Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Misteri Sepotong Roti (1)

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338047338260812320

1 Juli

KERIUHAN pagi adalah hal biasa di Dusun Karang Rejo. Selain bunyi kendaraan bermotor yang keluar masuk gang dan berliku menghindari lubang di jalan, selebihnya suara berkisar antara sorak sorai ayam yang bertengkar di sela-sela tawa canda ibu-ibu rumah tangga yang berbaris di pinggir jalan. Anak-anak mereka siap berangkat ke sekolah.

Rumah di barisan keempat itu biasa saja. Catnya lama tidak dipoles ulang, membuatnya dindingnya kelihatan seperti gading pucat yang memang retak di sana-sini. Atapnya genteng merah yang kini berubah coklat. Pagarnya pendek dan halamannya hanya cukup untuk memarkir satu sepeda motor. Di pintu gerbangnya yang dibuat dari bambu menggantung sebuah pantat kaleng bekas botol minuman. Setiap malam dua ratus rupiah dimasukkan ke situ oleh tuan rumah, dan pagi hari berikutnya biasanya telah lesap. Entah jadi kopi atau gorengan bagi para peronda malam sebelumnya.

Perempuan berusia sekitar dua puluhan mengunci pintu dari luar, sedangkan di atas motor sudah duduk seorang laki-laki yang jauh lebih muda bermuka manyun dan bersilang dada. Sang kakak mengomel karena melalui lubang pintu ia melihat roti yang dilapisi selai coklat kacang masih utuh di atas meja di dekat jendela. Malu diomeli, dengan langkah berat akhirnya laki-laki muda di atas motor, sang adik itu, menyeret kakinya kembali ke rumah dan menggigit roti itu satu kali, meneguk teh hangat juga satu kali, kemudian keluar. Pintu dikunci dan mereka berdua berangkat saat matahari mulai mengintip dari balik atap rumah tetangga. Bersatu dengan bangunnya kota dari tidur.

Memasuki bulan Juli cuaca tidak bersahabat karena polanya susah ditebak. Tengah hari yang dikira akan turun hujan justru berbalut hawa panas dan debu beterbangan menyesakkan para pengendara. Tiga sepeda motor lalu memilih berbelok ke dalam gang kecil. Satu di antaranya nyaris menabrak seorang pemuda berseragam SMP yang berjalan lunglai sambil memegangi tali tasnya di bagian dada. Dikagetkan bunyi klakson sepeda motor yang tiba-tiba muncul di belokan gang di depannya, anak SMP itu terperanjat tanpa suara. Betapa tidak, justru pengendara motor itu yang mengomel sambil berlalu. Seorang laki-laki paruh baya dengan setelah jaket kulit hitam ditopang celana bahan denim dan sepatu semiresmi. Mereka sama-sama berlalu.

Saat tiba di depan pagar rumahnya, anak SMP itu terkejut karena gembok pagar tidak terkunci. Lebih jauh ke dalam, ia dapati ternyata pintu utama rumah juga hanya tertutup namun kuncinya tidak terpasang. Setelah memanggil-manggil nama kakaknya dan tidak ada balasan, barulah ia masuk begitu saja ke dalam rumah. Tidak sampai dua detik kemudian, anak baru gede itu sudah berlari membelah gang. Rumah Pak RT yang dituju. Nafasnya tersengal-sengal. Mukanya pucat pasi, antara terkejut dan sedih seketika.

***

Ketukan pintu berulang-ulang akhirnya dibalas seruan dari dalam untuk menunggu sebentar. Setelah terdengar benda jatuh ke lantai beberapa kali, kemudian disusul bunyi karet yang diseret di atas lantai, barulah secara berurutan bunyi-bunyi benda besi kecil yang beradu, klek sampai akhirnya terdengar derit pintu terbuka.

“Eno.”

Polisi itu hanya tersenyum, kecut. Sang tuan rumah senyum menyengir menebak temannya itu telah lelah menunggu pintu dibuka. Tapi matanya kemudian menangkap kelelahan lain yang membuat seorang polisi begitu saja masuk dengan langkah lunglai dan lagi-lagi langsung merebahkan badannya ke kursi empuk yang nyaris membawa tangannya menyentuh lantai.

“Ada apa? Kau kelihatan lelah sekali.” Adam masih mengeringkan rambutnya ketika mencoba menghibur tamu mendadaknya sore itu.

“Ada kasus.”

“Kasus!” Adam sumringah seketika, meski ia masih mewanti-wanti seburuk apa kasus yang dibawa ini, mengingat temannya itu nampaknya nyaris menyerah karena dibuat lelah. “Kasus apa?”

Butuh dua detik bagi Eno untuk menenangkan diri, mendinginkan kepalanya sebelum menjawab pertanyaan itu.

“Ada orang meninggal.”

“Eno, nyaris tigaratus ribu orang meninggal setiap hari.”

Inspektur itu menatap tajam, membuat Adam lagi-lagi tersenyum kambing. Nampaknya bukan respon yang diinginkan.

“Maaf. Aku tak bermaksud meremehkan kabar yang kau bawa. Hari sudah sore, dan kita sebaiknya rileks sejenak. Aku mau ganti baju, dan kau akan tenang dengan segelas kopi moka tanpa krim, kesukaanmu tiga bulan belakangan ini. Sambil aku bersiap, ada baiknya kau coba ceritakan saja serunya kabar yang kau bawa itu.”

Eno menghela napas beberapa kali sambil menatap televisi yang tidak menyala itu dalam-dalam, melihat bayangannya sendiri sambil menerka-nerka arah jalan pikirannya selanjutnya, sekaligus merangkai kalimat yang tepat agar pesan yang dibawanya bisa ditangkap dengan baik.

“Seorang perempuan, duapuluh lima tahun, ditemukan meninggal di rumahnya siang ini.”

“Hm. Terus.” Balasan dari kamar sebelah menembus bilik papan tipis.

“Waktu kematian diperkirakan antara pukul tujuh sampai duabelas. Adiknya, seorang anak SMP, menemukan pertama kali kakaknya sepulang dari sekolah. Perempuan itu …”

“Bagaimana posisi meninggalnya?”

“Aku baru mau melanjutkan,” jawab Eno sewot. Siapapun tak suka kalimatnya dipotong di tengah jalan. “Perempuan itu ditemukan meninggal tergantung di ruang tamunya. Leher terjerat kain sarungnya sendiri. Lidah terjulur dan dua kakinya tergantung sepuluh sentimeter dari atas meja tamu.”

“Bunuh diri?”

“Belum pasti. Situasinya janggal.”

Lalu terdengar tepukan seperti dua telapak tangan dihentak seketika. Sejurus kemudian Adam sudah kembali dari bilik dandannya dalam keadaan yang lebih baik, meski tidak sampai pantas disebut klimis, setidaknya bagi pandangan mata Eno. Setelan kemeja bermotif kotak-kotak kecil dan celana bahan denim biru malam terlihat biasa saja. Tak juga ada wangi parfum yang diharapkannya.

“Wah. Harus kuakui, Eno. Naluri investigasimu juga sudah berkembang baik beberapa bulan terakhir ini. Kau bisa mengendus sesuatu yang janggal dalam kematian seseorang yang memang …”

“Tidak wajar.”

Adam yang kali ini tersenyum kecut karena merasa dibalas. Kalimatnya dipotong. Eno mengambil alih pembicaraan dan berusaha mendominasi.

“Korban ditemukan menggantung di atas meja tamunya sendiri. Meja itu, bentuknya kotak sekitar satu setengah kali satu meter, ditemukan bertaplak kain sederhana dan di atasnya tergeletak satu piring sisa sarapan yang tidak dihabiskan.”

Adam makin bersemangat menyimak. Untuk sesaat ia teringat janjinya dan bergegas ke dapur lalu kembali dengan dua gelas kopi hangat yang sudah ia sediakan sebelumnya. Eno tak menyentuh sedikitpun gelas itu ketika memilih melanjutkan kalimatnya terlebih dahulu.

“Sejenak ini mirip bunuh diri, tapi jelas bukan.”

Adam mengangguk tanda setuju.

“Ada sesuatu yang salah, menurutku, dengan posisi meja itu. Sisa makanan itu, gelas yang berisi teh mendingin, dan makanan itu …”

“Makanan apa?” Adam mengungkapkan semangatnya yang semakin menggebu. Terlihat dari posisi duduknya yang semakin tegak dan alisnya yang semakin dekat ke tengah.

“Roti dilapisi selai. Makanan seperti tidak tergeser sama sekali, padahal meja itu yang jadi pijakan kalau-kalau korban memang melangkah di atasnya untuk kemudian menggantung dirinya sendiri.”

Adam kecewa dengan kalimat yang barusan didengarnya. “Aduh, Eno. Itu bisa saja karena korban sengaja tidak mengganggu yang sudah diperbuatnya. Semua orang bunuh diri mengambil jalan yang paling sederhana.”

“Awalnya aku juga berpikir demikian. Tapi, potongan lainnya menjadi misteri.”

“Potongan lain?”

Eno mengangguk. Pandangannya menatap dalam-dalam ke arah karpet, berusaha mengumpulkan kembali ingatan jangka pendeknya rapat-rapat di dalam kepala, merapatkan jari-jarinya, kemudian menyampaikan hal yang menjadi pertanyaan paling penting baginya sepanjang hari ini.

“Ada dua potongan aneh pada roti di atas meja. Satu seperti bekas gigitan, satunya lagi seperti bekas potongan dengan benda tajam. Pisau makan memang ditemukan di meja itu.”

Adam tersenyum ketika kepalanya mendadak ikut menunduk. Setelah beberapa saat mereka terdiam dan membiarkan pikiran mencerna informasi yang didapatkan, akhirnya Adam menjawab.

“Ini menarik. Betul-betul menarik. Jelas ini bukan kematian biasa.”

Eno mengangguk begitu saja.

“Siapa nama perempuan ini?”

“Ratna Siregar.”

“Kita berangkat sekarang. Di mana tempat kejadian?”

“Magelang.”

“Oke. Kita berangkat …” Adam baru saja ingin spontan bangkit dari kursinya dan berangkat segera, namun pikirannya berubah mengingat situasi tidak memungkinkan. Lagipula, belum juga mereka menikmati kopi moka di atas meja.

“Oke. Besok … kita berangkat besok. Pagi-pagi sekali.”

(Selanjutnya ...)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline