Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kematian Ganda (2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13425301611058878093

Winarsih ditemukan meninggal. Hanya tujuh belas hari setelah kematian kekasihnya. (Sebelumnya ....)

Adam tiba dengan sepeda motornya di tempat yang dimaksud. Salon EVILIA lebih mirip rumah tinggal daripada toko jasa tata rambut. Meski catnya warna merah muda, bentuk jendela dan penataan bunga di taman jelas sekali menunjukkan penggunanya mengerti soal tata rumah. Garis polisi melintang di sekeliling pagar depannya hingga berakhir di setangkai pohon.

Tak ada lagi ambulan di situ. Hanya satu mobil kotak berwarna oranye bertuliskan INAFIS, badan identifikasi dan forensik kepolisian daerah. Dua mobil lainnya adalah mobil pelat hitam. Adam melambai kepada seorang kapten yang nampak sedang asyik bermain dengan telepon genggamnya. Hanya lambaian tangan kemudian berjalan lambat sembari memperhatikan sekeliling. Ada setidaknya dua puluh orang berkumpul di luar garis polisi membuat Adam merasa yakin kasus ini benar-benar menggemparkan.

“Kasus pembunuhan selalu mengundang perhatian orang-orang ya.”

Adam menoleh ke sumber suara itu. Ternyata sang kapten telah berpindah dari balik setir kemudi mobil tadi.

“Anda Adam Yafrizal betul?”

Adam mengangguk ramah. “Ya. Apa kabar?” Mereka bersalaman singkat dan salah satunya memilih menyimak.

“Herman Lukito. AKBP. Baik.”

Mereka saling senyum meski langsung melempar muka. Kapten itu langsung tertarik untuk mengobrol dengan pendatang yang baru pertama kali dihadapinya.

“Tapi kasus seperti ini selalu membuat kami para polisi bersemangat lagi. Apapun keadaan mental yang berada di dalam seragam ini, sementara harus disingkirkan demi fakta.”

“Ya.” Adam mengiyakan singkat.

“Saya dengar banyak tentang Anda.”

Adam berusaha merendah. “Anda tentu berlangganan surat kabar harian.”

Kapten itu terkekeh seperti merendahkan. “Ya tentu saja! Anda muncul di banyak kolom hampir setiap minggu. Kalau tidak salah, kemarin juga salah satu stasiun televisi berusaha mewawancarai Anda ya?”

Adam menggeleng. “Benar, tapi saya tolak.”

Kapten itu sepertinya mengerti dan tidak menanyakan alasan lebih lanjut. “Saya yakin tidak semua pekerjaan profesional dalam bidang ini yang bisa diungkapkan kepada publik.”

“Benar. Sebaliknya juga demikian. Fakta sekecil apapun harus disampaikan.”

Kapten itu tertahan dengan matanya menatap Adam. Mulutnya tak mengatup  hingga akhirnya terdengar satu sapaan lagi mendekat.

“Kau sudah di sini rupanya,” kata Eno yang datang dengan sebundel kertas yang ia gulung di bagian tengahnya. Kapten itu bingung kemudian meminta Eno menjelaskan situasi dan hasil penyelidikan sementaranya.

“Oh, Pak Lukito. Omong-omong ini …” Eno berusaha mengenalkan.

“Kami sudah berkenalan,” sela Adam dengan mengangkat tangannya. Lukito mengangguk dan meminta bawahannya itu untuk langsung menjelaskan.

“Baiklah. Tim forensik masih di dalam. Tapi menurut hasil sementara mereka, korban meninggal antara pukul sepuluh hingga dua belas tadi malam. Dugaan sementara memang pembunuhan. Penyebab kematian adalah cekikan di leher.”

“Ada luka lain?” Adam bersemangat langsung menyerang dengan pertanyaan. Lukito menampakkan raut muka tidak suka dengan sergapan itu.

“Luka terbuka kecil di pelipis kanan bagian depan. Percikan darahnya juga ditemukan di lantai.”

Adam menggosok dagunya. “Terbentur ke lantai setelah dicekik …”

“Kemungkinan begitu. Noda darah juga ada di beberapa lembar kartu remi yang berserakan di dekat korban.”

“Kartu remi?”

“Ya.”

“Sebentar. Sebentar, Eno,” kali ini Lukito dengan cermat langsung membetulkan kronologi penemuan mayat. “Kartu yang terselip di jari korban sudah dibawa?”

Adam yang lantas bingung kemudian bertanya. “Kartu terselip di jari korban? Bisakah kita menjelaskan ini di dalam saja? Kita berdiri hanya beberapa meter dari TKP dan kemungkinan lebih banyak tebakan daripada paparan berdasarkan fakta.”

Eno melirik kepada kapten Lukito yang melipat bibirnya seperti berpikir serius. “Baiklah. Untungnya Anda sering membantu kepolisian, Pak Adam. Mari silakan. Tapi jangan lama-lama. Kita tidak ingin mengganggu kerja tim forensik.”

Adam melirik kepada Eno yang kemudian mengangkat kedua pundaknya. Persoalan emosional pada diri seorang polisi terkadang nampak lebih tidak jelas daripada misteri kasus yang dihadapinya.

Mereka tiba di sebuah ruang salon yang biasa saja. Ada dua cermin dengan dua kursi pelanggan. Sebuah mesin perawatan rambut berbentuk kubah kaca berdiri di sudut dalam. Sementara satu-satunya meja yang ada hanyalah di dekat tiga kursi plastik mirip ruang tunggu pasien. Setoples makanan ringan tergeletak di atasnya, beberapa permen mint, dan asbak kaca berbentuk bulat yang masih mengkilap.

Ada juga seperangkat elektronik terdiri dari televisi empat belas inci, bersanding dengan pemutar DVD dan beberapa tumpuk piringan di rak bawahnya. Susunan itu berdiri berdampingan dengan sebuah meja cuci rambut dekat dengan lubang pintu tanpa gordin yang langsung berhubungan dengan ruang kecil untuk istirahat di belakang, kamar kecil di pojok, dan sebilik dapur mini.

Adam menyapu seluruh bagian itu dengan pandangannya yang nyaris tak berkedip. Saat tangannya menyentuh beberapa bagian, seorang anggota forensik menegurnya dengan keras seakan-akan ia adalah orang awam yang baru pertama kali melihat tempat kejadian. Eno yang ikut membantu identifikasi sibuk merapikan beberapa pion bertuliskan angka, menaruhnya di lantai di sekeliling garis kapur yang berbentuk tubuh manusia. Tergeletak dengan lutut tertekuk hingga menyilangi tungkai sebelahnya. Kedua tangan bengkok ke atas dan ke bawah di dua sisinya seperti wayang yang sedang dimainkan. Di bagian kepala, garis kapur putus dan tersambung lagi di bagian pundak yang nyaris merapat dengan tembok terjauh dari cermin. Di bagian kepala itulah berserakan hampir sekotak kartu remi. Posisinya acak saja dengan sebagian menelungkup dan sebagian menunjukkan butir-butir dan angkanya.

“Sepertinya sedang ada permainan seru tadi malam,” komentar Adam ketika menunduk dan mendekatkan kepalanya ke kartu-kartu itu.

“Ya, tentu saja!” Herman Lukito mengiyakan dengan tegas. “Ada beberapa lembar uang yang terselip di antara kartu itu, juga koin yang menggelinding sampai ke bawah kursi perawatan rambut.” Kapten itu akhirnya ikut berjongkok dan memeriksa bagian bawah meja. “Saya sudah menemukannya tadi pagi, Pak Adam. Tidak ada yang ketinggalan.”

Adam mengangguk puas atas jawaban itu. “Saya yakin tim Anda punya kemampuan khusus untuk ini.”

“Tidak diragukan lagi,” seloroh Herman. Sejurus kemudian Adam bangkit kemudian membiarkan kapten dan tim forensiknya menyapu ruangan itu.

“Jenasah dibawa ke mana?” tanya Adam kepada Eno.

“Sardjito.” Jawaban itu merujuk ke nama salah satu rumah sakit umum pembantu di kawasan Bulaksumur. Adam lantas berterima kasih dan meminta izin kepada Herman untuk melakukan pemeriksaan jenasah. “Anda tidak keberatan, Pak Lukito?”

Kapten itu bangkit dan mengangkat telapak tangannya. “Tentu tidak, Anda detektif berpengalaman. Tapi tetap saya harus menemani Anda ke sana. Prosedur tetaplah prosedur. Kami ingin melindungi proses penyelidikan kepolisian.”

Adam paham akan hal itu.

Saat melangkah keluar dari TKP itu, Eno sempat terkejut karena dikagetkan oleh tepukan Adam di pundaknya. “Ada apa?” tanya Adam. Tapi Eno menggeleng dan mengatakan bahwa itu bukanlah hal penting.

Di tengah kerumunan warga yang berdiri dengan rasa penasarannya di luar garis polisi, terdapat beberapa perempuan paruh baya yang tertawa, beberapa di antaranya diam saja dengan mengepalkan tangan. Mata mereka semua seakan-akan ingin tahu setiap inci perkembangan kasus pembunuhan ini.

“Eno, aku ingin menanyakan sesuatu.”

“Ya,” jawab Eno saat mereka sudah berjalan ke tempat beberapa mobil diparkir.

“Kartu yang terselip di tangan korban itu, angkanya berapa?”

“Angka?”

“Ya. Bunganya. Tiga sekop atau …”

“Oh, Tujuh hati. Kenapa? Apa itu ada hubungannya dengan pelaku?”

“Bisa jadi begitu.”

“Pesan kematian?” Eno tergelak dan tersadar dengan pikirannya sendiri.

Adam mengangguk tapi raut wajahnya belum menunjukkan keyakinan.

“Tujuh hati ya. Merah. Tujuh hati yang merah …” Adam bergumam kepada dirinya sendiri. “Para saksi kita?”

“Dua orang di pos ronda. Sedang diwawancarai. Seorang lagi sedang ke pasar. Sudah dihubungi.”

“Saksinya hanya tiga?”

“Ya. Saksi kunci. Warga tidak mendengar banyak keributan berarti tadi malam di rentang waktu perkiraan kejadian. Tidak ada ronda tadi malam karena sebagian warga mempersiapkan acara ulang tahun kabupaten. Mereka bertiga ini yang paling kenal korban dan keadaan TKP.”

Mereka sudah melewati pos ronda yang dimaksud. Sesaat kemudian sudah berada di samping mobil sedan milik Eno. Adam sempat menegur mobil yang nampak berbeda itu. “Altis terlalu mentereng. Aku minta ayah membelinya dan uangnya untuk beli ini.”

Adam menggeleng dengan pengakuan yang salut. “Tak kusangka. Seorang polisi manja akhirnya mengerti selera paling masuk akal untuk urusan kendaraan.”

Eno melirik dengan pandangan kurang nyaman, kemudian tersenyum dan menggeleng.

Adam melihat Kapten Lukito memesan sebotol air minum kemasan dan langsung meneguknya hingga setengah. “Kapten itu bersemangat sekali,” komentar Adam ketika sudah berada di dalam mobil.

“Ya. Seminggu lagi ia dipromosikan jadi perwira tinggi dan pindah ke mapolda. Ada beberapa kasus yang ia hadapi dan berakhir baik. Ia orang yang bersemangat.”

Adam mengangguk beberapa kali.

“Jadi?”

“Jadi apa?” tanya Adam atas pertanyaan mendadak rekannya itu.

“Kasus mana yang mau kau pecahkan duluan? Kematian Winarsih, atau kekasihnya yang sudah dua minggu lalu?”

Adam terdiam. Ia terdiam dan menyadari kebodohannya sejenak itu. Lupa bahwa ada kasus kematian sebelum ini. Kasus dengan wujud serupa yang bisa jadi kunci pembuka semua teka-teki ini.

“Siapa nama kekasihnya?”

“Agus Hilmani.”

Terdiam sejenak. Melalui jendela kaca memerhatikan orang-orang sekitar mulai berkerumun dan tambah ramai, Adam belum mendapatkan apa yang dicarinya.

Adam lalu berbisik sendiir mengulang nama itu. “Entahlah Eno. Kita belum menyelidiki apapun. Ayo bergerak. Firasatku mengatakan bahwa kita akan menghadapi banyak kejutan untuk kasus ini. Winarsih bisa jadi mati karena sebuah rencana. Dan kita harus mulai dari kasus yang punya petunjuk lebih banyak. Ke rumah sakit.”

(Selanjutanya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline