Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Misteri Sepotong Roti (10-habis)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338826395796289860

Reza mengenali satu sepatu yang dikenakan orang itu. Kontan saja orang itu menghardik.

Tapi, mengapa Adam malah tersenyum?

(Sebelumnya ....)

“Kurang ajar!”

Idham menghardik sambil bangkit dari kursinya karena merasa tertuduh. Kakinya diseret ke belakang menyembunyikan kilau sepatu kulit bergaya sportifnya. “Tahu apa anak kecil soal sepatu? Bisa kutuntut kau!”

Adam yang melihat insiden kecil itu tak bergerak sedikitpun. Menunggu, hingga pada akhirnya Idham bisa mengendalikan emosinya dan kembali duduk. Di sampingnya Dini sudah mencibir dan menggeleng, sementara Mukhlis hanya terpekur.

“Saya belum menuduh siapa-siapa, Pak Idham. Saya kira Anda cukup cerdas untuk memahami persoalan ini, sekarang semua orang jadi sangat oportunis ya.” Adam berdeham setelah mengucapkan kata yang terakhir. Di sudut ruangan Eno tersenyum.

“Memang benar, sepatu seperti itulah yang dilihat Reza kemarin sebelum menemukan mayat korban. Dan saya yakin sepatu yang dilihatnya adalah sepatu sama yang jadi milik Anda sekarang?”

“Apa maksud Anda, Pak Adam? Anda menuduh saya sebagai pembunuh Ratna begitu?”

Adam tertawa. “Anda ini terlalu cepat menyimpulkan. Hanya anak kecil yang bisa seperti itu, bukan orang dewasa seperti kita. Tidak tidak.” Idham dibuat bingung, begitu pula semua orang yang diundang itu.

“Reza mengaku ada pengendara sepeda motor yang menghardiknya di gang siang saat pulang sekolah. Beberapa menit kemudian ia menemukan korban. Dalam perjalanan pulang itu, anak ini sempat berpikir dan menimbang, Reza, kau waktu itu sedang mengingat-ingat sesuatu kan?”

Reza mengangguk. “Iya, suaranya seperti pernah saya dengar,” katanya.

“Tapi apakah suara yang waktu itu kau dengar sama dengan suara Pak Idham ini ketika membentakmu barusan?”

Reza berpikir. Bola matanya bergerak-gerak ke atas, kemudian menggeleng.

“Nah, Pak Idham. Kalau begitu Anda bisa tenangkan diri sekarang.”

Direktur personalia itu kembali bersandar di sofa. Tangannya menyeka kening dengan sapu tangan yang sudah basah.

“Keterkejutan berat bisa mengganggu fungsi ingatan seseorang, sama parahnya jika terjadi benturan fisik yang sifatnya traumatis. Saya akan coba runutkan kembali perkara ini agar harapan kita, Reza, bisa jadi orang yang paling yakin siapakah yang sebenarnya membunuh kakaknya.”

Adam menunjuk dan mengedarkan pandangan.

“Gagal mendapatkan yang dicarinya di kamar korban, pelaku kita mencoba melakukan pendekatan kembali dengan rumah itu. Tapi karena terhalang gesitnya kepolisian melakukan penyelidikan dan penjagaan,” sampai di situ kalimat Adam membuat Kapten Hilmi mengangguk bangga. “… beberapa kali pelaku mengurungkan aksinya. Sampai, pada sebuah kesempatan yang baik, ia masuk lagi ke rumah itu. Tadi siang.”

Semua orang kembali gusar. Dini dan Mukhlis saling pandang dan salah satu dari mereka nyaris bangkit dari kursi. Sementara Idham lebih banyak tenang daripada marah. Sementara Reza kembali berusaha dengan ingatan jangka pendeknya.

“Pelaku kita, dimudahkan oleh situasi hari ini. Ketika polisi sudah meninggalkan TKP, dan ketika orang-orang mulai membawa adik korban ke rumah teraman. Orang yang satu-satunya memiliki akses legal untuk masuk ke rumah yang dalam pengawasan polisi.”

Adam merendahkan pandangannya.

“Pak Mukhlis, Anda pelakunya.”

Kapten Hilmi melonjak dari kursinya seketika, sementara Idham menatap tajam seperti tersengat lebah. Ketua RT itu tertunduk.

“Ya, Andalah yang membunuh Ratna Siregar.”

Tanpa dinyana anak itu melompat dan kemudian mendaratkan tinjunya ke pipi kiri orang tua berpeci itu. Meronta-ronta karena langsung dihalau Adam, Reza berteriak sambil mengeluarkan air mata yang pecah. Emosinya membuncah. Ingatannya kembali. “Aku ingat suara Pak RT!”

Dua orang polisi langsung mendekat ke sisi tersangka itu. Mukhlis hanya mendongak tanpa kata. Tak ada pembelaan, hanya penyesalan yang mengalir perlahan melalui dua lubang hidungnya yang masih berasap. Bibirnya terlipat.

Setelah menitipkan Reza kepada Eno, Adam kembali berdiri di tepi meja sembari melanjutkan hipotesanya.

“Pak Mukhlis. Anda membunuh korban antar pukul 11 dan pukul 12 siang itu. Kunjungan yang biasa saja, saya kira pada awalnya. Tapi bukti-bukti di TKP menjelaskan bahwa itu adalah kunjungan terencana, dan kemungkinan besar, atas undangan korban sendiri.”

Kapten Hilmi mengernyitkan dahi. “Undangan? Maksudnya …”

“Ya. Ratna sendiri yang memanggil Pak RT ke rumahnya. Sejak awal Anda sudah berniat membunuh korban. Karena itulah Anda terlebih dahulu ke kantor Pak Idham yang Anda kenal dari proyek-proyek kampung dan karena seringnya pejabat CAKRA ini ke Karang Rejo dan meminta izin melalui Anda setiap kali ingin bertemu dengan Ratna. Kedekatan dengan Idham Anda manfaatkan untuk menjadikannya kambing hitam. Cara yang tidak menghargai pertemanan.”

Idham menatap keheranan.

“Anda sudah  beberapa kali berkunjung ke kantor CAKRA dan bertemu Idham, kan? Keterangan itu saya dapatkan dari petugas keamanan dan karyawan bagian kantor depan perusahaan itu. Eno, bisakah telepon sekarang?”

Eno mengangguk kemudian dalam beberapa menit terdengarlah konfirmasi dari petugas satpam yang berbicara begitu percaya dirinya bahwa Mukhlis yang berpeci dan kumis tipis itu sering datang ke CAKRA.

“Dalam sebuah kunjungan, beberapa jam sebelum kami ke sana kemarin, entah bagaimana Anda berhasil membawa sepasang sepatu yang diambil dari lemari pendek di belakang kursi di ruangan itu. Saya perhatikan ada yang tidak beres ketika ternyata Idham adalah orang yang rapi dengan meletakkan dua ponsel bersusun di atas meja di samping bungkus rokok, sementara pintu lemari kecilnya tidak tertutup rapat dan terselip tali sepatu berwarna coklat. Sepatu itulah yang Anda kembalikan dengan terburu-buru hari itu. Saya membayangkan bagaimana Anda mengatur supaya direktur ini meninggalkan ruangan. Masih misteri. Sepatu yang sama,  kemudian Anda pakai untuk membunuh korban, dan meninggalkan gang menggunakan motor sewaan, sebelum akhinya membentak Reza di tengah jalan.”

Idham naik pitam dan mengumpat berkali-kali. Dalam satu kalimatnya ia mengatakan, “Kau tak tahu bagaimana laki-laki bisa menyimpan cintanya begitu rapat, dasar pengecut!”

Dua polisi berhasil menahan amarah Idham dan mendudukkannya kembali ketika Adam terus melanjutkan penjelasannya.

“Di rumah, Anda ingin mendapatkan momen pas untuk membunuh. Kemudian lantaran tergesa-gesa Anda menolak ketika tuan rumah ingin mengambilkan minuman. Merasa tidak enak, akhirnya Andaa hanya mengiris satu bagian roti di meja dan memakannya, daripada membiarkan Ratna ke dapur menyiapkan makanan. Pintu sengaja ditutup bukan karena mereka hendak melakukan kegiatan yang macam-macam, melainkan berniat melakukan transaksi yang terkait rahasia penting.”

“Rahasia penting?”

“Ratna menyimpan catatan pendapatannya di luar pekerjaan resmi sebagai bagian pemasaran CAKRA. Uang rutin yang diterimanya itu kemudian ia catat dan hitung dengan saksama. Angka terakhir yang tertera di kalkulator di kamarnya adalah enam juta lima ratus ribu, yang saya yakin akan mudah ditelusuri penjumlahannya. Kaleng bekas biskuit yang terdapat di lemari korban sempat terbuka, tapi tak ada satupun perhiasan yang hilang. Dugaan kuat, uang besar miliknya itu adalah hasil suap terkait sebuah rahasia yang harus ia lindungi. Dan, pada akhirnya perkara rahasia itu juga yang membuatnya terbunuh. Pak Mukhlis, saya ingin Anda menjawab sesuatu dengan jujur, karena ini sudah termasuk pemeriksaan terekam. Apakah Anda bersedia diperiksa sidik jari?”

Ketua RT itu tak menjawab apa-apa. Pasrah.

“Kapten Hilmi, bukti utama dan satu-satunya yang kuat akan menjawab kepastian hipotesa saya ada pada dinding kaleng tempat penyimpanan Ratna. Meski perhiasan dan uang jutaan rupiah di dalamnya utuh. Itu bukan karena Pak Mukhlis tidak tertarik, tapi membawa uang dan perhiasan dalam jumlah banyak akan membuat orang-orang di rumahnya curiga. Lagipula, bukan itu yang sebetulnya Anda cari, kan Pak Mukhlis?”

Tersangka itu akhirnya mengangkat wajahnya. Bola matanya membelalak tapi tak berninar.

“Sebuah foto. Itulah yang Anda cari-cari.”

Mukhlis kini menutup matanya dengan kedua telapak tangan. Tapi di sampingnya Dini yang justru gusar dan menatap tajam ke samping.

“Tenang saja,” kata Adam. “Foto ini akan jadi bukti untuk kepolisian saja, dan tidak akan saya sebarkan ke publik. Ini adalah foto perselingkuhan Anda dengan seorang perempuan kampung, yang tak lain adalah tante korban sendiri. Ibu Dini, apakah Anda akan menyanggah bukti foto jika pasangan selingkuh Anda saja mengakui perbuatannya?”

Idham kembali berteriak. “Gila!”

“Ya. Anda berselingkuh dengan Pak Mukhlis di rumah Anda, pada hari sama ketika keponakan Anda masuk dan memergoki kalian. Diam-diam, bahkan keponakan Anda mengambil gambar dan mencetak hasilnya. Tentu saja bagian data lunaknya sudah dihapus untuk mengamankan data yang disimpan. Setelah mencetak satu lembar, korban menyimpannya di sebuah tempat yang tidak akan ditemukan orang lain. Di balik cermin. Saya menemukan kejanggalan dalam bergesernya sebuah sisir kecil ke bagian sempit antara kaca dan bingkai cerminnya. Saat itulah saya mendapatkan foto ini. Bahkan Reza pun tak pernah tahu.”

Reza melihat seperti memohon, tapi Adam tak menganggap pandangan itu benar-benar ketertarikan anak itu terhadap fakta baru lagi.

“Ratna menggunakan foto itu sebagai alat suap untuk mendapatkan uang. Sayangnya, ia tidak cukup kuat untuk melangsungkan aksinya dan berhenti setelah mendapatkan uang sejumlah saya sebutkan tadi. Merasa punya kewajiban untuk memberi makanan halal kepada adiknya, ia memutuskan mengakhiri pemerasannya dan berniat membicarakan itu kepada Anda, Pak RT. Tapi karena Anda merasa tetap belum aman sebelum foto itu dihancurkan, akhirnya terjadilah pertengkaran yang memaksa korban masuk ke kamarnya dan di sanalah Anda melakukan pembunuhan. Cukup bodoh, karena sebetulnya Anda punya kesempatan untuk menunggu paling tidak hingga korban mengeluarkan foto itu. Tapi Anda terlalu kalap. Menghilangkan nyawa seseorang karena ketakutan berlebihan. Padahal Ratna sendiri sudah berjanji akan menghentikan pemerasannya. Lalu Anda, Bu Dini. Tidak melakukan apa-apa untuk mencegah kejahatan ini. Anda bak seorang ibu bagi Ratna dan Reza, tapi Anda membairkan kejahatan atas rahasia hitam Anda dilakukan oleh seseorang dan terjadi begitu saja. Apa Anda takut  mengambil risiko?”

Perempuan itu tak menjawab.

“Saya kira tak perlu saya jelaskan lebih banyak. Selanjutnya biarlah Pak Hilmi dan jajarannya yang melakukan pembuktian sesuai prosedur. Jika ada yang ingin menyanggah penjelasan saya, silakan kemukakan sekarang.”

Adam mengatur napas ketika ruangan itu hening. Kemudian terdengar suara isak tangis. Cairan dari lubang hidung terselip di antara kulit telapak tangan dan bagian mulut orang itu.

Reza mengintip dari balik punggung Eno.

“Dia anak baik, Pak. Saya akui itu.” Menangis lagi. Mukhlis beberapa kali berusaha mengulang kata-katanya, tapi lalu menangis. “Beberapa kali ia memberi pinjaman kepada saya tanpa sepengetahuan istri ataupun Dini. Tapi masalah foto ini, saya tak bisa tidur selama hampir satu tahun. Saya takut sewaktu-waktu ia pasrah atau kesal dan lalu membuka semuanya ke istri saya. Tamatlah saya.”

Adam menyimak. Eno tak bisa berkata apa-apa. Bahkan dua polisi berpangkat briptu yang berdiri siap memapah tersangka itu hanya menggeleng. “Saya kalap. Emosi saya memuncak ketika Ratna menolak memberikan foto itu. Dan terjadilah …”

Terus terisak, sementara di sampingnya Dini seperti orang linglung karena kebodohannya sendiri.

***

Pesawat melaju makin tinggi dari landasan timur. Suara menggemuruh. Di darat, lebih banyak keheningan meski diselimuti keramaian yang acak. Di balik kaca Adam menatap sambil tersenyum. Beberapa pertanyaan masih samar di benaknya.

“Sepertinya kasus satu ini menyita pikiranmu betul-betul.”

Tersenyum.

"Awal petunjuknya dari mana kau tahu?"

"Roti itu."

"Maksudnya?"

"Potonganya aneh. Lebih rapi daripada yang pertama. Itu berarti Ratna sendirilah yang memotongnya, atau seorang tamu yang santun."

Mengangguk pelan.

“Lantas, bagaimana nasib Reza?”

“Dia ikut bersama jenazah kakaknya ke Medan. Ada keluarga yang lebih baik menjemput mereka di sana.”

“Bagaimana dengan perempuan yang namanya Dini itu?”

“Masih di kampung itu. Orang-orang tak lagi menggunjingkannya. Tapi kuyakin kehidupannya masih akan dipenuhi penyesalan atas kebodohan dan rasa abainya sendiri.”

“Kasus-kasus bunuh diri sebelumnya?”

“Dua di antaranya hanya kebetulan. Yang satunya masih diselidiki Kapten Hilmi, karena ada indikasi juga berkaitan dengan Ketua RT itu. Sayang sekali, anaknya masih setahun lebih muda daripada Reza. Dulu sering kudengar uangkapan betapa emosi bisa nyatukan orang, juga menjauhkan orang-orang dari keluarganya. Yang ini, benar-benar dalam artian sebenarnya.”

Menghela napas. Kaca berembun.

“Hm. Omong-omong, Eno jadi dipromosikan?”

“Tertunda. Sepertinya anak itu masih harus berpetualang lagi untuk lebih banyak kasus bersamaku.

“Jangan terlalu pengaruhi dia dengan hal-hal yang membahayakan karirnya.”

“Hm ….”

Di belakang riuh orang-orang mulai meredup. Para penumpang bandara Adisutjipto sibuk dengan niatnya sendiri-sendiri.

“Jadi sudah selesai ya?”

“Hampir.”

“Apa lagi yang belum?”

Kedua mata itu memandang dengan binar terima kasih.

“Aku tak bisa memahami isi hati wanita, tanpa bantuanmu.”

“Sudahlah. Kau jangan memulai lagi. Ayo kita ke Sky Dining. Aku lupa kapan terakhir kali memasak untukmu.”

Adam tersenyum atas jawaban itu. Seperti biasa. Begitulah perempuan yang paling dikenalnya. Tak suka romantisme, meski diam-diam merindukannya.

Kasus selesai, setidaknya dari sisi satu ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline