Adam merasakan ada seseorang yang mencurigakan di antara mereka.
Tapi ternyata bukan cuma satu orang. Polisi meninggalkan beberapa kertas.
“Terima kasih, sayang. Informasi ini akan sangat berharga.”
Adam menjauh beberapa detik setelah mendekap Alina dengan rapat. Seorang mantan suami harus tahu cara memperlakukan mantan istrinya dengan cara yang paling bijak. Dan Adam yakin momen itu sangat tepat untuk mengandalkan Alina dalam pemecahan kasus di rumah itu, bukan untuk hal lain yang bisa mereka bicarakan atau lakukan kemudian.
Alina merapikan kerah bajunya kemudian menyisir rambutnya. Adam keluar lebih dulu dan langsung berjalan melewati perpustakaan mini di dekat tangga. Saat melihat buku Codex Seraphinianus tergeletak begitu saja di lantai, ia berhenti. Memiringkan kepalanya kemudian mengamati sampul itu rapat-rapat, menghela napas, kemudian menuju ke taman depan rumah dengan membaca buku catatannya. Di sampingnya tergeletak beberapa kertas yang baru saja ia ambil di meja tamu. Polisi masih lalu lalang dengan alat investigasi mereka. Beberapa dari mereka santai dan hanya bercakap sambil mengobrol di dekat jalan turun.
Tiba-tiba mendekat seorang komisaris dengan setelannya yang tertutup jaket parasut warna coklat. “Wah, Pak Adam Yafrizal,” sapa perwira itu. “Saya tidak menyangka Anda ternyata di sini.”
Adam tersenyum kemudian memberi ruang duduk kepada orang itu. Polisi memperkenalkan dirinya sebagai Lusius Mardika. Nama Alkitab berpadu dengan aksen Pulau Dewata. Adam memuji nama itu dan membuat sang komisaris tersipu.
“Ya. Saya saksi, Pak,” jawab Adam sekenanya. Perwira itu mengangguk dan mulai menceritakan beberapa hal terkait kekagumannya terhadap Adam. Mendengar itu, Adam mengangguk tanpa banyak membalas.
“Saya selalu perhatikan cara kerja Anda dalam menguraikan fakta-fakta kasus. Saya membaca koran,” kata komisaris itu sambil mengedipkan mata. “Mengapa Anda bisa jadi saksi di sini?”
“Oh, saya diundang oleh keluarga ini.”
“Tomo? Teman Anda?”
Adam mengangguk ringan. Tangannya yang tadi sibuk kemudian menutup buku catatan dan merapikan kertas-kertas itu ke ujung lain kursi panjang. “Kami berteman sejak SMA. Seharusnya tadi malam kami makan dalam rangka reuni, tapi ini …”
“Tak ada yang menginginkan tragedi yang begitu mendadak. Tak seperti undangan makan malam mendadak.”
Adam merasakan selera humor polisi ini tetap baik. Pengalaman panjang pasti membentuk logikanya bekerja seimbang dengan perasaan atas tugas-tugas menangani tragedi-tragedi manusia. “Saya tidak begitu suka pekerjaan forensik, sejujurnya, Pak Adam,” kata polisi itu sembari menghela napas. Perutnya kembang kempis ketika pandangannya menerawang jauh ke lereng bukit di bawah sana. “Kriminal insidental selalu lebih mudah. Tapi mempelajari kronologi kasus seperti ini, terkadang menarik juga.”
“Apa yang Anda dapatkan?” tanya Adam seketika. Lusius yang merasa disambar begitu saja melirikkan matanya dengan pandangan curiga, namun itu tak berapa lama ketika keramahannya kembali. “Tentang kasus ini? Belum banyak.” Ia mengeluarkan beberapa kertas yang nampaknya adalah catatan penyelidikan. Setelah dihampiri oleh seorang petugas berpangkat rendah yang menyerahkan beberapa catatan lagi, ia mulai menjelaskan kepada Adam.
“Masa lalu Lingga panjang berisi sedikit pemberontakan terhadap keluarga, tapi karirnya mulus sebagai juru foto lepas yang profesional. Tempat tinggalnya terakhir di kota Semarang, dan pernah beberapa kali diundang khusus untuk meliput Musyawarah Besar Kamar Dagang Indonesia, dan Asosiasi Pengusaha Bidang Pertanian. Bayarannya cukup banyak sampai-sampai ia berhasil menabung kemudian mengontrak rumah sendiri. Merasa punya pekerjaan tetap, ia mulai berekspansi dan bekerja untuk beberapa majalah, termasuk GRA dan sekali waktu untuk INTISARI. Batu loncatan baginya terjadi ketika foto hasil jepretannya mengisi koran-koran dan majalah nasional pada 21 Februari 2004, berisi foto candid yang mengungkap keterlibatan Maktum Salamah, politisi Partai Perintis yang kemudian dipenjarakan oleh KPK atas kasus dugaan pencucian uang dan persekongkolan jahat bersama Bank Mapada. Politis itu divonis tujuh belas tahun penjara yang kemudian …”
Polisi itu belum selesai menjelaskan tiba-tiba Adam menggumam sendiri. “Bunuh diri.”
“Ya, ditemukan meninggal dunia di selnya. Bersama beberapa saset cairan antiserangga. Kasihan, orang itu tak pernah menikah. Siapa yang mau bernasib buruk begitu, mati dalam keadaan sendirian.” Lusius kembali menghela napas kemudian diam sejenak.
“Sebenarnya identitas Lingga sebagai fotografer pengungkap tak pernah dipublikasikan KPK atas persetujuan Kepolisian. Anda tahu, kebijakan peniup peluit selalu rentan.”
Adam mengangguk. Lusius kembali melanjutkan, seperti menikmati dan lupa bahwa informasi yang diucapkannya sebagian berisi rahasia yang berwenang. Adam mulai menarik catatannya kembali dan menulis beberapa kalimat ketika pandangannya tetap tertuju pada komisaris itu.
“Meski demikian, belakangan diketahui informasi ini mulai terdengar bisiknya di kalangan pebisnis. Rekan-rekan yang pernah bekerja sama, atau terikat kerjasama, maupun hubungan personal dengan Maktum Salamah mulai mencari identitas Lingga. Tapi nama Lingga ada ribuan, mungkin jutaan di negeri ini. Tak satupun dari mereka berhasil, sepertinya. Dan anak ini aman-aman saja. Sebelum kejadian ini.”
Komisaris itu bangkit dari duduknya, kemudian merapikan jaketnya. Kertas-kertas di tangannya juga dijepit agar kuat. “Jadi, Pak Adam,” katanya sebelum beranjak. “Kalau Anda ingin membantu kepolisian dengan sedikit informasi yang saya beberkan, semoga itu membuat Anda terbantu dan mau membantu kami, dengan tetap menggunakan prosedur-prosedur keamanan informasi yang kita pahami. Jangan sampai Anda jadi Lingga yang berikutnya.”
Komisaris itu mengedipkan matanya, membuat Adam menatapnya tanpa bicara. Peringatan macam apa itu.
Adam menyelesaikan bacaannya terhadap beberapa majalah dan buklet ketika perutnya terasa lapar. Ia kemudian berjalan santai ke arah dapur melalui halaman samping dekat taman dan kolam tempat tenggelamnya korban.
Kolam tak bersudut. Hanya muat kira-kira tiga orang dewasa, karena lebih mirip kolam tempat berendam daripada tempat berenang. Uap melayang ke udara ketika permukaan airnya bergelombang karena angin. Sudah tidak ada lagi barang sisa kejadian di tempat itu. Hanya bekas pijakan di rumput yang ditinggalkan polisi dengan sepatu-sepatu larasnya dan serbuk-serbuk kertas yang basah dan bercampur dengan air. Tak seorangpun menceburkan ke air itu setelah kejadian semalam. Dan pagi itu Adam hanya berjongkok memerhatikan beberapa titik antara tengah kolam, rumput, dan tembok tepi kolam. Pikirannya melayang ke kejadian semalam.
Pembantu itu berteriak, kemudian ia dan seisi rumah berlari ke kolam melewati koridor gelap. Lingga ditemukan tewas dalam posisi telungkup. Sepatunya tertinggal di pinggir kolam dan sama sekali tidak basah. Adam merapalkan tangannya ke ujung rumput-rumput yang kini basah itu. Ia melihat telapak tangannya, kemudian dengan gesit membuka buku catatan dan menuliskan beberapa kata yang lalu dicetak tebal dan dilingkari. Pandanganya lalu tertuju tajam ke arah koridor gelap itu. Seperti mendengar bisikan untuk mendekat.
Saat ingin memasuki koridor ke arah dapur, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seseorang yang melintas di ujung dalam koridor itu. Adam memicingkan matanya dan memasukkan buku catatannya. Dengan santai dan sikap biasa ia akhirnya memasuki koridor berdinding anyaman bambu itu dan mengarah ke ruang tamu, melewati aroma semur ayam dan sambal bawang sebelum akhirnya bertemu Aini yang berjalan mengarah ke pintu.
Adam menyapa pemuda itu.
“Oh, Pak Adam.” Aini membalas. “Tadi saya cari Bu Retno kok tidak ada ya? Saya tadi mau memasang alat penghangat ruangan tapi kelihatannya rusak. Terminal kabelnya di atas lemari dan tanganku tidak sampai.”
“Boleh saya bantu periksa?”
Aini terkejut dengan tawaran itu. Tapi setelah berpikir beberapa saat, ia menyetujui. Mereka berjalan ke sebuah kamar di sudut lantai atas yang berdekatan langsung dengan kamar Tomo. Aini menyilakan ramah dan Adam sempat melihat-lihat beberapa bagian ruangan itu sejenak. Ada lemari rendah yang dijadikan etalase beberapa boneka, sebuah lemari tinggi tempat beberapa gulungan kabel tersimpan tanpa debu, sebuah ranjang berukuran sedang tunggal di pojok merapat ke dinding, dengan lampu cahaya kuning berukuran kecil di dinding atasnya. Itu satu-satunya lampu di kamar itu. Aini menunjukkan alat penghangat ruangan yang dimaksud dan Adam mengeceknya. Setelah memastikan masalahnya pada kabel yang bermasalah, akhirnya mereka berhasil menyalakan alat itu dengan bantuan sebuah terminal yang dihubungkan dengan lubang steker tersembunyi di bawah ranjang. Aini cerita kemudian berterima kasih. Ia bahkan memandu singkat tamunya itu melihat-lihat beberapa koleksi boneka kesayangannya. Adam juga memuji koleksi-koleksi buku unik yang dimiliki gadis itu.
“Jadi buku Codex itu punyamu ya?” tanya Adam saat membuka salah satu buku dari rak kecil di pojok kamar.
“Oh, Codex Seraphinianus? Ya, saya yang beli itu. Keren, bukan? Saya harus mengejarnya lewat internet selama tiga bulan lho. Akhirnya beli dan harganya mahal. Kirim lewat Hongkong.”
Adam mengangguk kemudian memuji keren. Saat pembicaraan mereka menyinggung media sosial internet, Aini nampak tersipu yang tiba-tiba murung. “Aku mengenal Lingga pertama kali dari jejaring sosial. Lihat fotonya yang ada gambar ayah dan bunda, saya langsung tertarik dengannya. Pekerja muda yang ulet, saya selalu suka tipe seperti itu. Cakep juga.” Aini seperti bergumam pelan ketika tangannya memeluk sebuah boneka lumba-lumba. Boneka itu ada di dalam tas plastik besar yang dibawa Lingga sampai ambang pintu rumah sehari sebelumnya.
Adam tersenyum lalu berdeham. Aini kikuk dan melanjutkan merapikan kamarnya setelah memasang alat penghangat ruangan di sudut dekat ranjang. “Jadi Lingga itu benar temanmu ya? Bukan teman Yoga?”
Aini mengangguk mantap. “Aduh, Yoga itu benci Lingga. Aku yakin alasan ia menuduhku selingkuh juga semata-mata karena ia tidak suka dengan Lingga. Mungkin saja benar dia yang bunuh Lingga. Bajingan.”
Adam tergelak dengan curahan hati Aini yang di telinganya terdengar begitu spontan dan apa adanya. “Tapi Yoga masih di rumah ini.”
“Ya memang. Itu pun karena ia tidak tahu malu. Makanya saya minta kita semua pulang saja dari sini, dan Mama setuju. Biar sekalian saya tidak mau lihat muka Yoga lagi.”
Pernyataan sikap yang tegas dari perempuan muda yang baru saja tersakiti. Adam memahami konteks pembicaraan itu sehingga ia memilih tak banyak berkomentar terkait liku romantisme dua muda yang menemui konflik remaja mereka. Ia memancing dengan hal lain.
“Soal Lingga, Aini. Kalau boleh saya tanyakan,” kata Adam pelan. Aini menyimak dan menyilakan. “Menurut Aini Lingga bekerja sendirian dalam fotografi, ataukah punya perusahaan kerja sama? Semacam kerja rekanan begitu?”
Aini mengerutkan dahinya, mengingat-ingat sejenak, lalu menjawab. “Lingga orangnya independen, setahu saya. Dia pernah punya rekan, satu fotografer juga. Namanya Aslan Wistoyo, saya kenal karena orang itu sekarang jadi reporter foto untuk Kompas. Mereka pisah setelah Aslan pilih kerja di kantor, sementara Lingga tetap pekerja lepas.”
Adam diam sejenak. Pandangannya datar dan kedipannya makin jarang selama semenit itu. Otaknya bekerja perlahan melawan suhu dingin yang masih terasa.
“Satu pertanyaan terakhir, Aini. Jawab dengan jujur.”
Gadis itu nampak khawatir dan sangat mengantisipasi. Adam melontarkan pertanyaan itu kemudian menatap mata Aini lurus dan dalam. Setelah akhirnya mendapat jawaban dan Aini kembali diam menatap permukaan lantai, Adam tersenyum.
“Terima kasih, Aini. Kau sangat membantu.”
Mereka saling berterima kasih dan Aini terus memeluk boneka lumba-lumba itu sampai Adam keluar. Kembali ke ruang tamu, Adam mampir di kamar Alina dan meminjam laptop yang sengaja mereka bawa. Koneksi internet di vila itu cukup memadai untuk aktivitas sekadar selancar atau buka laman berita.
Adam lalu tiba pada dua laman yang dibukanya sekaligus. Jejaring sosial bertema biru dan sebuah portal berita nasional. Dua nama yang dicarinya selama satu jam itu, menambah lembar-lembar catatannya di buku kecil bersampul merah itu. Ia menyimpan beberapa laman ke folder data komputer, memilah bacaan kemudian mengulangnya lagi kemudian. Mencocokkan satu data dengan data lainnya, mencari laman berita perbandingan, membuka beberapa foto kegiatan, termasuk konvensi pedagang beberapa tahun terakhir.
Tangannya bersimpuh di bawah dagu. Lalu akhirnya ia menegakkan badan lalu bersandar. Layar monitor komputer menunjukkan sebuah laman kini, dan berisi sebuah foto yang menunjukkan dua laki-laki sedang tersenyum berdampingan, dengan sederet kalimat keterangan foto itu. ACCENT.
Komputer ditutup dan Adam lekas-lekas mengetuk pintu sebuah kamar.
“Kita harus bicara.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H