“Hai, boleh duduk di sini?”
“Silakan. Itu kosong.”
“Terima kasih.”
“Hm.”
“…”
“Kau menunggu seseorang?”
“Tidak.”
“Oh. Baru saja bersama seseorang?”
“Tidak juga.”
“…”
“…”
“Di luar sini dingin.”
“Menurutku justru hangat.”
“Kok?”
“Aku memilih di luar sini. Aku pencari kehangatan.”
“Oh ya? Aku pencari keheningan.”
“…”
“…”
“…”
“Sepertinya kau tak suka banyak bicara ya.”
“…”
“Kalkuta.”
“Hm?”
“Kalkuta. Ibukota lama sebelum Delhi. Setidaknya orang-orang di zaman Tagore menganggapnya begitu. Kembali ke keramaian udara yang makin panas. Anehnya, mereka-mereka mengaku justru cari ketenangan.”
“Seperti Jakarta.”
“Ya. Kurang lebih.”
“Berarti kau memilih duduk di sini, mencari keheningan kau bilang?”
“Betul.”
“Dengan memilih persis di sampingku padahal ada empat bangku kosong di sana?”
“Itu …”
“Aku sangsi kau mencari keheningan.”
“Aku mencari … Maaf, siapa namamu?”
“Tidak penting.”
“…”
“…”
“Keheningan tak berarti senyap. Dan namaku Airin. Terima kasih sudah menemani.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H