Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kasus Sekolah Ryan dan Alya (3)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13345472051020446037

(Sebelumnya ....) "Apa? Di mana mereka sekarang?" Adam sontak melangkah mendekat ketika para guru itu meyakinkan sang tamu bahwa memang Ryan dan juga Alya sudah ditemukan. Alina ikut di belakang mantan suaminya itu, berjalan begitu saja sambil sesekali melihat layar telepon genggam yang baru ia keluarkan dari tasnya. "Mereka di ruang konseling, Pak. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan sudah bersama mereka. Saat ini ..." "Bolehkah saya ketemu mereka?" tanya Adam penuh semangat. Namun ketiga ibu guru itu terdiam. Alina kemudian menarik ujung belakang baju Adam, memberi  isyarat untuk tidak terlalu cerewet. Matahari terpancar terang melingkupi sebidang lapangan tengah itu. Seorang guru kemudian mengarahkan mereka ke gedung yang letaknya di sebelah utara. Ruangan Bimbingan dan Konseling berada di ujung paling timur barisan gedung itu. "Pak Adam boleh menunggu di sini," kata seorang guru berkerudung yang lalu masuk ke ruangan itu. Kurang dari satu menit kemudian ia keluar lagi. "Maaf, Pak Adam, Ibu, tapi Wakasek tidak mengizinkan seorang pun bertemu dengan Ryan dan Alya sebelum orang tua mereka hadir. Saat ini kami masih menunggu Pak Reza, dan Ibu Husnaini selaku wali tiap-tiap siswa itu." Guru itu tersenyum. Sementara Adam hanya mengangguk. Ia berterima kasih kemudian berjalan lagi ke arah tepi lapangan yang ditumbuhi sedikit rumput. Ia tak melihat Alina lagi yang entah menghilang ke mana. Sebuah tembok setinggi setengah meter ia jadikan tempat duduk sembari melihat ke arah tiang bendera yang berkarat di banyak bagiannya. Pikirannya seperti jatuh seketika. Misteri yang awalnya ia pikir akan menjadi seru untuk dipelajari, ternyata hanya berakhir pada kasus konseling dua siswa sekolah itu. Dan yang lebih mengecewakan, ia harus menunggu tanpa tahu harus berbuat apa. Sekitar lima menit kemudian saat Adam menopang dagunya dengan telapak tangan dan angin bertiup semakin lembut, ia lagi-lagi mendengar suara hak sepatu mendekat dari arah jalan berbatu. Adam tersenyum karena ternyata Alina masih di sekolah itu. "Ini, minum dulu." Adam menerima segelas teh kemasan dan sebungkus roti daging. Alina menyerahkannya penuh senyuman, membuat mantan suami itu kembali meraba-raba nasib hidupnya. Di dalam ingatan, Adam tak begitu hapal kapan terakhir kali ia mendapat sodoran makanan dari seorang perempuan yang tersenyum tulus, seperti yang baru ditunjukkan mantan isterinya itu. "Kamu masih saja bandel kalau masalah sarapan," kata Alina tanpa melihat. Tapi Adam hanya bisa terus tersenyum. Dengan teh dingin yang baru saja melewati kerongkongannya dan sepotong roti yang dilumatnya, ia bisa sejenak melupakan banyak hal yang mengganjal di pikirannya. Ia menghela napas. "Apa masalah sarapan ini juga jadi alasan kenapa kamu menceraikanku?" Tapi Alina malah tertawa. Telapak tangannya ia angkat seperti melindungi gigi. Adam bingung kemudian menggeleng sendiri. Sejurus kemudian dari arah gerbang sekolah datang dua laki-laki berbaju batik dengan penampilan yang rapi. Salah satunya, laki-laki berkacamata, adalah Reza yang kemudian menyapa Adam sembari mengangkat tangan. Langkahnya semakin cepat ketika Adam bangkit dari duduknya. "Pak Adam. Syukurlah Anda di sini." Reza berkata dengan terburu-buru. "Di mana anak saya?" Adam membalas jabat tangan kemudian tersenyum. "Ada di ruang BK, Pak. Mereka ditemukan pagi ini." "Iya, kata gurunya begitu. Saya baru saja ditelepon wakasek sebelum akhirnya kemari." Reza lalu memperkenalkan laki-laki satunya sebagai sopirnya, saat Adam kemudian memperkenalkan Alina yang ternyata sudah saling kenal lebih dulu dengan Reza saat mereka kuliah di kampus yang sama. Mereka tak punya banyak waktu karena wakil kepala sekolah sudah menyambut Reza dan memintanya segera ke ruang BK. Adam membuntuti di belakang meski beberapa guru dengan agak segan memintanya tetap di luar. Menyadari tak ada celah untuk menguping ketika Reza sudah berada di dalam ruangan itu, Adam melangkah ke belakang, mundur nyaris menyerah. Sampai akhirnya, ia melihat celah jendela yang agak sempit dan tertutup kaca yang berdebu. Dari situlah ia melihat sepintas ruang BK. Ryan dan Alya memang pantas menjadi pusat perhatian di sekolah itu, pikirnya. Meski kurus, Ryan berpenampilan sangat rapi seperti pemimpin. Tangannya bergerak-gerak ketika menjelaskan banyak hal kepada wakil kepala sekolah dan juga orang tua. Nampaknya walinya tak bisa hadir sehingga hanya ada Reza selaku wali Alya di ruangan itu. Sementara Alya sendiri, seorang siswi berparas ayu dengan badan tegap dan kulit bersih. Matanya cukup besar memancarkan rasa percaya diri dan keramahan. Anak itu bahkan tersenyum-senyum meski nampak kegundahan yang sangat di sudut matanya. Hanya saja, ia belum berani menatap mata ayahnya yang nampak malu. Wakil kepala sekolah menjadi mediator, sekaligus investigator dadakan, karena sepertinya tak satupun guru konseling yang ada di ruangan itu. Beberapa pertanyaan dari sang ayah oleh Alya hanya dijawab sekenanya, dengan kalimat-kalimat pendek atau anggukan dan gelengan kepala. Adam melepaskan pandangannya ketika ia mendengar suara berdeham di belakang. "Alina." "Adam, kamu menguping pembicaraan orang?" "Bukan. Sama sekali tak terdengar, kok." "Sudahlah. Ayo. Ini bukan urusan kita. Sekolah sudah menangani dan kedua anak itu sudah ketemu. Tugasmu mestinya sudah selesai di sini." Tapi Adam mengangkat isyarat tangan yang kira-kira artinya "sebentar lagi". Alina pasrah dan berjalan santai di koridor ruang guru itu. Pandangannya terhadap bunga-bunga yang mekar di pohon kamboja serta kucing berbulu warna cokelat yang melompat dari batu ke batu sedikit menghiburnya. "Kamu sendiri kenapa masih di sini?" tanya Adam kemudian ketika mereka sudah duduk kembali di pinggir lapangan itu. Kali ini dua kursi plastik disediakan oleh seorang petugas kebersihan yang nampaknya sudah terbiasa melayani tamu. "Itu ..." Alina berusaha menjawab tapi pandangannya memancarkan rasa tidak tenang. "Bukannya kamu harusnya sudah di kantor siang ini?" Alina mengangguk. "Kamu kangen aku?" Lalu Alina menatap tajam. Adam tersenyum. Kemudian mereka berdua sama-sama luluh, ditandai napas panjang yang dilepaskan oleh keduanya. "Adam," kata Alina. "Sejak tahu bahwa kamu akhirnya mengerjakan hal-hal berkaitan kriminal, pikiranku tidak bisa tenang. Memang pekerjaan tetap jalan, karena karyawan dan beberapa staf bisa membantu. Tapi kalau di rumah, aku terlalu banyak bayangan. Aku mengingat-ingat saat dulu kamu bilang selalu dibuntuti orang. Bahkan mungkin penjahat, katamu. Tapi kamu juga selalu bercanda dan bilang kalau itu semua hanya permainan kamu biar kita selalu hati-hati. Tapi tetap saja. Aku khawatir." Adam menyimak. "Kamu tahu sendiri, Adam. Aku menceraikanmu bukan karena harta, cinta, atau apapun. Aku bisa mengupayakan harta, kamu lihat sendiri." Kemudian Adam mengangkat alis dan pundaknya sembari mengangguk. "Aku juga masih  cinta kamu, kamu tahu itu." Kali ini pandangan Alina seperti terbang ke awan, melewati daun-daun kamboja kemudian turun dan memenuhi perasaan mereka berdua. "Aku cuma .... Sebetulnya, karena aku yakin waktu  itu juga kamu berpikiran sama. Bahwa, sebaiknya, kita berpisah sementara waktu." Adam mengangguk lagi. Senyum masih melekat di bibirnya. Ia kini bisa lebih rileks dan menegakkan kedua lengannya di tepian kursi persis di samping pahanya. Sesekali wajahnya ke bawah seperti meraba-raba masa lalu. "Sampai akhirnya aku dengar dari berita lokal bahwa kamu terlibat dalam beberapa kasus belakangan ini, yang terakhir kudengar kamu menyelidiki kasus kematian anak seorang editor koran. Hal-hal menyangkut kematian, Adam, aku belum bisa hadapi. Aku selalu khawatir dan membayangkan bagaimana kamu mengatasi masalah-masalah seperti itu. Aku dulu tak pernah membayangkan punya suami yang setiap hari harus berhadapan dengan mayat orang lain, atau senjata tajam, atau, obat-obat bius." Mata Alina berkaca-kaca. "Aku sudah sempat bahagia ketika melihatmu mengetik beberapa cerita fiksi kemudian beberapa majalah menerimanya. Juga ketika beberapa orang datang ke rumah dan berkonsultasi masalah kejiwaan. Menurutku dulu pekerjaan psikiater itu seksi, selalu cocok dengan kepribadianmu yang terbuka dengan banyak orang, terbuka dengan banyak kemungkinan. Tapi belakangan ..., aku menyesal karena harus meninggalkanmu dalam keadaan kurang menyenangkan. Apa kamar kontrakanmu sekarang sudah rapi, Adam?" Adam terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Ia terbata-bata menjawabnya. Tapi yang mengejutkannya, justru Alina tersenyum. Matanya masih berair tapi senyuman itu nampak lebar di bibirnya. Adam terheran-heran, apa maksud ekspresi wajah itu? Mereka mengobrol sampai tak menyadari Reza sudah keluar dari ruangan BK. Beberapa guru terdengar saling berbisik ketika wali siswa itu keluar dengan raut muka marah. Wajah laki-laki berkacamata itu merah, tangannya dikepalkan dan langkahnya cepat. "Enak saja menuduh anak saya berbuat seperti itu. Wakil kepala sekolah macam apa ini?" "Pak Reza, ada apa?" Adam bangkit dari kursinya kemudian berusaha menenangkan Reza yang mendekat. Akhirnya dengan beberapa perkataan Adam ayah siswa itu duduk di kursi tepi lapangan sembari menopang tubuhnya dengan telapak tangan di atas lutut. "Mereka bilang apa?" "Pak Adam. Saya sama sekali tidak percaya dengan perkataan wakasek, apalagi guru di sini. Mereka menuduh anak saya berbuat mesum di dalam kamar mandi!" "Apa, berbuat mesum? Bagaimana ceritanya?" Wakil kepala sekolah yang kepalanya setengah botak ditemanu seorang guru berkopiah lalu mendekat, tapi Adam memberi isyarat agar mereka menjaga jarak dulu, dan memohon izin untuk bicara dengan orang tua siswi itu. Setelah diberi pengertian akhirnya guru kembali ke dalam ruangan. Wakil kepala sekolah memerintahkan proses belajar-mengajar dilanjutkan dan semua guru bersiap dengan pekerjaan mereka masing-masing. Adam sepintas bisa melihat Ryan dan Alya digiring oleh guru ke dalam ruangan lain. Kedua anak itu tidak mengenakan seragam sekolah. Baju bebas dan sepatu berwarna sisa acara semalam tidak memungkinkan mereka mengikuti pelajaran. Satu-satunya tanda formil di tubuh keduanya hanyalah tanda peserta acara Malam Tahun Baru berupa kartu berlapis plastik dengan gantungan pita yang melilit leher. Reza tak menoleh sedikitpun ketika anak gadisnya itu melintas. "Alya tidak akan pernah berbuat sebodoh itu, Pak Adam," kata Reza. Di sampingnya, Alina duduk sambil menyimak. "Alya anaknya penurut. Kadang agresif, memang, tapi saya yakin anak saya itu tidak bodoh. Prestasinya tertinggi di sekolah ini dan saya yakin dia tidak mau mencoreng semua pencapaiannya hanya dengan hal kecil seperti berdua-duaan di kamar mandi waktu tengah malam." "Berdua-duaan? Jadi, mereka ditemukan berduaan di dalam kamar mandi sekolah?" "Ya." Kali ini Reza menjelaskan dengan nada suara yang lebih rendah. "Penjaga sekolah menemukan kamar mandi belakang itu, katanya. Di sanalah mereka ditemukan tadi pagi. Tertidur. Menurut penjaga itu, Reza katanya hanya mengenakan kaus dalam dan baju kemejanya ia pegang di tangan, menutupi bagian dada Alya." Alina menggeleng seperti mengerti sesuatu. Tapi Adam mengangguk sambil memberi isyarat agar Reza lebih tenang. Adam berpikir sejenak ketika Reza terus menjelaskan. Di dalam kepalanya, semua ini terlihat sangat mudah. Dan Reza sebagai orang tua memang berada di dalam posisi sulit. Anak gadisnya ditemukan dalam posisi tidak mengenakkan, bersama siswa laki-laki bernama Ryan, yang ternyata juga adalah kekasihnya. Di dalam kamar mandi, tertidur saat ditemukan pagi harinya dalam posisi nyaris berpelukan. Kemeja Ryan terlepas dan tangannya menutupi tubuh bagian atas Alya. "Ini sulit ...." Komentar itu akhirnya terlontar juga, dari mulut sang investigator. (Selanjutnya ...)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline