Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Misteri Sepotong Roti (3)

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tak banyak yang ditemukan di sekitar tempat kejadian.

Kapten Hilmi mengorek informasi, tapi Adam ingin lebih banyak lagi.

(Sebelumnya ....)

Reza ternyata ditempatkan di rumah Pak RT, Mukhlis namanya. Laki-laki paruh baya berpenampilan selayaknya ketua rukun tetangga yang santun, ngemong, dan suka menerima tamu. Rambutnya cukup tebal disisir ke samping dan masih mengkilap. Meski sikapnya empat puluhan, tak sehelaipun tampak uban di sisi kepalanya. Tuan rumah itu menyilakan kedua tamu Yogyakartanya duduk di atas kursi bambu berikat rotan. “Jadi ini Reza,” komentar Adam ketika mereka baru saja merapatkan badan ke kursi. Yang dikomentari, anak SMP itu, tertunduk sambil memegang kedua tangannya yang masih gemetar. Eno berusaha menenangkan tetapi oleh anak itu tangannya ditepis sebelum menyentuh pundak. “Reza.” Adam melempar senyum. Anak itu masih bergeming. “Dik. Kenalkan nama saya Adam. Dan ini rekan saya Eno. Meski seragamnya polisi, ia tidak akan menangkapmu. Begitupun saya. Kami mengerti duka kehilangan seorang kakak yang dicintai. Pasti tidak mudah. Ratna sudah berbuat banyak untuk menghidupimu.” Adam menunggu beberapa detik sebelum melanjutkan. “Kami di sini punya tugas untuk mengungkap penyebab kematian kakakmu. Dan untuk itu kami merasa wajib pula untuk mendengarkan apapun keterangan dari Reza, yang akan sangat bermanfaat bagi penyelidikan.” Anak itu masih terdiam. Hanya pandangannya yang diangkat dan menyorot tajam ke arah mata Adam. Senyum masih tak berbalas. Anak itu tertunduk lagi. Kesedihan masih menyelimuti pikirannya. “Aku bukan polisi, Dik. Dan aku wajib menyimpan rahasia apapun dari penuturanmu nanti. Kami mengerti polisi sudah mewawancaraimu untuk keperluan penyelidikan. Tapi jujur …” Adam mencondongkan badannya ke depan dan merendahkan nada suaranya. “Aku tidak begitu percaya pada polisi. Mereka kerjanya lamban ….” Anak itu mengangkat wajah pada akhirnya. Terpancar harapan yang ditunggu-tunggu. Peluang baik bagi Adan untuk meneruskan bujukan agar anak itu mau bercerita. “Tugasku hanya mencari informasi yang tidak diperoleh polisi. Informasi penting yang bisa membuat penyelidikan kasus ini lebih cepat selesai, dan semua keluarga yang ditinggalkan bisa cepat lega. Semakin cepat kebenaran terungkap, semakin baik bagi keluarga, dan juga kami. Bagaimana?” Reza mengedarkan tatapannya bergantian ke arah Adam, Pak RT, juga Eno yang berdiri di dekat pintu sambil menikmati teh esnya. “Bisa kita mulai, Reza?” Anak itu mengangguk pada akhirnya. Adam berterima kasih kemudian dengan singkat memberi isyarat agar Pak RT dan Eno menjauh sejenak. Kedua orang itu akhirnya memilih teras depan rumah dan berbincang-bincang sendiri. “Sekarang, tinggal kita berdua,” kata Adam memulai wawancara. Ruang tamu itu dibiarkan agak gelap. Tak ada kerai jendela yang dibuka. “Reza. Benar kau yang menemukan pertama kali Ratna, kakakmu, di ruang tamu kemarin siang?” “Benar, Mas.” Nada suara anak itu tetap rendah, namun kata-katanya jelas. “Boleh tahu sekitar pukul berapa kau masuk ke rumah waktu itu?” Reza melihat ke arah kanan atas sejenak, lalu ke arah lantai di dekat kakinya, sebelum menjawab, “Dua belas lewat sepuluh menit, kayaknya. Akan ada acara sore jadi sekolah bubar lebih awal.” Adam mulai mencatat di buku kecilnya. Kepalanya mengangguk perlahan. “Apa benar, posisi kakak waktu itu menggantung di atas meja?” “Ya. Kakinya ….” “Kenapa kakinya?” “Menggantung, badannya berayun-ayun di udara. Aku lihat muka kak Ratna sudah aneh, lidahnya menjulur keluar, matanya tertutup, kedua tangannya lemas di samping ….” Adam menunjukkan wajah simpati. Bukan kesedihan yang mudah bagi seorang adik. “Ada keanehan lain yang Reza lihat. Misalnya, jendela terbuka atau benda bergeser dari tempatnya?” Anak itu mengingat-ingat lagi. Tangannya masih saling mengepal. “Tidak ada. Yang aneh hanya gembok pagar yang sudah terbuka, pintu yang tidak terkunci, juga kursi yang jatuh di dekat meja.” Adam mengangguk, kali ini lebih mantap. Catatannya terus bertambah seiring anak itu menceritakan lebih banyak. Wawancara dibuat sesantai mungkin membuat Adam harus menanyakan beberapa hal yang sebetulnya tidak berkaitan dengan kasus ini. “Kakakmu menyeterika seragamnya setiap minggu?” “Ya. Tiga hari sekali. Seragam yang dipakai waktu meninggal juga ia setrika pagi harinya, Mas. Kak Ratna orangnya rapi, tidak mau ada yang salah barang sedikitpun.” “Saya kira juga begitu. Apa benar Kak Ratna yang makan roti di atas meja itu kemarin pagi?” “Bukan, Mas. Saya yang makan roti itu. Cuma gigit sekali, habis itu saya sisakan karena buru-buru berangkat ke sekolah.” “Ke sekolah, Kak Ratna yang antar?” “Iya, Mas. Setiap hari diantar.” “Reza pernah masuk kamar Kak Ratna?” “Pernah, Mas. Tapi jarang.” “Setahu Reza, Kak Ratna punya tabungan tidak?” “Kayaknya punya, Mas. Hasil gajinya dari EO lumayan setiap bulannya, pengeluaran kami tidak banyak. Kadang aku minta untuk beli buku LKS yang tiba-tiba diwajibkan guru, yang harganya agak mahal. Kami juga jarang belanja.” “Reza juga punya tabungan?” Anak itu mengangguk. “Kak Ratna tidak pernah kurang kalau memberiku uang. Lebih dari cukup. Itu juga kenapa aku jarang minta. Dia sudah kasih sebelum aku minta. Setelah beli untuk keperluan sekolah, selebihnya aku tabung.” “Sepengetahuan Reza, Kak Ratna punya pekerjaan lain. Selain staf EO?” Lagi-lagi Reza mencoba menangkap memorinya. “Tidak ada,” jawabnya. Adam menggaris bawahi beberapa bagian dari buku catatannya. Beberapa bagian yang membuatnya cukup senang dengan wawancara itu. “Baiklah. Pertanyaan terakhir,” katanya sembari menegakkan posisi duduknya. “Reza punya kalkulator tidak? Yang bentuknya …. Kira-kira seperti ini?” Anak itu menatap tajam ke arah gambar sketsa yang diperlihatkan oleh Adam. Kemudian memberikan jawaban yang, pada akhirnya, menutup wawancara singkat itu dengan perasaan optimis bagi Adam. Mereka kemudian bangkit dan Adam menepuk pundak anak itu dengan mantap. Semoga Reza bisa mendapatkan semangatnya lagi. Mereka kembali berkumpul di ruang tamu rumah Pak RT dan menikmati suguhan selama beberapa menit. Adam mengangguk kepada Eno ketika mereka sejenak melepaskan keseriusan tugas untuk membalas keramahan tuan rumah. Mereka memang belum sempat sarapan, jadi suguhan nasi bungkus kecil dan segelas teh hangat cukup bisa menghibur mereka. Reza belum bisa makan. Ia langsung ke ke kamar yang disediakan untuknya. “Pak RT,” Adam kembali membuka perbincangan ketika ia baru saja menyelesaikan makannya. Eno masih mengunyah gorengan dan Pak RT baru saja mau membakar ujung rokoknya. “Ya, Pak Adam?” “Pak RT ada pekerjaan?” “Maksudnya, Pak? Saya kan ketua RT di sini?” “Iya. Maksud saya, ada pekerjaan lain?” “Oh. Tidak, Pak Adam. Seperti yang Pak Adam lihat. Hanya warung kelontong kecil-kecilan ini yang saya kelola. Istri saya kadang menjual nasi dan es, ini menjelang Ramadan. Tambahannya paling-paling cuma itu. Jadi RT banyak tugasnya, Pak. Kami tidak bisa kemana-mana terlalu jauh. Selalu saja ada kejadian seperti ini di kampung sini.” Kalimat barusan menarik perhatian Adam. Ia mengerutkan dahi dan bermaksud mengejar keterangan yang lebih banyak. “Maksudnya. Kasus bunuh diri Ratna ini bukan pertama kali terjadi di sini?” “Ya. Sebelum-sebelum ini pernah ada tiga kasus bunuh diri. Semuanya perempuan, rata-rata masih muda. Sebelumnya di kampung sebelah juga ada, satu orang.” Adam kembali merogoh buku catatannya, membukanya dan menyiagakan alat tulis di tangan kanan yang masih lembab. “Yang bunuh diri ini, rata-rata umurnya berapa?” Mukhlis sepertinya sangat cermat dalam menyimpan informasi. Sebagai ketua RT, ia punya ingatan yang cukup baik. “Korban pertama namanya Jumi, ibu rumah tangga biasa. Umurnya tiga puluh. Meninggalkan suami dan seorang anak tujuh tahun,” kalimatnya pelan tapi cukup teratur. Tangannya seperti saling menopang jari menghitung dan mengingat. “Yang kedua itu … namanya Haryati, masih muda, kerja jaga toko di pasar. Umurnya di bawah dua puluh, yang jelas. Lalu yang ketiga, sebelum Mbak Ratna, kejadiannya sekitar November tahun lalu. Namanya Susi, gantung diri juga. Susi ibu rumah tangga biasa, nampaknya paling miskin di antara semuanya. Umurnya waktu meninggal kira-kira empat puluh satu tahun.” Adam menggosok dagunya sementara Eno memilih menghabiskan minuman hangatnya. Informasi yang mengejutkan, meski cukup berat dan berisi hal-hal besar, Adam merasa aneh karena semuanya terjadi di satu kampung ini. “Semuanya mati gantung diri?” “Dua gantung diri. Satunya ditengarai menenggak racun serangga. Bu Sumi ini.” Eno ikut menyimak dengan serius. “Semuanya masih muda. Yang paling tua umurnya empat puluh satu. Dan Ratna sendiri, dua lima. Pak RT, Maaf,” tanya Adam lagi lebih bersemangat. “Perusahaan tempat kerja almarhumah, letaknya di kampung ini juga?” “Oh, Bukan. Di kampung sebelah. Di Jalan Perintis persis depan masjid. Sekitar lima kilo dari sini.” Adam mencatat lagi. “Pak RT, maaf. Boleh saya tahu di mana rumah ketiga perempuan yang meninggal bunuh diri ini?” Ketua RT itu melipat bibirnya sambil menimbang-nimbang. Namun setelah beberapa saat, akhirnya informasi itu diberikan juga. Kedua tamu itu meninggalkan rumah RT sekitar pukul sebelas, saat matahari sedang panas-panasnya. Dua puluh tiga jam pasca-kematian korban. “Eno, apa kita ada kesempatan untuk memeriksa jasad korban?” “Maksudmu?” “Kau tahu, kamar forensik?” “Itu … biar aku tanyakan ke Pak Hilmi.” “Coba telepon sekarang. Bilang saja aku yang minta, sepertinya kapten itu ingin cepat dikenal juga. Bilang saja kita ada informasi baru terkait kasus ini yang ia belum tahu. Ia pasti kasih izin.” Sambil terus berjalan, Eno mengangkat teleponnya dan berusaha menghubungi seseorang. Sementara Adam masih membuka-buka catatannya dan kembali menggarisbawahi beberapa hal penting. “Jadi ada tiga kasus bunuh diri sebelum ini,” gumamnya. Saat mereka sudah di dalam mobil dan menutup pintu, Adam masih serius dengan catatannya. Eno memecah kebuntuan dengan bertanya arah penyelidikan mereka selanjutnya. “Jadi, kita ke rumah korban-korban sebelumnya ini?” “Jangan. Kita ke Jalan Perintis.” Penyelidikan menghasilkan perkembangan berarti, tapi situasinya menjadi semakin rumit. Adam masih mengolah informasi, sebelum menerima informasi yang lebih penting lagi. Mobil Altis itu membelah gang dan mengarah langsung ke jalan yang lebih lebar. Sedan premium yang dikendarai seorang berseragam itu membuat beberapa petugas minder di pos jaganya. (Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline