Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Apa Betul Kita Bersaudara?

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

[caption id="attachment_136905" align="alignnone" width="400" caption="Ilustrasi (freestockphotos.biz)"][/caption] "Hahahaha.... Saudaraku. Abang. Apa kabar halaman istana? Foto bajakan Picasso itu masih tergantung di sana kah?" "Haha... Iya. Masih di sana, bersanding dengan fotomu yang tersenyum lebar dengan seorang petani memelas itu." Suara itu gemerisik ketika akhirnya presiden itu membetulkan letak speaker telepon ke daun telinganya. Dua menit yang lalu, ia sibuk mengerjakan permainan puzzle warna-warni di atas meja kerjanya. Ibu negara baru saja mengingatkannya tentang rencana olahraga pagi bersama menteri-menteri lama besok. Menteri-menteri lama adalah istilah yang mereka gunakan untuk menandai menteri-menteri yang masih menjabat. Dua minggu dari sekarang, sebagian dari mereka tergantikan. Tapi bukan itu saja yang merisaukan sang presiden. Matanya liar ketika pandangannya terarah ke layar datar yang tertempel setinggi proporsional di salah satu sisi ruangan kerjanya. Lampu remang menunjukkan jelas kontras berita di tayangan malam itu. Dua distrik menjadi objek klaim dua negara. Presiden sedang menggeleng-geleng dan tersenyum saat telepon di atas mejanya berdering. "Datuk...." kata Presiden melanjutkan. Ia kini sendirian di ruangan itu. Suara pintu-pintu ditutup dan dikunci terdengar dari luar. "Ya, saudaraku." "Saudara?" "Iya. Negara kita sedang ribut di akar rumput. Media-media lebih sewot lagi. Anehnya, kok aku merasa biasa-biasa saja begini ya? Menurut saudaraku bagaimana? "Oh... tentang itu ya...." Presiden mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di kayu meja. "Yaahh.... Memang begitulah. Negara saya di sini kebablasan dimana-mana. Kau tahu sendiri. Media lepas bebas setelah lima dekade terkekang, rakyat ikut-ikutan menjadi kontra pemerintah." "Rakyat?" "Sebagian saja, tapi itu cukup membuat menteri-menteri kelabakan. Iklan layanan masyarakat pun dihujat dari warung ke warung. Bagaimana kita mau merapat ke mereka jika sudah dicap jelek duluan?" "Saya bisa mengerti itu. Sama juga di sini. Itu yang bikin kita, negara kita, bersaudara." "Termasuk kalau negaramu mencaplok tanah negaraku?" "Kalau itu..." "Kalau itu bagaimana, saudaraku?" "Itu.... Itu sejarah. Kita dihadapkan pada status quo. Sekarang kita mau jaga itu atau tidak?" "Saya, terus terang saja, tidak begitu suka dengan status quo. Kita butuh perbaikan segera agar semuanya lebih jelas. Rakyat tidak bisa menunggu, datuk!" "...." "Datuk? Masih di sana?" "Oh iya. Iya. Jadi bagaimana? Kita bagi dua saja? Satu untuk negaramu dan satu untuk negaraku." "Begitu ya...?" "Iya.... Bayangkan. Perjanjian tahun 1978 mengklaim satu dari dua tanah itu adalah wilayahku. Kita sepakati saja itu, lalu peta wilayah negara kami revisi masukkan wilayah itu. Nah, wilayah satunya, silakan kalian kelola." "...." "Kok gantian sekarang awak yang diam?" "Oh.... Bukan itu intinya." "Lalu apa?" "Aku sempat berpikir, ini sejatinya isu seminggu saja. Minggu ketiga keempat dan seterusnya kita bisa tenang karena media pasti tidak lagi memberitakannya." "Lalu?" "Lalu, itu saatnya kita selesaikan ini secara diam-diam. Percayakan saja pada menteri luar negeri kita masing-masing. Instruksinya harus jelas. Kalau mau bagi ya bagi, janjikan kompensasinya apa." "Kompensasi apa?" "Negaramu mau bantu investasi jalan dan pengelolaan minyak bumi dan hutan tidak di dua distrik itu?" "Bisa. Lalu gantinya?" "Guru. Maukah kalian guru-guru terbaik dari negara saya? Bisa saya kirimkan." "Kami sudah punya banyak guru lebih pintar. Bagaimana kalau dokter?" "Dokter.... Boleh juga. Tahun depan?" "Tahun ini. Plus beasiswa mahasiswa kedokteran yang belajar di negerimu." "Itu...." "Bagi kami itu yang paling cocok." "Jadi." Pintu lalu terketuk empat kali. Presiden menjauhkan telepon itu dari daun telinganya, menurunkan kakinya yang tadi terselonjor di atas meja, lalu menyapa balik. "Papah, ini aku. Mau tidur kapan?" "Sebentar, Ma. Ini sedang garap reshuffle." Lalu suara langkah itu menjauh. "Maaf, tadi ibunya ngajak tidur." "Hahaha.... Belum impoten kan?" "Belum lah. Saya masih bisa orgasme setiap minggu." "Orgasme saat publik resah begitu?" "...." "Sudahlah. Maafkan saya. Jadi.... Perjanjian kita jadi ya, saudara." "...." "Hoi.... Ketiduran ya?" "Bukan.... Maaf, Saya hanya berpikir....  Apa betul kita bersaudara?" "Apa?" "Maaf ya, kita belum bersaudara. Saudara akan melindungi saudaranya sampai mati. Saling melindungi dan mengakui orang tua yang sama. Setahu saya, orang tua kita saja berbeda. Negara Anda lahir dari kapitalisme klasik, Negara saya lahir dari kolonialisme sayap kiri. Di bawah, rakyat kita saling hujat lewat media sosial. Mereka saling ejek pakai gambar dan kata-kata. Itu belum bersaudara namanya." "...." "Halo? Anda mendengarkan saya? Datuk?" "Kalau begitu.... Pak Presiden.... Kita berbincang selama tiga menit ini, semuanya bercanda?" "Hahaha.... iya tentu saja. Serius amat." "Hahaha... Ya sudah. Sampai mana susun puzzle-nya?" "Tinggal dua keping ini. Susah mau masuk bagian mana. Hadiah darimu ini betul-betul membuatku hilang stres." "Haha.. iya. Iya selamat menikmati. Saya mau tidur dulu. Pembicaraan ini tidak disadap kan?" "Haha.... iya tenang saja. Tidak ada yang berani menyadap pembicaraan dari ruangan saya ini." "Benar. Tapi kok.... Saya bisa baca transkripnya di Kompasiana?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline