Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Gerbang ke London (1)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (panoramio.com)

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi (panoramio.com)"][/caption] *

Pagi yang tenang.

Galih bertopang dagu di depan rumahnya. Anak berteriak dan saling kejar di gang depan tak dihiraukannya. Hening dalam kekalutan. Ada rasa rindu yang lama, entah mengapa membuatnya tak bisa tidur semalaman.

Dari dalam rumah istrinya tersenyum. Menyadari rasa gelisah suaminya, ia memilih tak langsung menyapa, membiarkan belahan jiwanya itu menggelayuti pikiran indahnya sendiri yang dibumbui kebingungan kekanakan.

Di atas meja, surat putih dan beberapa berkas tergeletak. Pak Galih, Kita ke London besok, bunyi salah satu tulisan.

London.

Kota seribu mimpi. Dari cerita peri di Conningham, Three Musketeers, sampai legenda menakutkan Jack the Ripper. Kemegahan Big Ben yang kini namanya berubah jadi Elizabeth Tower ataupun heningnya keramahan sungai Thames seperti tumpah sekaligus ke dalam kepala Galih. Kota yang pernah jadi jantung peradaban Eropa. Pulau kerajaan yang pernah memasang benderanya di hampir setengah bumi. Benua biru. Begitulah besar mimpi Galih ketika kota itu terlintas di benaknya. Di beberapa mimpi bahkan ia bertemu dengan Sir Winston Churchill dan sekelompok hippi dari Sussex. Entah di renungan paginya ini.

Anak-anak kelelahan dan merebahkan badan mereka ke dada sang ayah. Adel tujuh tahun dan Li empat. Sama gemuknya, rambut mereka sama bergelombangnya. Satunya mengucek  mata, mungkin mendadak diserang kantuk. Kalau begini seperti Raja Mataram dan dua putrinya. Menyatu tanpa banyak bicara.

“Ayah, kakak, adik, makan dulu.” Suara panggil dari dalam rumah. Sang istri sudah menyiapkan hidangan enak untuk hari Kamis. Ayam bumbu merah dan ikan asin kecap. Kalau ada hari yang paling ditunggu Galih dan kedua anaknya, ya hari kamis itu. Cuma di hari kamis mereka punya uang tambahan untuk membeli lebih banyak rempah. Dua putri sudah menyantap dan tertawa, saling colek dan membuat Galih dan istrinya tertawa beberapa kali saat si adik tak jadi menangis.

“Ayah, benar mau ke London Sabtu besok?” tanya Adel si kakak.

“Benar, kak,” jawab sang ayah mengangguk sambil mengedipkan mata.

“Jangan pergi,” rengek Li si adik. “Tidak bisa main kalau tidak ada ayah,” gumamnya.

Galih menghela napas. Diletakkanya sendok dan garpu, lalu melipat kedua lengannya di atas meja. Bahkan, dalam sekian detik ia pindah ke kursi seberang, mengangkat Li dan memindahkannya ke pangkuannya. Si adik itu mendongak tapi hanya melihat sudut dagu sang ayah.

“Cuma sebentar, nak. Ayah harus menghargai pemberian orang. Nanti kakak dan adik akan ayah belikan oleh-oleh dari sana. Iya?”

Adik  kakak itu saling tatap. Tak menjawab. Galih memandang istrinya.

***

“Semuanya sudah siap ya?” tanya Niyah kepada suaminya ketika mereka bersama di dapur. Adik kakak sudah kembali berada di lapangan samping.

Atas pertanyaan itu Galih mengangguk.

“Ayah yakin mau ambil hadiah dari orang itu?”

“Hm?”

“Bukan apa-apa ayah, Cuma … aku ada perasaan kurang nyaman. Entah kenapa.”

Galih berdiri dan memeluk istrinya dari belakang. Memegang tangannya yang masih basah karena sabun cuci.

“Bunda memang yang paling mengerti ayah. Tapi yang ini, ayah harus ambil. Kesempatan yang tak mungkin datang di waktu akan datang. Berangkat ke dan pulang dari London tanpa biaya sepeserpun sudah rezeki besar buat kita.”

“Tidak bisakah perusahaan itu menemukan orang lain untuk proyek pariwisatanya?”

Galih lagi-lagi tersenyum. Dagunya merapat ke pundak sang istri. “Kalau ada orang yang punya keinginan lebih besar dari saya untuk menginjak tanah London, maka boleh saja. Tapi sekarang aku yakin belum ada. London itu … sesuatu buatku. Sama seperti Sabang buatmu.”

Niyah tak membalas lagi. Tangannya kembali bergerak mengitari tepian piring.

***

Tak bisa menutup mata. Meski rumah sudah hening dan semua pintu terkunci, Galih masih telentang di tengah ruang tamu. Dua telapak tangannya mengalas belakang kepala. Tubuhnya merapat di atas karpet seperti merasakan detak bumi yang telah ditinggalinya selama lima belas tahun.

Surat dan gambar-gambar London ia terawang menembus cahaya lampu kekuningan tepat di atas matanya. Seperti matahari kembar di atas Trafalgar Square.

Ia terkejut karena tiba-tiba ada getaran hebat di bawah punggunnya. Panggilan masuk.

“Halo?”

Hanya diam selama satu menit itu. Galih tak membalas apapun setelah sapaan pertama tadi. Tangannya lemas. Bibirnya mengkerut. Telinganya tak bisa lagi mendengarkan penjelasan dari seberang sana. Yang melintas di pendengarannya hanya beberapa kali kata “maaf” dan “lain kali”.

Lukisan yang tiba-tiba menghilang. Thames, Abbey Road, Tower Bridge, Cornwall, semua gambaran yang dilukiskannya makin berwarna sejak pagi tadi hingga detik terakhir, lesap dalam sekejap. Ia bagaikan ditinggalkan ribuan merpati yang menghilang ke tengah udara. Bahkan bayangan aroma ikan di pelabuhan Liverpool pun tak bisa ia tangkap.

Galih melangkah menyeret kakinya ke dalam kamar. Istrinya yang sedang merajut tas kecil berhenti sejenak.

“Ada apa, ayah?”

Berdiri begitu saja di depan pintu. Galih masih memegang telepon yang layarnya sudah redup. Niyah menyadari ada sesuatu yang salah. Ia menangkap rasa sedih mendalam dari sepasang mata suaminya. Turun dari ranjang dan lalu mendekat, mengambil ponsel, lantas coba mengerti.

Saat matanya kembali melihat wajah lesu sang suami, Niyah sedih.

“Mereka memilih orang lain. Lulusan doktoral,” kata Galih sambil tersenyum ringan. Bibirnya bergetar.

Niyah langsung melangkah pelan dan merapat ke dada suaminya. Galih tak kuasa menahan kesedihan, meski tubuhnya menghangat.

Batal.

***

Gaya yang sama seperti kemarin.

Di anak tangga beton dekat gang. Galih kembali bertopang dagu. Ia memilih tak masuk kerja. Lagipula pekerjaan terjemahannya sudah rampung sejak tiga hari lalu. Saat bayangannya sempat indah menjamah setiap lekuk Tanah Britania, ia merasakan remuk di tulang-tulangnya. Seperti dihempas dari pohon kacang yang menembus awan.

Siang hari ia berjalan kaki di sekitar kampung. Terus tertunduk dan sesekali hanya membalas sapaan warga yang bersimpati. Seharusnya hari ini ia sudah di Jakarta dan siap terbang ke Eropa. Anak-anak berlarian seperti mengejeknya.

Kemudian dalam menit kesekian, ia mendengar suara minta tolong yang samar.

Help!

Galih berlari, menyadari ada seseorang yang sedang berada dalam bahaya. Ketika berbelok pada gang keempat, ia mendapati seorang kakek terduduk di aspal rusak gang kecil yang sepi. Tidak ada seorangpun di sana untuk menolong. Hanya sepeda motor yang berlalu dan cuek saja. Ia lalu bergegas membantu orang tua itu berdiri, memapahnya ke tepi jalan saat kakek beruban itu terus memegangi kakinya. Bengkak.

What happened? Tanya Galih.

Mengerang, orang tua itu menjawab, “A bike, big bike, hit and run.”

Galih mengangguk kemudian terus memapah orang tua itu. Saat ia menawari korban itu untuk ke rumah sakit, ditolak.

Thank you. But my house is here nearby. Please just help me to get there. This way.”

Sebuah rumah mungil di pinggir pedukuhan itu. Bergaya Jawa dari luar tapi isinya penuh lukisan dan barang-barang Eropa. Galih mendudukkan sang tuan rumah dan kemudian mengobati sebisanya sesuai petunjuk dari orang tua itu. Hidungnya megap-megap karena beberapa aroma yang asing baginya.

“Itu aroma bunga bercampur lautan, memang tidak nyaman pada awalnya,” kata tuan rumah itu seperti mengawasi setiap pengucapan katanya.

Galih mengangguk mengerti dan langsung membalut kaki tuan itu.

“Siapa nama Anda?” tanya tuan rumah.

Galih masih berusaha paham bagaimana orang berkulit merah dengan tinggi rata-rata gaek Eropa bisa fasih berbahasa Indonesia.

“Galih Usmanto”

“Hm. Galih. Satu lagi nama Jawa yang menarik perhatian saya.”

Tuan rumah itu mencatat di selembar kertas lusuh di atas mejanya yang seperti untuk kerja.

“And you?” tanya Galih.

“Oh, sorry. Panggil saja saya Wayne. Itu nama kecil saya untuk teman-teman dekat.”

Perbincangan hangat pun terbentuk. Sejenak Galih bisa melupakan kesedihannya ketika menyimak Wayne menceritakan sejarah kedatangannya di Indonesia lima tahun lalu, sebelum terdampar di Yogyakarta karena penelusurannya terhadap wayang dan gamelan. Seorang arsitek mesin juga fisikawan amatir, sudah pensiun dan mencoba membuka laboratorium pribadi setelah merampungkan studi popularnya tentang budaya Jawa.

“Orang-orang Jawa punya karakter kuat yang tidak dimiliki orang-orang Inggris, bahkan Britania Raya sekalipun?”

“Anda berasal dari Inggris?” tanya Galih kembali antusias.

Peter mengangguk. “Saya lahir di Brighton sebelum orang tua saya bercerai dan saya akhirnya lari ke London. Di sanalah saya belajar tanpa sekolah. Menikmati Thames sambil membayangkan mekanisme aliran air yang bisa bergerak dari tempat rendah ke tempat tinggi.”

Galih semakin antusias. Ia menepuk kedua tangannya membuat Wayne terkejut. Saat tuan rumah itu memintanya menceritakan ketertarikannya itu, mereka kemudian diam untuk beberapa detik. Wayne menatap dalam-dalam ke mata Galih. Keningnya berkerut, nafasnya melambat. Setelah beberapa jenak itu, akhirnya Wayne meminta tolong lagi agar dipapah menunju halaman belakang rumah.

“Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu, Galih.”

Galih manut.

“Usiamu berapa?”

“Tiga puluh tujuh, kalau tidak salah.”

Wayne tertawa. “Bagaimana kau tidak ingat tahun lahirmu sendiri, Nak? Aku sudah enam sembilan pun masih hapal bagaimana rasa matahari pertama yang menyeka kulitku.”

Setelah melalui koridor gelap yang tak begitu panjang dan menapaki sebidang lantai kayu yang seperitnya baru saja dimodifikasi, turun tangga lalu menginjak rumput liar, barulah mereka tiba di depan sebuah pagar kayu yang melintang luas.

“Ini adalah tanah saya. Baru saja beli tahun lalu. Ada rahasia, di balik pagar ini, yang menyimpan setiap sudut penemuan belajar saya selama lebih tiga puluh tahun.”

Galih masih belum mengerti. Matahari sudah condong ke barat.

“Galih, saya tidak tahu mengapa melakukan ini, juga mengapa di saat seperti ini. Tapi sejak bertemu Anda beberapa menit lalu, saya langsung sadar bahwa Andalah orangnya.”

Galih memajukan kepalanya, heran. “Maksud Pak Wayne?”

“Mari. Ikut, dan kau akan tahu mengapa kulakukan ini.”

Wayne menuntun Galih mendekat ke sebuah gembok tua besar yang menggantung di pintu kecil pagar kayu itu. Berkarat, seperti sedang berada di kedalaman lautan, pikirnya. Saat angin berhembus, tamu itu merasakan ada  yang aneh dengan tanah kosong yang ditumbuhi rumput liar itu. Tapi pikiran itu cepat-cepat ia hilangkan. Saat Wayne menjauh sambil berjingkrak kemudian kembali lagi dengan mengayunkan kapak kecil, Galih melompat. Bunyi desingan dan patah. Gembok terbuka.

“Tutup mata.” Wayne menyeru. Dan Galih dengan polos mengikuti begitu saja. Pikirannya dilema, apakah ini tipuan kejahatan, jebakan, atau permainan gila profesor tua. Dia kadung di depan situ. Tak ada jalan lain.

Terdengar bunyi derit. Seperti pintu kayu besar yang terbuka. Galih merasakan kakinya tiba-tiba dingin. Angin sejuk menghalau hawa panas sinar matahari siang dari kedua lengannya. Ia merasa telah diraba di bagian leher begitu lembut, kemudian tiba-tiba alisnya mengkerut. Keningnya kisut. Bola matanya bergerak-gerak seperti hidungnya kedut-kedut.

“Buka sekarang.”

Saat katup cahaya menyeruak dari ruang gelap penglihatannya, jantungnya berdetak cepat. Nafasnya sontak tak beraturan. Gerahamnya menggeletuk ketika matanya terbuka sempurna. Apa yang ada di depannya kini sama sekali seperti mimpi. Badannya terbawa ke sebuah tempat yang selama ini ia ingin kunjungi.

Dalam satu menit itu, hal luar biasa terjadi.

Bunyi desiran yang ia dengar beberapa detik lalu kini bisa ia lihat dari jernih aliran Thames. Suara teriakan beberapa kali di antara sahut terompet kapal ternyata berasal dari sekawanan nelayan yang bertengkar dengan pelayan kapal pesiar di tengah sungai.

Galih mengucek matanya beberapa kali. “Ini …”

Merpati terbang berkawanan berkelok-kelok di langit. Galih merendahkan pandangannya. Saat merasakan ujung kakinya masih di tempatnya, ia melihat rumput hijau itu.

Pagi baru saja menggelayut di tanah itu.

“Aku … aku …”

Kemudian terdengar teriakan dari tengah sungai. “Oi Sir!”

Galih memanjangkan lehernya ke arah suara itu. Seorang kulit putih dengan pakaian tebal dan topi nelayan, lengkap dengan cerutu di bibirnya.

A tour of your river Thames, sir? Two shilling for Asian.”

Masih sulit percaya. Tapi ia tak salah merasakan tubuhnya. Galih, ayah dua anak itu, kini benar-benar berdiri di tepi Thames. Udara dingin menyeruak. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

Lonceng berdentang.

(Selanjutnya …)

=================

Terima kasih sudah membaca.

Cerita Gerbang ke London ini akan jadi seri baru di kanal cerita bersambung saya. Direncanakan tayang setiap Sabtu dan Minggu pagi. Genre: fantasi, fiksi ilmiah. Tolong koreksi kalau terdapat salah ketik atau alur yang tidak mengena ya. Masukan dalam bentuk apapun akan sangat berharga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline