Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kematian Ganda (7)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13425301611058878093

Akhirnya dari orang tua Agus mereka menemukan fakta-fakta penting.

Ada yang hilang dari penyelidikan kepolisian, terutama terkait kematian pertama.

(Sebelumnya ....)

Mereka tiba kembali di Condongcatur saat matahari mulai terbenam. Tak banyak lagi orang yang berkerumun di depan salon EVILIA saat aktivitas warga mulai menyambut jam istirahat. Hanya ada beberapa yang nampak berjaga tempat kejadian dan sebagian lain menyambut tamu yang melayat.

“Sudah malam,” komentar Eno ketika mobil yang membawa mereka bergerak pelan. “Apa mau lanjutkan penyelidikan hari ini?”

Adam memandangi keluar melalui jendela. Dilihatnya sirene polisi yang baru saja berlalu menjauh dari TKP itu. Udara dingin menyesakkan bahkan saat ia hanya membuka sedikit celah kaca. “Sepertinya kita istirahat dulu malam ini. Korban dimakamkan besok pagi atau siang, dan kemungkinan dibawa ke kampungnya di Klaten. Kita berikan waktu bagi keluarga untuk melepas kepergian korban. Penyelidikan dilanjutkan setelah pemakaman.”

Siang hari berikutnya Adam dan Eno sudah berdiri di bawah terik matahari jelang siang. Ibadah zuhur baru saja berlalu dan matahari berada tepat di atas kepala. Adam melipat kedua tangannya di depan sementara Eno tetap pada posisi lazimnya tangan berpegangan di belakang punggung. Beberapa orang di situ memakai payung untuk melindungi kulit mereka, tak terkecuali seorang paruh baya yang berjongkok di dekat gundukan tanah tempat nisan tertancap. Seorang lebih muda berjongkok di belakangnya dengan memegangi payung untuk sang imam. Doa terpanjatkan dan mulut orang tua itu komat kamit. Adam memerhatikan sekeliling dan beberapa orang menangis tersedu, yang lainnya hanya terdiam dan beberapa masih ringan saja berbisik sambil tersenyum. Suasana yang jarang dihinggapinya belakangan ini. Menyaksikan kematian sudah sering ia alami, tapi mengantarkan jiwa menuju peristirahatan terakhir sambil merasakan suasana yang tak begitu hangat di pemakaman sedikit mengganggunya. Ia kemudian memilih menyingkir ke bawah pohon lalu meneguk air mineral. Terkejut sesaat karena ternyata di dekat pohon itu tergeletak dua botol sisa minuman keras yang sudah bercampur dengan tanah.

Saat orang mengamini doa kemudian perlahan bubar, Adam dikejutkan oleh sapaan seseorang yang ternyata adalah Walkito, dengan ditemani anaknya dan seorang pemuda remaja yang nampak gugup.

“Terima kasih sudah datang, Pak Adam. Anda ternyata di sini juga.”

Adam bangkit kemudian menyalami orang tua itu beserta dua remaja yang menemaninya. Eno mendekat kemudian mereka berbincang sesaat sambil berjalan meninggalkan kompleks makam.

“Kasihan Win,” kata Walkito sambil berusaha mengatur suaranya yang parau. “Keluarganya jauh di Kalimantan, di Klaten sini tinggal beberapa sepupunya dan keluarga dari saudara ibu. Anak ini terbiasa mandiri, persis seperti Agus. SMP katanya sudah bisa cari uang sendiri.”

Adam mengerti hal itu meski tak langsung menanggapi. Pikirannya mulai tercerahkan setelah menemui orang tua ini, dan ia berharap mendapatkan lebih banyak petunjuk dari narasumber yang lebih berharga, ketimbang tiga saksi kunci yang disodorkan kepolisian kemarin.

“Saya yakin mereka akan ketemu lagi di alam sana.”

“Amin. Gusti Allah yang lebih tahu itu.”

Tak lama kemudian orang tua sudah dibawa ke atas mobil keluarga yang nampaknya adalah sewaan, pergi meninggalkan tanpa banyak kata. Kesedihan masih terpantar di wajah gigihnya.

Siang hari itu mereka tiba di sebuah rumah dengan halaman cukup luas, sekitar seratus meter arah timur dari Pojok Benteng Wetan, bagian kota yang masih satu kesatuan kompleks dengan Keraton. Mobil diparkir di pinggir jalan dekat Museum Perjuangan kemudian Adam dan Eno berjalan kaki menyusuri gang sempit di dekat sebuah sekolah menengah. Rumah itu sepi, tapi tukang kebunnya mengatakan bahwa nyonya rumah masih ada. Adam dan Eno masuk setelah permisi kemudian diantarkan ke kursi tamu di serambi depan.

“Pak Adam, Eno. Kalian tidak bilang kalau mau datang,” sambut nyonya rumah itu dengan keramahan lazimnya penyambutan tamu. “Mari kita bicara di dalam saja.”

Suratmi seorang ibu yang nampaknya sedang bersusah payah mengatur berat badan. Meski agak gemuk, posisi badannya tegak sehingga nampak anggun dan tegas. Rambutnya yang digulung kemudian ditusuk di tengah atas kepala menandakan ia benar-benar sedang santai tanpa kesibukan berarti. Bajunya yang nampak santai dengan kain jatuh berpadu celana panjang mirip bahan tidur sudah cukup nyaman. Ia menyilangkan kakinya setelah meminta seorang perempuan menyiapkan minuman dingin.

Adam membuka percakapan dengan menanyakan Hakim.

“Oh, anak itu sukanya main sepulang sekolah, Pak Adam,” jawab Suratmi. “Tak apalah, sudah besar juga. Ini suami saya juga sebentar lagi pulang, jadi tidak sendirian. Bagaimana, Pak Adam dan Mas Eno sudah ke tempat Pak Wilarto kemarin?”

Adam mengiyakan.

“Kasihan orang tua itu. Padahal anaknya si Agus itu bisa jadi tulang punggung keluarga, rajin. Andai saja …” Kalimatnya tidak berlanjut karena yakin kedua tamunya tahu arah pembicaraan itu.

“Sudah kok,” jawab Eno. “Barusan juga ketemu di pemakaman.”

“Oh?” Suratmi nampak terkejut. “Kalian habis dari pemakaman? Wah saya tadi mau ke sana cuma ada acara persiapan lomba di Kecamatan. Lagipula tidak ada yang bisa mengantarkan kalau harus keluar kota. Besok saja saya ke rumah almarhum.”

Adam berpikir sejenak dan berusaha mencerna kata-kata itu. Tapi belum sempat pikirannya tenang, nyonya rumah sudah buru-buru mengalihkan topik.

“Oh iya, saya dengar kalian mau investigasi kasus ini ya? Memangnya sudah yakin ini pembunuhan?”

Adam hanya bisa tersenyum atas sambaran pertanyaan itu. Sementara Eno hanya menantikan segarnya sirup melon dijanjikan. Mereka bercakap-cakap beberapa hal tentang korban dan keluarga Suratmi sendiri sampai akhirnya minuman datang. Adam berterima kasih kemudian mereka meneguk minuman itu nyaris bersamaan ketika nyonya rumah mengangkat gelasnya belakangan.

“Saya sudah berteman dengan Winarsih sekitar dua tahun, ya waktu saya mau nyalon itu. Dikasih tahu oleh teman bahwa ada salon untuk perawatan kuku dan refleksi yang bagus, sekalian murah untuk perawatan muka. Makanya saya cepat akrab, karena memang Mbak Win itu gampang bergaul dengan siapa saja.”

“Dengan Mbak Lijah juga?”

“Ya. Lijah itu teman yang kasih tahu saya soal salong Winarsih. Kenapa memangnya?”

“Bukan apa-apa,” balas Adam. “Cuma dari kemarin ada hal yang membuat kami bertanya-tanya soal Mbak Lijah ini.”

“Maksudnya?”

Adam menarik punggungnya dari sandaran kursi kemudian berkata dengan nada yang lebih tegas dan teratur. “Mbak Lijah menghindari pertanyaan kami seputar pekerjaan lain yang digeluti Mbak Winarsih, yang menurut beberapa fakta merujuk pada usaha utang-piutang yang melibatkan teman-teman dekatnya.”

Raut muka nyonya rumah sontak berubah dingin. Bibirnya terlepas dari ujung gelas yang diletakkan agak kasar di atas meja. “Anda berpikir saya ada kaitannya dengan pembunuhan ini?”

“Bukan begitu,” jawab Adam langsung. “Kami hanya ingin tahu, apakah benar Winarsih adalah seorang rentenir? Meminjamkan uang dalam jumlah besar kepada beberapa temannya yang sering main ke salon?”

Suratmi lama terdiam, matanya memandang penuh curiga.

“Memang,” jawabnya pada akhirnya. Eno mulai mengerutkan matanya, seakan-akan teringat sesuatu. Bunyi-bunyi dari gelang emas yang berlapis di pergelangan tangan kanan perempuan itu mengganggunya.

Adam melanjutkan pertanyaan. “Jadi menurut Anda masih ada orang yang tersangkut utang kepada almarhumah sampai kematiannya?”

“Saya tidak tahu, Pak Adam. Anda tidak memeriksa buku piutangnya? Saya kira polisi bisa bertindak lebih cerdas dari itu.”

Adam mengangguk paham. “Kami sudah mengecek. Semuanya. Dan, dari data orang-orang yang berutang itu, tertera nama Anda juga. Dengan jumlah pinjaman paling besar, mencapai tiga puluh juta rupiah. Anda menyangkal hal itu?”

Suratmi tergelak. Matanya tiba-tiba membesar dan tangannya merapat ke dada.

“Uang sebesar itu, belum terbayar kan?” Adam terus mengejar dengan pertanyaan. Nyonya rumah itu bungkam.

Saat dalam suasana hening itulah masuk dari pintu utama Hakim, anak laki-laki rumah itu yang nampak terkejut karena kembali mendapati dua orang berjaket yang pernah mewawancarainya dengan begitu menakutkan. Adam menyapa ramah tapi anak itu lantas berlalu ke  kamarnya.

“Itu bukan berarti saya yang membunuh orang itu, Pak Adam.”

“Benarkah? Bukannya itu motivasi yang cukup kuat? Anda berutang besar, sulit membayarnya, kemudian kematian korban sangat menguntungkan Anda, bukan?”

“Lancang sekali Anda!” Nyonya rumah itu bangkit sambil mencak-mencak. Eno berusaha menenangkannya selagi menegur rekannya. Adam tersenyum.

“Anda tak perlu marah kalau tidak bersalah, Bu Suratmi.” Adam berkomentar ringan sambil tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan buku catatannya dan menggelarnya di atas meja.

“Di sini saya mencatata beberapa keterangan yang saya gabungkan dari fakta-fakta TKP, hari-hari jelang kematian korban, dan keterangan para saksi yang nampaknya sangat bisa memberatkan posisi Anda.”

Buku itu kini jadi pusat perhatian karena meski nampak berantakan isinya. Bahkan Eno pun tak bisa mengerti apa saja yang ditulis Adam di lembar-lembar tengah itu.

“Tanggal dua belas, Anda berkunjung ke rumah Lijah dan bercakap-cakap di sana, membicarakan Winarsih yang sedang tidak di situ. Remeh temeh dari arisan sampai utang-utang kalian dibahas ala kadarnya sebagaimana normalnya ibu-ibu. Betul?”

Nyonya rumah itu kembali duduk dengan raut muka yang lebih bertahan. “Memang benar.”

Adam mengangguk puas. “Kedua, menurut penuturan Hakim anak Anda, malam sebelum kematian korban Anda berkunjung lagi ke rumah Bu Lijah dan melewati salon tempat Winarsih baru saja ingin berisitrahat. Nah, sekarang jawab. Apa benar malam itu kalian bertiga berada di salon antara pukul tujuh sampai sepuluh?”

Suratmi nampak bingung. Matanya bergerak-gerak ke arah kiri atas sementara tangannya berpindah-pindah dari satu bidang kursi ke bagian lain. “Seingat saya begitu. Saya dan Bu Lijah diundang oleh Winarsih ke salonnya untuk mengobrol biasa, akhirnya kami habiskan beberapa jam dengan bermain kartu.”

“Kalian berjudi.”

Suratmi ragu-ragu dan malu, namun mengiyakan tebakan barusan.

“Tentu saja benar. Polisi menemukan sisa koin, beberapa lembar uang di bawah meja, kartu-kartu remi yang berserakan, juga sidik jari yang berbeda-beda di banyak kartu. Sayangnya, Bu Suratmi. Sidik jari Anda ada dan cukup jelas di kartu yang dipegang korban saat ditemukan tewas keesokan harinya.”

“Apa? Tidak mungkin! Kalaupun benar …”

Adam mengangguk. “Memang benar … kalaupun benar, bisa jadi itu sisa permainan kartu kalian. Itu tentu bisa jadi alibi yang cukup untuk menangkis tuduhan yang bisa saja dilayangkan kepada Anda. Tapi ada satu hal lagi …”

Adam lalu mengangkat salinan kertas di bukunya. Kertas itu dibuka lebar di atas meja sehingga jelas terlihat hasil fotokopian itu.

“Ini daftar dari buku piutang Winarsih. Lihat nama Anda di situ?”

Eno mendekatkan kepala dan berkata sesuatu dengan suara nyaris berbisik.

“Ya. Suratmi, di urutan nomor tujuh.”

Suratmi terperanjat kemudian bertanya apa maksud semua itu. Pikirannya mulai tidak teratur dan sikapnya mulai tidak bersahabat. Nada suaranya tinggi saat bertanya berkali-kali apa maksud Adam untuk semua ini.

“Maksud saya, Bu Suratmi, bahwa Anda bisa saja jadi tertuduh nomor satu sebagai pembunuh Winarsih.”

Nyonya rumah itu bernapas makin cepat namun tubuhnya perlahan lemas dan disandarkan begitu saja.

“Kartu yang dipegang korban saat ditemukan adalah Tujuh hati.”

Eno terkejut kemudian melihat kertas itu lagi. “Urutan nomor tujuh di buku utang! Itu Anda, Bu Suratmi.”

Polis muda itu lantas mengangkat telunjuknya kemudian mulai menjelaskan sesuatu. “Iya saya ingat. Ibu Suratmi yang waktu itu berdiri di antara kerumunan orang kan? Waktu polisi membawa mayat korban keluar dari salon.”

Suratmi dan Adam kaget serta heran nyaris bersamaan. Eno lanjut mengutarakan pendapatnya.

“Anda di sana pagi itu. Gelang-gelang yang Anda pakai sekarang jelas yang waktu itu saya lihat. Nampak mencolok di antara ibu-ibu lain. Tersenyum-senyum di antara orang-orang. Bagaimana bisa rekan Anda yang begitu dekat seperti almarhum ini meninggal dan Anda nampak biasa-biasa saja?”

Adam merasa mendapatkan sesuatu yang mengejutkan.

“Eno, apa kau yakin?”

“Seratus persen. Saya tidak bisa lupa gelang-gelang ini, Bu Suratmi. Baiknya Anda mengaku saja.”

“Mengaku untuk apa? Saya tidak membunuh Winarsih. Anda baiknya pergi dari sini. Maaf, tapi pembicaraan ini sudah selesai. Saya ada anak dan suami yang perlu diurusi, bukan hal tidak mendasar dan kurang menyenangkan seperti ini.”

Nyonya rumah itu lalu memanggil tukang kebunnya yang lalu diperintahkan mengantarkan kedua tamu keluar.

Saat mereka menuju mobil, tiba-tiba terdengar sirene mendekat. Dua sedan berwarna kelabu dan sebuah patroli pikap berhenti persis di depan rumah itu. Beruntun dan tegas turun enam petugas berseragam dan langsung meminta izin kepada pekerja kebun itu untuk masuk. Dari mobil tengah turun Herman dengan merapikan jaketnya. Senyumnya sumringah kemudian menyapa Adam dan Eno yang nampak kebingungan.

“Ah, kalian juga sudah di sini rupanya,” sapa kapten itu.

“Apa yang Anda lakukan di sini, Pak Herman?” tanya Eno.

“Apa yang kau lakukan di sini, Nak? Bukannya ada tugas di kantor? Buat laporan nanti. Sekarang saya mau melakukan penahanan. Permisi.”

Kapten itu membuka surat yang dikeluarkan dari dalam jaketnya kemudian menuju pintu rumah. Dari dalam sana lalu keluar Suratmi dengan wajah terheran dan nyaris terpukul. Belum pernah rumah ini didatangi rombongan polisi dengan tujuan yang benar-benar serius.

Adam masih bingung namun tak lama kemudian sudah menyaksikan nyonya rumah itu menangis tersedu saat digiring ke dalam mobil polisi. Kedua pembantunya sempat menahan tapi tak kuasa melawan kawalan polisi.

“Kami sudah tahu semuanya, Pak Adam. Keterangan saksi-saksi, analisis sidik jari dari TKP dan hasil penelusuran tim ahli terhadap buku piutang korban menegaskan semuanya. Nyonya Suratmi ini tersangka utama kita. Nama nomor tujuh. Anda pasti tidak menyadari itu, kan? Permisi.”

Kapten itu berlalu setelah mengangguk, seperti meledek. Adam mengepalkan tangan sementara Eno memohon maaf karena harus ikut rombongan korpsnya.

Anak berlari keluar rumah. Hakim berteriak-teriak sambil menangis. Tapi Adam menahannya. Investigator itu melihat rombongan mobil menjauh. Sadar betapa pikirannya sangat lambat untuk menyadari fakta yang ditemukan kepolisian.

Saat anak itu masih terisak, Adam kembali mengeluarkan buku catatannya, membacanya dalam-dalam di bawah terik matahari siang itu, kemudian menggaruk kepala dengan keras.

“Kurang ajar.”

(Selanjutnya …)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline