*
Tahun itu 1899.
Tak banyak yang bisa dilihat di luar rumah sesering tentara-tentara Belanda yang berbaris lalu lalang tiap matahari terbit dan terbenam. Bandung baru berbenah. Rumah-rumah terjaga di pintu dan jendelanya. Para petani tak kuasa memanen terlalu banyak untuk disembunyikan di lumbung dalam hutan. Kabar radio berserak-serak seputar munculnya Johan Fabricus, seorang wartawan yang banyak mengabarkan pribumi ke meja-meja di Belanda. Jurnalis itu berkeliling antara Tanimulya sampai Karawang, hanya untuk mencari orang-orang Jawa yang bisa dijual ke Belanda lewat seni pertunjukan. Tujuh tahun terakhir usahanya nihil, sampai pada hari Rabu tanggal 22 April ia tiba di depan De Vries, toko serba ada dan satu-satunya di distrik Hindia Belanda itu.
De Vries malam itu nampak tak biasa, karena pribumi berkerumun duduk melantai di depan pintu masuknya. Johan semakin heran lagi karena saat mendekat ia ternyata dihadang oleh beberapa serdadu Kaukasia. “Prestereen Karto, weet je niet?” teriak serdadu itu sambil mendorong senapannya ke dada orang yang berdesakan.
Johan malam itu hanya bisa melihat dari kejauhan. Orang-orang tertawa sampai memukul-mukul lantai. Karto sedang pentas, siapa dia? Mengapa ada pertunjukan lawak di saat seperti ini? Untuk beberapa jam malam itu, Johan hanya berhasil mengutip beberapa gambar kabur dari kamera kotaknya. Kemudian orang-orang dan serdadu itu tertawa lagi.
Apa kau tidak lihat aku punya senjata yang besar? Kata Karto berteriak dengan suara berat. Maaf, meneer. Katanya lagi dengan menirukan suara perempuan centil.
Tapi yang kulihat malam itu tak sebesar ini. Ciut. Katanya lagi dengan menirukan suara perempuan centil.
Orang-orang tertawa. Johan mulai menulis di kertasnya. Yang disebut-sebut sebagai Karto ini, adalah seorang pelawak. Lakon malam itu adalah Grote Master en Martini. Si Tuan besar dan pembantunya.
Pentas usai saat iring-iringan komander yang baru saja kembali dari inspeksi Verkspoor, industri transportasi rintisan yang terkenal itu. Karto turun panggung dengan disambut puluhan rekannya. Punggungnya hangat karena tepukan, senyumnya tak terlepas. Sebetulnya orang ini bisa saja tidak menonjol. Badannya pendek dan langkah-langkah kakinya cepat. Ia memapah sebatang bambu yang mengangkat dua keranjang berisi singkong. Bayarannya untuk malam itu. Beberapa rekan yang menepuk punggungnnya tadi kebagian tiga batang yang lantas mereka perebutkan sambil tertawa.
“Maukah Anda berangkat ke Belanda untuk kehidupan lebih baik?” Johan mendekat sambil tersenyum. Pelawak itu, Karto, terheran-heran dan hanya mematung.
“Oh saya minta maaf,” minta Johan yang lalu memperkenalkan dirinya. Karto nampak acuh dan meminta izin untuk pulang. “Maaf istri saya menunggu.”
“Anda akan dapat bayaran lebih tinggi kalau tampil di depan Royal Academie.”
“Maaf, Tuan Johan. Saya hidup dan akan mati di sini. Permintaan Anda sia-sia saja.”
Benar-benar sia-sia. Untuk malam itu Johan hanya bisa menghela napas saat melihat punggung Karto menjauh. Bilah bambu itu nampak memegas nyaris menyentuh tanah saat orang itu menghilang ke dalam kegelapan jalan.
Untuk sejenak mengikuti Karto dalam senyap, ia melihat seorang lagi dua blok dari situ. Seorang gadis tersipu sambil merapal rambutnya, menyeka keringat di keningnya. Lalu mengangkat bungkusan kecil dari bakul Karto. Kedua orang itu nampak mesra.
19 Agustus.
Untuk beberapa bulan itu laporannya tak banyak seputar satwa Celebes dan politik yang berkembang di dalam negeri. Ataupun soal kabar lahirnya seorang anak bernama Semaun di lingkungan Sarikat Islam di Jawa Timur. Pikirannya jatuh cinta pada sosok Karto dan pertunjukannya. Lawak bagaikan reinkarnasi hiburan. Johan ingat betul saat-saat kecilnya ketika beberapa pengamen jalanan tersebar di jalan-jalan Gravenhage dari gedung Ridderzaal sampai ke Stadhouder. Tapi di Java, belum pernah ada yang seperti ini. Memori masa kecil itu membuatnya ingin mengejar orang ini. Karto adalah aset, dan bisa saja Gubernur Erikssen Mountpillar tidak akan melepaskannya begitu mudah.
Karto baru saja tampil di Wilhelmina Plein, lapangan luas tepat di depan gedung dewan gubernur. Ribuan orang berteriak dan mabuk bersama saat regu yang menuliskan namanya sebagai LEKER, kepanjangan dari Lembaga Komedi Rakyat, memulai lawakannya. Karto mulai lebih dulu dengan bercakap lawan Mamat. Mereka bercanda bahwa seorang meneer tidak takut pada siapapun kecuali dua, yaitu tukang cukur dan dan istri simpanannya. “Bedanya serdadu dengan jelata apa? Ya itu tadi: serdadu lebih suka serangan langsung karena senjatanya di luar. Jelata tidak punya itu. Senjatanya di dalam, serangannya gerilya di malam hari!”
Bahkan gubernur pun terlunjak-lunjak dari kursinya.
Johan tersenyum saja sambil melipat lengan di depan dada. Di bawah pohon beringin ia mendiamkan perangkatnya. Karto benar-benar membuai kerumunan, meski di belakangnya tertangkap raut muka sinis yang mudah sekali disadari orang yang peka. Setelah beberapa jenak perhatiannya lantas teralihkan oleh sesosok perempuan yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.
“Karto pelawak hebat ya,” kata Johan coba membuka pembicaraan. Perempuan itu menatap curiga lalu tersenyum. “Ya itulah dia. Jiwanya komedi, meski aslinya dia biasa-biasa saja. Perangainya ramah dan penyayang. Di rumah hampir tidak pernah melawak.”
“Oh, Anda ini istrinya?”
“Bukan, tuan.” Gadis itu menggeleng. “Saya rekannya. Sesama seniman panggung.”
Johan sontak ingat. Perempuan inilah yang malam itu ditemani Karto sewaktu pulang. “O, Anda ini Asih to? Saya sudah cari tahu banyak tentang Anda. Anda ini penari kan .. Apa itu namanya?”
“Jaipong.”
“Ya benar. Penari Jaipong,” kata Johan sambil terkekeh menggaruk kepala. “Anda kenal baik dengan Karto, atau … Anda ini …”
Yang disebut Asih itu lantas menggeleng sambil tersenyum. “Bukan, tuan. Saya temannya saja. Saya menyimpan perasaan kepadanya …” sepintas Johan menangkap pandangan mata itu melayang ke atas panggung, kemudian kembali ke tempatnya. “Tapi siapalah saya. Saya menghargai kemurnian cinta istrinya.”
Johan mengangguk simpatik. “Di mana istrinya sekarang? Maksudku, di kota ini juga?”
“Ya. Di pinggir. Mereka belum punya anak sejak lama. Tapi Karto tetap bekerja untuk istrinya. Dia seniman sejati.”
“Saya bisa lihat itu.”
Perbincangan itu tak terasa sampai Johan mengumpulkan banyak sekali fakta tentang Karto. Asih seorang gadis cantik. Pribumi idola pada umumnya. Rambutnya hitam panjang dan tangannya kecil. Idola banyak lelaki, pikir Johan. Hanya saja dari penuturan gadis itu terbersit isyarat sosial yang jelas bahwa tak satupun akan berani mendekati gadis ini. Para meneer sudah mematok tanda jelas atas dirinya. Entah apa maksud gadis itu ketika berkata, “Kang Karto adalah penjaga, kalau tidak saya sudah bunting anak Belanda.”
Saat coba meminta penjelasan soal asal usul dan perjalanan karir pertunjukan mereka, Johan berbinar. Ia merasakan angin segar tatkala tahu fakta bahwa selama ini Karto merasa tidak betah melawak di depan orang-orang Belanda. Terlebih lagi ketika merasa ia ditertawakan bukan karena lawakannya, tapi ketidakberdayaannya lantaran ia memegang tanggungan berujung pemerasan.
“Beberapa kali ia melawak tanpa dibayar,” ungkap Asih. “Kalau menolak, istrinya akan diculik kemudian diperkosa. Awalnya ia tidak takut, tapi waktu aku yang diculik oleh tiga serdadu Belanda di malam minggu buta, ia berang kemudian membuat perjanjian dengan pemerintah. Akhirnya begini ia bekerja terus. Digaji ataupun tidak.”
Dilema yang sulit. Menjadi pekerja di bawah pemerintahan status quo tak pernah nyaman. Johan mengingat rasa itu ketika harus ditugaskan di Papua Nugini atas nasib saudaranya di penjara Rendeville.
Johan tak mengambil langkah lebih maju malam itu. Percakapannya dengan Asih ia rasa sudah cukup untuk membuat rencana baru soal Karto. Asih pun menyanggupi untuk memberitahu jurnalis itu jika sewaktu-waktu ada kabar baik.
5 September.
Berita dari dunia mulai terjamah ke orang-orang pribumi. Karto naik daun dan pindah-pindah kota membawa lawakan yang berbeda-beda. LEKER beberapa kali ganti anggota, dan hanya Karto dan Suaeb yang bertahan sebagai pentolan tetap. Mereka berdua saling ikrar, akan terus melestarikan lawak berkelompok ataupun tunggal tanpa harus menjatuhkan siapapun atau memicu pertengkaran sosial. Itulah nilai jual yang membawa nama mereka sampai dewan Koloni Hindia Belanda di Batavia. Pertunjukan puncak mereka dilakonkan di Gereja St. Maria, memeringati enam dekade mendaratnya koloni. Johan ikut dengan dalih liputan politik dan perundingan damai. Menurutnya ini saat yang tepat untuk menjauhkan Karto dari pemerintah yang memerasnya.
Di atas panggung, Karto kebingungan di sela-sela lawakannya. Orang-orang tak tertawa seperti biasanya. Lawakannya telah mudah ditebak dan sudah pernah beberapa kali dilihat. Lakon Samaratungga dan Anak Tuyul sudah paling laku bahkan diabadikan di koran-koran Javandisce Artie. Ia kehabisan akal, dan untuk sejenak itu merasa harus melakukan sesuatu. Lama mencoba lawakan-lawakan baru, tak juga membuat tertawa orang-orang yang kebanyakan terpelajar dan berpangkat itu.
Di samping panggung, Johan merasakan hal yang sama. Orang-orang ini malah seperti mengejek. Beberapa dari mereka saling berbisik kemudian tertawa kecil.
Karto terdiam. Ia mulai mendengarkan sorakan untuk turun dan melihat lambaian tangan yang tidak mengenakkan. Anggota LEKER saling pandang dalam kikuk, kemudian Karto mundur. Beberapa orang di bawah panggung mulai pergi.
Suaeb bangkit dari duduknya. Ia lalu berdiri dan berteriak memecah keriuhan. Kemudian ia mulai melucu dengan nada-nada sarkastis. “Lihat orang pendek ini! Saya yakin ia punya lebih banyak kursi di rumahnya, karena sebagian dijadikan jemuran pakaian. Orang seperti ini tak akan bisa memasang tali di halaman rumahnya dengan dua tiang setinggi satu meter. Ha ha ha …”
Orang-orang lantas tertawa. Orang yang tadi ditunjuk sebagai objek ejekan akhirnya hanya bisa tersenyum. Tubuhnya memang pendek. Apa yang tidak lucu? Tapi ia menyadari hatinya pecah. Belum pernah ia mendengar ocehan lawak yang seperti itu. Mengejek dan menistakan bentuk tubuh seseorang. Karto tersenyum sekenanya. Ia menggerak-gerakkan jari-jari kakinya saat orang-orang terpingkal di kursi mereka dan Suaeb sibuk dengan lawakan-lawakan ejekannya. Kepala yang besar, tangan yang tak bisa memegang kelapa, cara jalan yang lucu, semuanya ditertawai.
Karto sakit hati. Malam itu gemerlap cahaya dari lampu-lampu gantung sama sekali tak menghiburnya. Di bawah panggung, Johan tak bisa berkata apa-apa, merasa tak berdaya dan menyesal pada dirinya sendiri. Di luar pagar bahkan Asih sudah melangkah pergi entah ke mana.
“Pertunjukan lawak tak lagi menjual, Karto! Kau sadar itu? Kita harus kreatif atau tidak bisa makan. Di Batavia sana Jules Francois de Calonne mulai bangun bioskop. Di Jawa orang-orang mulai ikut wayang. Lawakan akan tenggelam kalau kita tidak melawak lebih lucu. Kau sadar itu?” Suaeb mendebatnya habis-habisan malam setelah pertunjukan itu.
Karto bisa apa. Rekannya yang pernah menempuh sekolah itu memang terdengar masuk akal.
15 Desember, Pelabuhan Sunda Kelapa.
Johan hanya terpaku di depan jalan itu. Suara ombak Laut Selatan bagaikan irama hening baginya. Menggelayut di kepala kemudian menguap melalui lubang telinga. Hari-harinya beberapa bulan ke belakangan tak menghasilkan apa-apa. Beberapa kontrak penulisan juga telah sirna karena pelanggaran komitmen. Kapal SURABAYA sudah merapat dengan bunyi terompetnya yang membahana. Keramaian beranjak saat matahari terbit di ufuk timur. Ia harus kembali ke tanah kelahirannya.
Tak banyak kabar yang didengarnya tentang pelawak itu. Terakhir ia tahu bahwa bulan lalu Karto akhirnya memutuskan pensiun dari dunia pertunjukan. Selera humor orang-orang telah berubah. Dan Karto tak bisa menerimanya. Lawakan-lawakan sarkastis yang menghina fisik setia dibawakan Suaeb saat LEKER benar-benar bubar. Anggota satu itu sukses dengan pertunjukan tunggalnya. Dan Karto tak bisa berbuat apa-apa.
Kini Johan sudah tahu apa maksudnya jalan karir. Ia merasakan jauh sebelum itu. Tapi harapannya ketika melihat semangat yang ditunjukkan Karto di atas panggung sempat memberinya harapan bahwa tidak semua pribumi menyerah pada penindasan. Karto berhasil menembus dinding-dinding kekakuan penjajahan koloni dengan sesuatu yang disukainya. Lawakan rakyat. Ini akan jadi berita besar bagi dunia di luar sana andai saja bisa dibukukan. Johan kebanyakan berangan. Surat penawaran pertunjukan yang sedianya ditujukan untuk kerajaan itu akhirnya diremas dan dibiarkan terbawa ombak.
Saat tersadar, ia sudah melangkahkan kakinya ke jembatan.
Terompet kapal berbunyi lagi. Siap berangkat. Johan melihat lurus ke puncak-puncak gedung di dekat Wilhelmina, membayangkan lampu panggung di St. Maria Batavia, bahkan sudut-sudut gang di Jalan Kernell Lor dekat dari rumah pelawak itu.
Tiba-tiba bayangannya buyar. Ia mendengar panggilan. Saat menoleh, di antara kerumunan orang di dermaga seseorang berlari. Asih membelah kerumunan orang-orang sambil berteriak.
“Tuan Fabricus! Tuan Fabricus!”
Johan berlari ke arah buritan ketika Asih mulai mendekat di bawah sana. “Tuan! Karto mau melawak lagi. Karto mau ikut tuan!”
Johan melompat dari dek sampai akhirnya terjatuh di ujung dermaga. Seorang awak kapal meneriakinya sambil marah-marah, tapi Johan tidak peduli. Ada angin segar yang menariknya kembali ke tanah itu. Asih terengah-engah kemudian menegakkan badan dan menunjukkan selembar surat bertuliskan tangan.
Tuan Johan. Saya meminta maaf atas kelancangan saya beberapa bulan lalu. Sempat saya pikir karir saya sudah tamat. Karena Suaeb dan sebagainya. Tapi saya pikir istri saya orang terhebat di dunia. Dia membujuk saya untuk terus berkarya. Saya tak peduli orang-orang tak lagi menganggap lawakan saya lucu. Tapi selama istri saya mau mendengarnya setiap malam, saya kira itu pertanda masih ada harapan. Temui saya di depan De Vries hari ini jam lima. Dan saya akan mendengarkan. Mungkin akan ada angin baru bagi keluarga saya, dan si kecil di dalam kandungan istri saya bisa tertawa saat menginjak usia pahamnya.
Karto, si pelawak.
Johan mengangguk sambil tersenyum kepada Asih. Hari itu matahari akan bersinar cerah. Dan sepertinya pergantian tahun akan meriah di beberapa bagian kota. Saat orang-orangnya kembali menertawakan celotehan seseorang di panggung utama Concordia Sociteit. Gedung Merdeka.
*
ilustrasi: bienthang.files.wordpress.com.
++++++++++++++++++++++++++++
De Vries: toserba pertama di Bandung, kini bank OCBC-NISP.
Wilhelmina Plein: kini lapangan Gasibu.
“Prestereen Karto, weet je niet?” = "Karto sedang pentas, tidakkah kau tahu?" (Google Translate).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H