Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Menghilangnya Arza Basyahril (2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13351511641779713661

(Sebelumnya ....) Pagi berikutnya. Eno rapih seperti biasanya meski ia hanya memilih rompi halus berwarna cokelat untuk menutupi kemejanya yang putih gading. Celana bahan denim ditopang sepatu semiformal nampak serasi dengan kacamata minusnya yang buram. Andai memegang senapan, ia akan terlihat seperti perwira yang akan berburu rusa. Penampilan itu dipersiapkan matang, nyaris sempurna, tapi selalu saja menuai protes. "Kamu rapi sekali. Sudah baikan dengan Maya?" Adam berkomentar seperti menyambar begitu saja. Kalimat itu tentu tidak bisa diterima Eno karena nyatanya mereka nyaris sama rapinya, meski Adam hanya mengandalkan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan ujung bawahnya diselipkan ke dalam celana khaki berbahan lembut meski agak longgar. Celana dan baju itu tampak telah lama di dalam lemari, ditandai beberapa garis lipatan yang tidak diseterika. "Bisa tolong jangan sebut-sebut itu lagi?" Eno membalas sambaran. Mukanya senyum meski di dalam hatinya ia sebetulnya jengkel. Rasa senang membuncah bisa saja menghinggapi perasaan polisi muda itu pagi ini seandainya malam sebelumnya Adam berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Setelah berdiskusi lama sampai mengantuk di kamar kontrakan yang mulai pengap, akhirnya Adam menyanggupi permintaan Eno dan mereka segera ke rumah sahabat itu jelang pukul sembilan. Mereka diterima baik-baik oleh Maya, istri Eno. Sebagian lampu rumah itu sudah dipadamkan, dan Maya menyalakan kembali lampu di ruang utama yang kiranya cukup buat mereka saling melihat wajah. Eno duduk di kursi tamu setelah disorot oleh mata tajam Maya. Dengan segala jurus dan retorika Adam berusaha meyakinkan Maya bahwa suaminya bisa berbuat lebih baik dan tidak mengulang kesalahan. Beberapa kali ia mengonfirmasi pernyataannya yang kemudian disambut anggukan mantap oleh Eno si suami. Setelah lima belas menit negosiasi yang hanya berlangsung satu arah, akhirnya Maya melepaskan lengannya dari dada kemudian berkata, "Mas Adam yang baik. Saya pengen nanya. Kalau ada suami yang lupa hari ulang tahun istrinya, apakah pantas dimaafkan?" Adam terkejut. Ia melihat ke Eno yang tertunduk menutup muka seperti ingin lari ke pojok. "Tapi, tadi Eno hanya bilang kalian ada masalah dengan halaman belakang dan dapur yang lupa ia bersihkan kotorannya?" Maya lemas kemudian menggeleng. Ia kemudian bangkit dan berjalan sambil menghentak-hentak menuju ruang belakang. Adam yang masih ternganga justru menoleh pelan ke samping kemudian berbisik sengit. "Hoi! Kamu lebih parah dari aku. Kenapa tidak bilang kalau masalahnya sepenting ini?" Eno hanya menggeleng lalu meluncurkan badannya hingga ke lantai sejurus kemudian menopang dagu di atas meja tamunya sendiri. Tidak ada gelas minuman, tidak ada apa-apa. Hampa. Dan berakhirlah perjuangan para suami malam itu. Meski akhirnya Eno memberanikan diri mengunci pintu rumahnya dari dalam, Adam tetap saja merasa bahwa ada orang yang bernasib lebih buruk daripada dia, terkait masalahnya dengan istri. Malam itu investigator mengurung diri semalaman di kamar sempitnya. Menimbang-nimbang betapa kesamaan nasib bisa mendekatkan orang-orang. "Jadinya kita benar ke Surabaya ya ini?" Eno bergumam setengah tidur menghadap ke kaca jendela. Siang berikutnya cukup cerah di awal perjalanan mereka keluar kota bersama-sama untuk pertama kalinya. Bau parfum bercampur di dalam ruang penumpang itu makin menyesakkan napas. Bus itu bergoyang-goyang meski suaranya minim. Di sebelahnya, Adam mengusir kantuk dengan membaca bab terakhirMoveable Feastyang sempat terbengkalai beberapa minggu. "Hm?" balas Adam sambil terus membaca. "Ya. Kita ke Surabaya." "Sudah sampai?" "Belum." Lalu tak ada lagi suara, kecuali dengkuran yang menggetarkan kaca. Bus EKA melaju selama lima jam sebelum akhirnya berhenti di sebuah restoran masakan Padang di daerah Ngawi Jawa Timur. Para penumpang dipersilakan turun dan menikmati sajian makanan gratis  yang disediakan pengelola angkutan. Adam membangunkan Eno lalu merapikan beberapa barang sisa plastik makanan ringan dan botol-botol kosong. Saat memungut sebuah botol bekas air itu, Adam mengernyitkan dahi karena ia melihat kertas basah yang bertuliskan namanya, menempel di bagian dalam botol itu. Nampak masih baru, karena tulisan ADAM YAFR di sisi luar kertas itu belum luntur sepenuhnya. Adam melihat sekeliling, tapi tak ada tanda-tanda seseorang mengklaim barang itu. Sekitar tiga puluh penumpang bergerak perlahan menuju pintu luar depan dan belakang ketika Adam membangunkan Eno. Botol itu dimasukkan ke dalam plastik tempat sampah, tapi kertas itu tidak lagi di dalamnya. Setelah menikmati makan siang singkat yang rada kepagian. Adam meminta Eno kembali lebih dulu ke bis untuk merapikan tempat duduk mereka. Di dalam kamar mandi umum, Adam baru sempat membaca isi pesan kertas bertuliskan namanya itu. Sebuah pesan yang membuatnya kembali waspada.

Kembali ke Yogya sekarang. Atau kamu akan menemukan keberanianmu teruji oleh hal-hal yang tidak kelihatan. Belahan jiwamu :D - Lady Papyrus.

Adan terduduk begitu saja saat bus kembali  bergerak. Tak berapa lama sudah mulai terdengar lagi suara dengkuran dari barisan depan juga belakangnya. Kawasan Jawa Timur masih terlalu luas untuk dijelajahi sepanjang perjalanan. Dan pikiran Adam pun tenggelam dalam bayang-bayang baru yang datang tiba-tiba. Ia seperti tak melihat sama sekali megahnya menara-menara pembangkit listrik arus tinggi yang terbayang sinematik di kaca jendela. "Kamu baik-baik saja?" Eno kemudian bertanya. Adam mengangguk dan menjawab singkat. Lalu perjalanan paruh kedua itu mereka lebih terjaga. Hanya saja lebih banyak saling diam. Pukul 14.45 mereka sudah tiba di Surabaya. Terminal Bungurasih ramai seperti biasa, tempat orang-orang transit guna perjalanan mereka menyusuri daerah Jawa Timur sebelah utara ataupun arus sebaliknya menuju Jawa Tengah dan selatan. Para pedagang asongan berteriak-teriak sambil menyodorkan kacang rebus dan tahu kering, sementara sebagain lainnya yang anak-anak menawarkan buku-buku bacaan murah, air minum kemasan, juga makanan kecil cemilan khas Jawa Timur. Udara cukup terik membuat Adam makin melonggarkan kerah bajunya. Bahkan bagian ujung bawah kemeja itu sudah ditarik ke bagian luar celana. Lengan pun telah tergulung sampai ke siku. Sementara Eno turun dengan kembali merapikan tata rambutnya, membersihkan kacamatanya, serta memastikan semua barang terbawa. Mereka merasa tidak terlalu berat dengan hanya membawa dua ransel. "Kita satu jam lebih cepat. Lalu lintas Jawa semakin baik sepertinya." Kalimat pertama yang keluar dari mulut Adam ketika menginjak tanah ibukota Jawa Timur. "Surabaya makin mapan. Mungkin dalam sepuluh tahun mendatang kota ini jadi basis bisnis negara. Pindahkan saja dari Jakarta. Biar ibukota tetaplah jadi pusat pemerintahan. Adam untuk beberapa saat seperti mengoceh dan berargumen sendiri karena Eno tak begitu memperdulikan perkataannya. Mereka sama-sama lelah setelah setengah hari lebih banyak dalam posisi duduk. Di ruang tunggu penumpang, mereka lalu didekati seorang dengan membawa kertas putih bertuliskan besar dua nama. Mereka mendekati laki-laki paruh baya berkulit gelap itu. "Pak Adam Yafrizal dan Pak Eno Sukarlan?" "Ya." "Silakan lewat sini, Pak." Kemudian, kurang dari lima belas menit kemudian mereka sudah duduk lagi di dalam taksi tak bertanda. Adam sempat mengeluh kepada sopir karena pendingin udara tidak berfungsi. Tapi sopir itu diam saja sepanjang perjalanan. Setelah memberikan tip, Adam menggeleng dan melihat ke arah Eno yang kelihatan lebih bersemangat. "Rumah yang di luar dugaan." "Hm." Adam tak ingin banyak berkomentar soal rumah itu. Teka-teki yang ada di balik pintunyalah semata-mata penghalang rasa senangnya. Ia justru mengamati hal-hal yang tidak dilihat Eno. Gantungan pengetuk pintu yang masih mengkilap, roda pagar rel yang masih basah karena pelumas, dan pohon mangga cukup tinggi yang bergerak-gerak bagian tangkainya. Setelah mereka dipersilakan masuk oleh seorang pembantu, mereka lalu menyerahkan tas kepada pembantu lainnya yang berdiri sambil tersenyum di pintu. Tak lama setelah kedua tamu itu duduk di ruang tamu, dari tangga turun seorang perempuan muda yang berjalan begitu lembut. Tangan kanannya menyusuri setiap senti pegangan tangga melengkung yang terbuat dari kayu mahoni mengkilap itu. Sementara kedua tungkainya seperti secara begitu tersistem menekuk otomatis dengan interval yang sama kemudian lurus dan menjangkau anak tangga lebih rendah di depan. Gaun terusan tanpa lengan berwarna biru langit dengan aksen putih gading membuat siapapun akan melirik diam-diam. Adam dan Eno berdiri memasang senyum melihat tuan rumah itu. Senyuman ramah namun hati-hati juga terpancar dari tuan rumah. Di belakangnya, berjalan perlahan seorang laki-laki berkemeja batik dengan badan agak membungkuk karena usia. Kopiah hitam bertengger penanda dia begitu dihormati namun mulai tersingkir. "Selamat datang di rumah kami, Pak Adam Yafrizal." Laki-laki tua menyambut. Ia kemudian memperkenalkan diri sebagai Abdul Malik Usman, kepala rumah. Sementara perempuan muda yang memiliki senyum paling manis itu diperkenalkan sebagai Marlistya Afriani Usman. Adam mengamati struktur wajah calon mempelai perempuan itu. Seperti tak seincipun celah yang kurang. Sempat tertahan dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya investigator itu tersadar karena Eno berdeham. "Oh. Iya terima kasih. Ini rekan saya Eno Sukarlan. Dia di sini akan membantu penyelidikan saya. Saya yakin kalian tidak keberatan." Tuan rumah tua itu justru tersenyum dan menjabat ramah. "Tidak mengapa.Maaf kami sedang menyiapkan barang-barang jadi agak berantakan. Resepsi dua hari lagi." Sementara Marlistya terdiam hanya tersenyum ketika tangannya sengaja tertahan di telapak tangan Eno. Ada perasaan yang membuat detak jantung perempuan muda itu berdetak lebih lambat dari biasanya. Eno merasakan itu dan menarik tangan lebih dulu tanpa berkata apapun. "Terima kasih telah menanggapi undangan keluarga kami, Pak Adam," kata tuan rumah ketika mereka sudah duduk kembali. "Saya yakin Anda sudah punya gambaran cukup bagaimana kesusahan kami kehilangan Arza. Selama tiga tahun kami menyiapkan pernikahan ini. Tetapi, ketika tiba-tiba kemarin kami mendapatkan berita bahwa ia telah menghilang dari rumahnya tanpa petunjuk sama sekali, kami menjadi bingung. Bagaimana menyelamatkan muka keluarga kami, sementara semua undangan sudah tersebar, dan bahkan ruang resepsi sudah disiapkan. Di depan juga seperti Anda tadi lihat, kami sudah memasang beberapa perlengkapan di halaman. Tentunya, kami tidak menyesalkan semua biaya. Itu bukan masalah bagi kami. Hanya saja, bagi putri saya ini," lalu orang tua itu menatap perempuan muda di sampingnya. "Dia khawatir dengan keberadaan calon mempelainya kini. Tidak ada kabar, tidak ada tanda." Setelah menyimak, Adam menegakkan badan lalu merapatkan badan. "Saya mengerti kesulitan yang Anda alami, Pak Malik, dan juga Mbak Marlistya." "Mar." Tiba-tiba calon mempelai itu memotong. "Tolong panggil Mar saja." Adam tertahan kemudian mengangguk paham. "Mar. Baik. Akan kami usahakan semuanya agar Arza bisa ditemukan. Untuk sementara, kami akan beristirahat selama satu jam sambil menyiapkan beberapa barang guna keperluan penyelidikan nantinya." "Oh, tentu saja, Pak Adam. Kamar untuk kalian sudah disiapkan." Kemudian tuan rumah memanggil seorang pelayan  yang dengan sangat gesit turun dan mengantarkan kedua tamu menuju kamar mereka di lantai atas. Rumah itu cukup luas sehingga cahaya tertembus masuk lewat jendela-jendela besar di tiga sisi ruang tamu yang berbentuk oval. Saat para tamu sudah menuju kamarnya, di sudut gelap salah satu koridor bagian ujung lantai, di titik terjauh dari puncak tangga itu, berdiri merapat di dinding seorang anak dengan sorot mata tajam. Seperti burung hantu yang dapat melihat dan mendengar tajam dalam kegelapan, anak itu mengamati setiap langkah kaki Adam, menghapalkan setiap gerak mulutnya, dan memasang gambar semu bentuk badan kedua tamu itu lekat-lekat di dalam benaknya. Saat pintu kamar tamu sudah tertutup kembali, anak itu sudah menghilang dari tempatnya bersembunyi. Kemudian terdengar bunyi ketukan lambat di lantai paket. Menjauh. (Selanjutnya ...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline