Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kematian Ganda (8)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13425301611058878093

Kapten Herman tersenyum kemenangan setelah menahan Suratmi atas bukti kuat di kepolisian.

Sementara Adam sibuk dengan pendapatnya sendiri.

(Sebelumnya ....)

Adam merasa sendirian.

Pikirannya berantakan ketika semua hal yang dilihatnya tiba-tiba melenceng jauh dari harapannya. Beberapa dugaan dan bangun hipotesis yang diupayakannya dalam dua hari terakhir berakhir pada tembok tebal yang memisahkannya dengan kekuatan kepolisian dalam menetapak seseorang sebagai tersangka. Suratmi sudah berada di ruang tahanan Polsek Depok ketika petang itu ia masih duduk di kursi tamu rumah itu.

Di sampingnya Hakim sudah sibuk dengan telepon genggamnya, sesekali berbicara bahasa yang tidak dimengerti, seperti mengumpat dan menyesali dirinya sendiri. Sementara dua pembantu rumah itu saling pandang beberapa kali dalam kebingungan yang bisa dimengerti. Adam menghabiskan waktu dalam diam. Duduk kemudian bangkit lagi untuk mondar mandir di atas ubin. Begitu berulang-ulang sampai akhirnya anak semata wayang keluarga itu memilih menyingkir ke dalam rumah dan meninggalkan telepon genggamnya di atas meja. Adam dengan malas mengambil perangkat itu kemudian mencoba mencari petunjuk yang bisa dibaca. Sama sekali tidak peduli pada pandangan kedua pembantu yang nyaris memprotes tapi kata-kata mereka tertahan.

“Ini telepon genggam Bu Suratmi ya?”

Kedua pembantu itu mengangguk. Adam kemudian melihat beberapa nama kontak dan mengabaikan yang lainnya. Nama-nama itu terus bergerak ke atas ketika Adam menggeleng lemas. Tindakannya itu kemudian dihentikan oleh kedatangan seorang laki-laki paruh baya dengan perut buncit dan kumis tebal khas Jawa Timur. Suara berat dan ayunan tangan yang tegas namun tetap menyimpan rasa hormat dan tunduk yang tak biasa.

“Anda menunggu siapa ya?” tanya orang itu. Kedua pembantu lantas berdiri dan memohon maaf. Setelah menjelaskan kejadian yang terjadi, barulah laki-laki itu tergelak. “Apa? Di mana sekarang? Pak, Anda ini siapa? Apa yang terjadi dengan istri saya?”

Tuan rumah telah tiba. Keringatnya yang sudah membasahi sebagian lehernya bahkan sebelum pembicaraan dimulai, kini jadi semakin deras karena napasya terengah-engah. Terpukul atas berita yang didengarnya. Sontak ia ingin balik ke arah kendaraan motornya tetapi ditahan oleh Adam.

“Istri Anda baik-baik saja. Sekarang ada di polsek tapi saya jamin dia aman. Teman saya ikut bersamanya memastikan ia terpenuhi hak-haknya. Kita perlu bicara sebentar, Pak.”

Orang itu menatap tajam dengan kedua bola matanya yang kemerahan. Melihat pembantu-pembantunya dengan jengkel, berpikir apa saja kerja mereka berdua sampai membiarkan semua ini terjadi. Kedua pembantu itu lagi-lagi minta maaf kemudian permisi kembali bekerja setelah diminta pergi.

“Anda ini siapa? Anda polisi juga? Ada apa ini kok main tangkap-tangkap saja. Apa salah istri saya?”

“Istri Anda dituduh membunuh.”

“Membunuh? Tidak mungkin. Bagaimana bisa istri saya membunuh? Dia punya musuh saja tidak.”

“Anda yakin?”

“Saya yakin. Saya harus jemput dia sekarang. Kurang ajar polisi itu …”

Adam lagi-lagi harus menahan tubuh orang itu sambil berusaha menenangkan. “Kondisinya tidak memungkinkan sekarang, Pak Yus.” Kalimat yang membuat tuan rumah itu mengernyitkan dahi. “Polisi punya bukti untuk memenjarakan istri Anda. Dan satu-satunya jalan agar dia bebas adalah dengan membuktikan sebaliknya.”

“Kalau begitu buktikan. Saya yakin kalau masalahnya kematian Winarsih si perempuan salon itu, istri saya tidak terlibat sama sekali. Mereka berteman dengan banyak orang anggota arisan, teman main kartu, bahkan tentara dan polisi. Siapapun yang pernah ke salon itu pasti kenal dengan istri saya.”

“Apa betul begitu?”

“Ya tentu. Istri saya itu punya urusan banyak. Usahanya juga beberapa kali berhasil. Jualan batik, tidak ada masalah. Hubungannya dengan Winarsih baik-baik saja.”

“Bagaimana dengan Bu Lijah?”

“Oh, istri tentara itu. Memang beberapa kali cekcok, soal uang arisan. Biasalah ibu-ibu. Mereka kadang suka sentimentil kalau soal undian apalagi uang hadiah. Saya tidak ikut campur. Cukup dengar curhatan istri saya saja tentang itu.”

“Istri Anda terlibat utang piutang dengan WInarsih.”

“Dari mana Anda tahu?”

“Banyak buktinya, termasuk buku pencatatan piuntang korban. Istri Anda masih punya utang cukup besar. Untuk apa uang sebesar itu? Saya lihat kebutuhan Anda di sini semuanya terpenuhi.”

“Ya saya tidak tahu.”

“Anda yakin tidak tahu?” Adam  mulai menyelidik. Matanya dipicingkan. Yus kikuk dan gugup dibuatnya. Berkali-kali orang itu menyeka kumisnya dengan telapak tangan yang basah karena keringat.

“Itu … ya memang ada beberapa juta yang dipinjam. Untuk modal usaha juga. Istri saya mau dagang batik, buka butik. Butuh pinjaman. Kalau dari bank, susahnya minta ampun. Tapi, namanya pinjaman. Sebagiannya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan saya hanya menghasilkan dua sampai tiga juta setiap bulan. Tidak pasti juga karena saya bukan orang kantoran.”

“Apa persisnya pekerjaan Anda?”

“Saya menangani kredit macet kendaraan.”

“Debt Collector?”

“Ya, semacam itu. Tapi yang ini khusus sepeda motor. Siapa yang tak bisa melunasi kreditnya, kami tahan di jalan dan bawa ke kantor. Begitu saja setiap hari. Anda lihat sendiri isi tas saya buku-buku tebal ini. Daftar motor jaringan kerja. Semuanya bermasalah. Honor diterima setiap bulan ditambah bonus tergantung jumlah tangkapan.”

Adam mengamati buku-buku di dalam tas yang ditunjukkan, kemudian lanjut bertanya.

“Soal hubungan istri Anda dengan Winarsih. Apa pernah mereka bertengkar?”

“Saya tidak tahu pasti, Pak Adam. Yang jelas Bu Winarsih itu curang orangnya. Dia suka negosiasi dengan Lijah dan curang soal uang pembagian arisan. Istri saya menang tapi dipotong banyak sekali uang dengan alasan iuran bersama lah, pinjam lah, macam-macam.”

“Tapi kan wajar dia meminta. Istri Anda berutang juga.”

“Benar. Tapi ya utang tetaplah utang, mestinya tidak dicampur-campur begitu. Kalau sudah urusannya uang kecil-kecil, tidak ada tanda terimanya, Pak Adam. Piutangnya kepada istri saya tetap, tapi dia juga ambil sedikit demi sedikit. Itu kan curang sekali namanya.”

Adam mengangguk sambil berpikir keras. Kata-kata orang ini benar juga. Dari beberapa informasi yang diterima, kesan Winarsih memang tak begitu baik di mata orang-orang terdekatnya. Kecuali di mata calon mertuanya yang kini menetap di luar kota itu. Untuk beberapa jenak Adam kembali bersemangat dan mulai membuka lembar-lembar baru di buku catatannya.

“Satu pertanyaan terakhir, Pak Yus.”

“Silakan, saya mau ke kantor polisi.”

“Seberapa dekat Anda kenal orang ini?” Adam menuliskan sebuah nama di kertas lalu mengangkatnya di depan mata Yus. Suami dari Suratmi itu mengingat-ingat kemudian mengangkat alisnya.

“Oh dia. Memang dekat dengan Winarsih. Suka ikut kalau ibu-ibu ini kumpul di salon malam-malam.”

Adam tersenyum puas. Perjuangannya tidak sia-sia. Di kepalanya, apa yang disebut sebagai keajaiban di saat-saat terakhir mulai bercahaya dari balik lubang kunci. Fakta-fakta penting selama ini tertutup di balik tabir yang menyilaukan karena ia menaruh sudut pandang yang nyaris keliru. Dengan senyum simpatik ia lalu bangkit dari kursinya dan pamit kepada tuan rumah yang tergesa-gesa itu.

Tinggal satu tempat lagi, pikir Adam. Kemudian semua situasi ini akan berbalik menjadi kebenaran yang tak terbantahkan.

(Selanjutnya …)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline