Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Akun Anonim, Benarkah Ada?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (3.bp.blogspot.com)

[caption id="" align="alignnone" width="580" caption="Ilustrasi (3.bp.blogspot.com)"][/caption] Anonim = tanpa nama, tidak beridentitas, awanama. Sosial: Tidak ada penandatangannya. (KBBI) Ide yang kemudian jadi pertanyaan pada judul opini adalah bahwa pada dasarnya akun anonim itu tidak ada. Lalu, akhir-akhir ini muncul selentingan di beberapa media sosial yang mempersoalkan munculnya akun-akun anonim yang mengganggu "kemaslahatan umat". Dengan menyebarkan konten yang tidak sesuai dengan keinginan publik dan tanpa mencantumkan nama yang jelas, kemudian diangkat kambing hitam kata 'anonim' untuk menggambarkan si pembawa berita yang tak jelas identitasnya aslinya tersebut. Tapi jika kita melebarkan sudut pandang logika interaksi dalam media sosial, apa bisa terjadi status "akun anonim"? Secara bahasa, akun berarti sebentuk portofolio kekayaan tertentu yang dimiliki atau ditanggung gugat oleh orang atau perusahaan. Sebuah akun mewakili sebuah identitas dan konten. Ini menjadi alat legitimasi di mata publik bahwa setiap konten harus tersemat pada orang atau instansi tertentu. Seperti nama penulis dan/atau penerbit di sampul buku, atau nama warga negara di KTP. Secara teknis, setiap media sosial memulai pendaftaran anggota dengan pengisian identitas. Dua dari beberapa baris kolom yang wajib diisi adalah nama pengguna (username) dan kata sandi (password). Berangkat dari ihwal teknis ini saja, sebetulnya, kita bisa tarik kesimpulan pertama bahwa pada dasarnya semua akun yang mencemplungkan diri dalam kolam jejaring sosial pastilah menggunakan identitas tertentu, yaitu nama pengguna. Terlepas dari apakah nama pengguna yang dimasukkan adalah nama asli ataupun nama pena, sudah terbentuk sebuah identitas media sosial yang jadi dasar pertanggungan jawab dan penggugatan atas konten yang dimuat. Ada nama, sebagai penanda tangan konten. Akun anonim benarkah tidak ada? Lalu, untuk pertanyaan satu ini kita harus melihat "jauh ke luar" dan melebarkan konteks. Microsoft, salah satu perusahaan penyedia produk teknologi informasi dunia dalam definisinya mengemukakan, sebetulnya bisa saja anonimitas dalam akun timbul, tapi dalam hal otorisasi ataupun autentikasi konten sekunder, bukan konten primer. Konten sekunder yang dimaksud Microsoft adalah berupa komentar, saran, surat pembaca, ataupun hal-hal lain yang tidak terikat dengan kriteria konten. Autentikasi anonim bertujuan untuk mempermudah pembaca konten untuk menyampaikan gagasannya kepada publik tanpa harus dihalangi oleh permintaan identitas asli. Termin anonim juga banyak digunakan dalam urusan perbankan pribadi yang sangat menjaga kerahasiaan pengguna, juga layanan pembayaran yang memungkinkan pelanggannya melakukan transaksi tanpa harus mengungkapkan identitasnya. Hal-hal yang disebutkan terakhir tentu saja bukan merupakan panduan umum yang berlaku untuk semua orang. Nama pena dan akun siluman Yang patut ditetapkan sebagai kebenaran media sosial, adalah bahwa tidak semua akun yang memakai nama pena adalah "siluman". Akun "siluman" sebagaimana didefinisikan gamblang secara umum lebih merujuk pada konten, bukan nama akun. Akun siluman pertama kali dikenali dari konten-kontennya yang dinilai melanggar ketentuan media sosial bersangkutan. Munculnya komentar-komentar perlawanan yang kemudian sangat berpotensi menimbulkan polemik yang jauh dari entitas konten kemudian meyakinkan pengguna-pengguna lain mengganggu klaim sebuah akun atas kontennya. Inilah yang sering disalahartikan sehingga pengguna-pengguna yang menggunakan nama pena ikut was-was dengan potensi dianggap "siluman" tadi. Jika penikmat konten berpijak pada aturan teknis bahwa yang sebetulnya siluman adalah konten dan bukan akunnya, maka stereotip terhadap akun-akun bernama pena bisa dihilangkan. Akun-akun yang dianggap "siluman" karena konten-konten mereka yang menyerang secara negatif kemudian bisa dipisahkan dengan sebuah sekat yang jelas-jelas dengan akun-akun yang memang bernama pena. Ini cara yang sekiranya paling mudah untuk mengidentifikasi akun-akun yang memang mengganggu kemaslahatan umat. Tidak ada larangan di media sosial manapun untuk mencantumkan nama pena. Pun, tidak ada satupun media sosial yang mengharuskan penggunanya mencantumkan nama asli. Tentunya ini didasarkan pada penilaian preferensi publik terhadap penggunaan fasilitas maya. Bahwa sebagai dinding ekspresi, media sosial bisa dibentuk sedemikian rupa untuk menyampaikan ide orisinal yang tidak kehilangan klaim sampai kapanpun. Sekiranya perdebatan soal anonimitas segera bisa dialihkan dari awalnya penggugatan akun, ke penggugatan konten. Tiap konten pasti ditanggung jawabkan ke sebuah akun. Hal ini akan lebih mudah bagi penikmat konten untuk menetapkan penilaian atas orisinalitas, penyebaran fitnah, atau hal apapun yang bisa mengganggu klaim sebuah akun. Karena sebetulnya akun anonim secara konteks bahasa, teknis, maupun sosial tak pernah tepat, kiranya penggugatan cukup disematkan atas konten dan penanggung jawabnya. Terlepas dari apakah yang bersangkutan menggunakan nama pena atau nama asli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline