aneh,” sindirnya. “Saya komisaris Iskandar.”
Adam tersenyum. “Iya saya tahu, Pak Iskandar.” Ia lalu menunjuk laptop itu kemudian buru-buru mengutarakan maksudnya. “Itu kata sandi mendasar untuk perangkat komputer. Tidak bisa dibuka bahkan oleh pihak Microsoft sekalipun. Kecuali petunjuknya sudah tersimpan di drive D atau E, apa yang bisa saja jadi petunjuk kematian anak ini bisa hilang begitu saja.”
Komisaris itu berpiir juga pada akhirnya, sementara dua petugas INAFIS itu sepertinya sudah tak mau berlama-lama mendengarkan alasan ini, mereka hanya ingin bekerja dan bekerja sesuai prosedur. Barang bukti seharusnya langsung dibawa dari TKP kemudian dibedah di kantor atau setidak-tidaknya di mobil berkeamanan khusus. Mereka lalu menghentikan langkah dan menatap kebingungan saat sebuah kalimat terdengar lagi dari mulut Adam.
“Saya bisa membantu Anda membuka kata sandi itu, Pak Iskandar. Kalau korps tidak keberatan, tentunya.”
Iskandar merapalkan bibirnya dengan jari telunjuk, menggaruk-garuk dagu, kemudian menatap curiga beberapa kali. Juga melempar tatapan bingung dan kurang meyakinkan kepada dua petugas INAFIS yang sama bingungnya itu. Penyelidikan ini mulai keluar dari jalur. Tapi sebuah jalan keluar cepat terlanjur ditawarkan, dan kapolsek itu kemudian melunak. “Ya sudah, cepat. Saya beri waktu lima menit. Pak Wid, tolong.”
Berdasarkan instruksi itu kemudian tim INAFIS menggeleng dan mengeluarkan lagi laptop dari tas barang bukti, menarauhnya di atas meja kayu dekat pintu dan membuka layarnya. Salah seorang lalu mengangguk sambil membuka telapak tangannya, pasrah tapi kurang tulus. Adam langsung berdiri di depan perangkat itu, dan melihat noda darah mengalir dari tepian atas hingga membasahi layar. Ia tak seka sama sekali, dan memfokuskan pandangannya pada baris putih tempat kata sandi pembuka itu akan diketik.
Adam mengerutkan dahinya. Matanya menyipit, dan pandangannya justru berpindah-pindah dari papan tombol layar, kemudian papan tombol lagi. Ia memerhatikan tombol beberapa huruf seperti W, S, D, dan C seperti habis ditekan, terlihat dari permukaan tombol yang mengkilap dan sebagiannya sangat jelas berbekas cairan merah. Lama ia berpikir dan mencoba beberapa kata, tapi hasilnya nihil. Di belakangnya Iskandar mulai saling pandang dengan tim INAFIS, dan selang beberapa detik kemudian sudah terdengar kembali bunyi sirene dari jalan di luar dan orang berteriak melalui pengeras suara.
“Ayo cepatlah, Pak Adam. Ambulan sudah datang.”
Tapi Adam justru mengangkat telapak tangannya sambil mendesis menyeru agar mereka tenang. Lalu setelah sejenak memejamkan mata, ia mengetikkan sebuah kata lagi. Dan berhasil. Layar itu terbuka dan tampilan komputer berubah jadi halaman depan dengan beberapa ikon di tengah layar. Tidak ada aplikasi khusus yang terbuka kecuali penunjuk waktu dan cuaca. Satu-satunya jendela yang terbuka adalah kotak kecil bertuliskan application was not running correctly. Close now?
“Tidak ada apa-apa.” Iskandar berkomentar lurus sambil menggeleng. Kemudian dua orang forensik itu sudah kembali merebut laptop dengan kasar dan menyimpannya di dalam tas. Mereka berlalu keluar dan berganti empat orang petugas muda berseragam putih-putih yang membawa tandu. Mayat itu diangkut keluar melalui ruangan tamu.
Mila tak berani mengangkat wajahnya ketika mendengar langkah-langkah pembawa tandu itu melintas di depannya. Ketua RT dan petugas parkir berusaha menenangkannya. Sementara Titis dan Desi mulai tenang dan sudah bisa berdiri, mereka juga ikut menghibur Mila. Dua remaja lainnya, pasangan pacar yang nampak lebih cuek itu hanya mengambil posisi duduk di sudut tergelap ruangan dekat televisi, meraba-raba pandang penuh kebingungan dan sedikit kejengkelan.
Orang-orang mulai riuh dan beberapa menunjuk ke dalam. Polisi membukakan jalan dan dalam waktu singkat ambulan sudah membawa mayat itu pergi. Di belakangnya mobil INAFIS juga mulai dinyalakan mesinnya. Sirene mengaung jauh membawa kesedihan yang menular ke seluruh ruangan itu.
Kembali ke ruangan belakang, Adam baru bisa melihat jelas isi kamar mandi itu saat mayat sudah tidak di sana. Darah mengalir dan mulai mengental di lantai. Dinding kena beberapa bercak dan sapuan yang sepertinya dari tangan korban. Jejak darah dari pisau menggaris lurus di satu sisinya, tepat di dekat bagian yang tadinya perut tergolek. Jelas ini pembunuhan. Tapi, siapa yang tega melakukan ini pada remaja belasan tahun?
Adam kembali ke ruang tamu dan mulai mengumpulkan beberapa orang yang diingatnya. Ia mengajak Iskandar ikut serta dengan dalih saksi-saksi kuncinya ada di sini dan tak seorangpun pergi. Komisaris itu percaya dan mulai bekerja sama. Reputasi Adam Yafrizal sepertinya mulai terdengar sampai ke distrik ini, meski beberapa petinggi sangsi atas cerita-cerita pemecahan kasus yang sebagiannya memang dilebih-lebihkan oleh surat kabar.
“Ada beberapa orang yang bisa Anda wawancarai, kapten.”
“Ya, tentu. Termasuk keponakanmu itu.”
Adam menatap mata Iskandar yang menatap sama seriusnya. Kemudian melemparkan pandangannya lagi ke arah keponakannya yang masih terpukul di sofa seberang ruangan. Adam menghela napas, kemudian mulai menelepon beberapa orang lagi.
(Selanjutnya …)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H