Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Misteri Sepotong Roti (6)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338826395796289860

Tepat seperti dugaan sebelumnya. Korban menyimpan sebuah rahasia aneh.

Pengejaran kembali ke titik awal, menanti semuanya terungkap jelas meski mengejutkan.

(Sebelumnya ....)

Eno terkejut karena dadanya tiba-tiba ditepuk oleh Adam dengan punggung tangan. Ada sesuatu yang menarik perhatian rekannya itu hingga menyuruh mereka berhenti untuk berlindung di balik dinding rumah ujung gang. Saat akhirnya mengintip dari kejauhan, Eno mendapati Reza sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana.

Bukan perbincangan dua arah, jika dilihat dari sudut mereka mengamati. Anak itu masih menyimpan raut muka takutnya ketika matanya seperti tertahan di atas melihat bibir laki-laki paruh baya yang berbicara dengannya. Seperti seorang dukun yang menyampaikan mantra tanpa boleh disela sedetikpun oleh pasiennya. Eno mengeluarkan telepon genggamnya dengan menghadapkan kamera ke titik jauh itu, sementara Adam sekilas melihat sekeliling sebelum akhirnya mengangguk.

“Menurutmu apa yang dilakukan Pak Mukhlis dengan anak itu.” bisik Eno penasaran. Tapi atas pertanyaan itu Adam menggeleng dalam kesenyapan yang hanya meloloskan bunyi udara yang keluar masuk melewati bulu-bulu di lubang hidungnya.

“Belum pasti,” bisik Adam.

Setelah satu menit mereka kembali berjalan di gang. Saat berada sudah cukup dekat dengan rumah Ketua RT, sang tuan rumah nampak buru-buru pergi dengan sepeda motor sementara Reza masih duduk terpekur di kursi depan. Adam dan Eno melempar senyum kepada anak itu meski tak berbalas.

“Kau baik-baik saja, dik?” tanya Adam memastikan.

Reza mengangguk.

“Sudah makan siang?”

“Sudah.”

“Ke mana itu Pak RT?”

“Tidak tahu.”

Lalu anak itu kelihatan lemas lagi. Adam memberi isyarat kepada nyonya rumah agar anak itu diistirahatkan saja dulu, sementara ia dan Eno kembali ke jalan menuju rumah yang mereka tuju.

Tempat kejadian perkara kini sudah tidak dijaga polisi, meski garis polisi masih membentang di sekeliling pagarnya. Adam memberi isyarat agar Eno menelepon Husein, sang kepala polisi setempat. “Bilang saja ada barang yang tertinggal.”

Nampaknya terjadi perdebatan lirih antara anak buah dengan kapten itu, memaksa Adam meminta telepon yang masih tersambung itu dan berbicara sendiri. Setelah beberapa kalimat dan anggukan yang membuat Eno terheran, telepon tertutup.

“Kapolsek itu hanya gugup dan tertekan. Sepertinya ini kasus pertamanya dalam waktu yang cukup lama. Kita boleh masuk asalkan pintu ditutup kembali, katanya.”

Eno terheran-heran dengan kemampuan negosiasi Adam. Ia sendiri yang adalah petugas resmi belum pernah merayu rekannya untuk menembus TKP, apalagi atasan yang berada beberapa tingkat di atasnya. Untuk urusan satu ini, Eno merasa kemampuan verbal dan kepercayaan dirilah yang berbicara.

Saat mereka sudah berada di dalam rumah itu dan pintu tertutup, kegelapan menyergap tiba-tiba. Ruang tamu masih pada keadaannya semula seperti mereka datang pertama kali beberapa jam sebelumnya. Satu-satunya yang berbeda adalah tidak ada lagi roti di atas meja. Kini bidang papan  bertaplak itu kosong dan hanya berhadapan langsung dengan kain sarung yang menggantung di atasnya.

Adam meraba beberapa sudut meja dan sesekali melihat ke sarung dan tiang penyangga yang menahannya.

“Eno, coba naik,” seru Adam.

“Ke meja?”

“Ya. Coba naik. Berdiri. Itu pakai kursi itu.”

Eno lalu meraih kursi yang sedari tadi jatuh tergeletak di lantai. Bidang duduknya menghadap ke dinding dekat jendela sehingga hanya ujung kaki-kakinya yang berada di posisi yang persis di dekat meja. Saat polisi muda itu sudah menegakkan kursi dan siap memijaknya, justru Adam kemudian menahan rekannya itu sesaat.

“Tunggu.”

Eno tertahan. “Apa?”

Adam membungkuk dan merapatkan matanya ke kursi itu. Sejurus kemudian ia kembali bangkit dan membuka kain penutup jendela, lalu membungkuk lagi menatap kursi. “Ini apa?”

Eno yang masih belum paham lalu mendekat. Ia rapikan kacamatanya agar penglihatannya lebih stabil. Di papan duduk kursi ringan itu, terdapat tanda aneh yang tadi membuat Adam menahan langkahnya.

“Kau sudah sempat memijakkan kaki ke kursi ini?”

“Belum. Kan kau menahanku tadi.”

“Benar. Berarti ini bukan jejak sepatumu.”

Benar juga, pikir Eno. Tanda di papan kursi itu, sebuah bentuk sepatu yang tak mungkin dipakai oleh korban yang berkaki kecil. Dengan memiringkan kepala dan memerhatikan sejenak, inspektur polisi itu langsung tahu kalau tanda tersebut …

“Bukan sepatu polisi,” kata Adam tiba-tiba.

“Bagaimana mungkin?” Eno bertanya gesit karena di pikirannya sebelumnya justru tanda itu mirip sepatu polisi.

“Bukan, Eno. Aku tahu persis bentuk sol sepatu polisi. Mirip sepatu jungle dengan bidang bagian belakang lebih tebal. Itu dikhususkan karena satuan kalian akrab dengan kegiatan baris berbaris, jadi bagian belakangnya dibuat lebih tebal. Sementara kau perhatikan tanda ini,” sambil mengarahkan telunjuk ke tanda jejak dengan sisa debu di atas kursi. “Ini bagian belakangnya rata, hanya gripnya yang mirip. Bagian lengkung ini membuktikan jelas bahwa tidak dipakai polisi. Lagipula ukurannya terlalu kecil. Saya kira tinggi pemakainya tidak lebih dari 165 cm, bukan ukuran polisi.”

Masuk akal. Memang jejak yang aneh. “Tapi mengapa forensik tidak menemukannya tadi?”

Adam tersenyum dengan kalimat rekannya itu. “Pertanyaan bagus.” Ia lalu bangkit dan dengan tangan kirinya menyibakkan taplak meja yang seketika menyisakan debu dan pasir halus berhambur ke udara. Pandangan mereka lalu tertuju ke bidang meja yang kini telanjang itu. Adam meraba dengan ujung jari, kemudian tersenyum.

“Orang bodoh,” gumamnya.

Eno nampak bingung. Ia tiba-tiba ingat pengalamannya beberapa kali bahwa ada sesuatu yang hinggap di kepala investigator itu, terutama jika gaya bicaranya mulai aneh. Dengan kalimat yang pendek dan terputus-putus. Pandangannya mengarah ke bidang meja dan wajah rekannya itu bergantian. “Siapa yang bodoh?”

Lagi-lagi Adam tersenyum.

“Tersangka kita, Eno.”

Eno nampak semakin bingung. Angin apa yang tiba-tiba merasuki pikiran rekannya itu hingga mendapatkan jawaban yang seketika ada di kepalanya. Ia mengakui pada diri sendiri, bahwa metode jalan pintas dalam investigasi terkadang membantu, tapi untuk kali ini, ia benar-benar tidak tahu dari mana saja petunjuk Adam dapatkan. Mereka baru datang ke tiga tempat yang berbeda dengan pengakuan sebelumnya bahwa petunjuk sama sekali tidak ada.

“Memang sebelumnya aku buta petunjuk, Eno,” jelas Adam ketika mereka sudah berada di mobil. Eno mengangguk menahan rasa ingin tahunya.

“Masih simpan nomor telepon tetangga kita yang barusan itu? Sini.”

Adam memencet beberapa tombol di ponselnya dan mobil bergerak ke kota.

“Tapi satu petunjuk terakhir tadi akhirnya membuka tabir semuanya. Sekarang tinggal satu petunjuk terakhir yang akan meyakinkanku tentang kebenaran ini semua. Tragedi mengerikan, meski pada kenyataannya dilakukan oleh orang yang tak begitu pintar.”

“Siapa?” Eno coba memancing.

Adam menggeleng sambil tersenyum penuh misteri. Makin panas jelang sore ini dan mereka berharap semuanya selesai sebelum kegelapan kembali menyergap.

“Kita ke rumah sakit, semuanya akan lebih jelas di sana. Oh iya, ambil jalan lewat Perintis ya. Tidak perlu berhenti. Pasti ada sesuatu dengan tempat itu kali ini.”

(Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline