Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Seribu Alasan untuk Hidup

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (quintocarln.com)

[caption id="" align="alignnone" width="630" caption="Ilustrasi (quintocarlin.com)"][/caption]

Selalu ada alasan untuk tetap hidup. Mengingkari kehidupan berarti menjemput kematian diri sendiri. Menyelami apa yang hidup dan apa yang ada di dalamnya, sepenuhnya berupa pelajaran selama napas masih digenggam. Jika tidak..., maka jiwa sendiri yang menjemput jawabannya.

Maret 2009. Fajar melamun di kamarnya. Tiga buku tergeletak begitu saja di lantai berlapis terpal plastik motif kotak dan bunga. Ia menatap keluar seolah menjemput imajinasi-imajinasi liarnya. Senyum tertarik di bibirnya, lalu hilang begitu saja. Pintu kamar diketuk. "Fajar, makan dulu nak...." Anak itu hanya melihat ke arah pintu. Hatinya masih gamang, pikirannya belum tenang. Ia sebal dan bingung, tapi akhirnya ia keluar kamar. "Maafin ibu ya, Nak. Seharusnya masalah tadi tidak dibesar-besarkan. Ibu tahu Fajar sudah besar, bisa mengambil keputusan sendiri. Hanya saja..." Kalimat ibunya berhenti sejenak. "Ibu takut Fajar ambil keputusan yang salah...." Fajar terdiam lalu tertunduk. Ia menyantap makanan itu dengan malas. Bapaknya mengelus kepalanya sekali, tak berbalas. Ia diam saja sepanjang hari. Fajar belum lama menjadi anak pendiam. Di sekolah, ia ceria, bahkan hingga hari ini. Tapi di rumah, bayangan-bayangan yang dihadapinya enam bulan terakhir seperti mencabik-cabik ketenangan pikirannya. Berkali-kali ia berteriak sendiri, memaki-maki diri sendiri sambil berbisik. Tentu saja sang ibu dan bapak tidak selalu menegur anaknya. Mereka mengerti dilema perasaan pubertas remaja. Tapi kemarahan Fajar ini, sungguh lain. Ia merasa semakin jauh dengan jati diri dan ketenangan batinnya. Menjelang maghrib hari itu, ia memandang langit-langit kamarnya, menerawang, lalu tersenyum sendiri. Desember 2010. Setahun berlalu. Fajar naik dua tingkat dan saat ini menyambut masa depan cerahnya di akademi kepolisian. Badannya semakin tinggi dan berisi. Ibunya berkali-kali mencium keningnya dengan kesulitan saat mengantar sang anak tunggal ke ranah pendidikan tanah seberang. Senyuman terangkat dari bibir Fajar, menyalami kedua orangtuanya lalu berjalan menyambut pelukan teman-temannya. Malam tahun baru, Surabaya. Anak itu melewati kesenangan dan tawa canda di lapangan dan di ruang kelas. Ia aktif dan terkadang membuat iri teman-temannya. Ia bahkan mendapat lirikan mesra dari seorang mbak yang sempat ia kagumi. Ia tersenyu, tapi hari-harinya setelah itu menjadi biasa saja. Di kamar asramanya. Fajar mengeluarkan foto seorang perempuan muda yang sedang menatapnya tersenyum. Hanya ini yang paling bisa menahan senyum pemuda ini lumayan lama. Tak heran, foto itu pengantar tidurnya setiap hari, selama dua tahun masa pendidikan. Akhirnya, dengan kabar kebanggaan, Fajar pulang dengan penampilan yang membuat Ibu-Bapaknya bertepuk tangan dan terkadang dada. Ia disegani di kampung. Semakin banyak perempuan sering mencoba mendatanginya, tapi ia tak terpengaruh. Hanya satu yang ia cintai. Januari 2011. Fajar akhirnya mendapatkan kabar itu. Kabar itu yang mengejutkannya, membuatnya tak bisa tersenyum lagi. Kamarnya berantakan separah-parahnya. Ia berteriak dan menahan tangis. Ia memukul-mukulkan kepalanya ke tembok. Pesan itu menolaknya, menyuruhnya pergi.

Maafkan aku, kakanda. Aku tidak bisa. Aku tahu aku sudah berjanji akan kembali ke kampung dan menemani hidupmu. Tapi yang satu ini sungguh aku tak kuasa menolaknya. Akhirnya kupilih sesuatu, saat aku harus berbakti kepada orang tua. Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini. -Ermi.

Surat itu yang mengubah hidup pemuda ini selamanya. Maret 2011. Fajar jarang keluar rumah. Ia lebih banyak di kamar, mencoret-coret di atas kertas buku tuanya. Buku itu disimpan di dalam lemari setiap kali tulisan selesai. Ia lebih banyak berbaring, menatap langit-langit kamarnya. Ia lebih sering tersenyum sendiri. Bayangan Ermi sering muncul dalam wujud lucu, imut, tiba-tiba berubah kejam, bertanduk, dan menyindirnya sejadi-jadinya. Di saat itu terlihat, anak muda itu berteriak. Ibunya berlari dan mengetuk pintu. "Nak, Kamu tidak apa-apa? Kenapa, Nak? Ayo kita ke dokter...." "Bu...." Akhirnya anak itu melihat ibunya penuh harap. "Kenapa, nak? Kamu kenapa?" Dilihatnya mata anak itu sayu, gelap, tapi bibirnya tersenyum. "Nak, Fajar kamu kenapa?" Anak itu menggeleng, lalu ia meminta pintu kamar ditutup. Selama tiga bulan itu, kehidupan Fajar menakutkan orang-orang di rumahnya. Ibu-Bapaknya berkali-kali meminta bantuan dokter dan "orang pintar", tapi hasilnya tak berubah. Fajar menambah tumpuk-tumpuk catatannya. Hanya ia yang tahu. Sore itu, ia menatap langit-langit kamarnya yang sudah dipenuhi ramat. Ia lagi-lagi tersenyum. Juli 2011. Musim kemarau hampir berakhir. Sang ibu bingung tujuh keliling saat anaknya tidur sepanjang hari, tak mau makan dan minum, tak mau bicara. Beberapa tetangga sering menanyakannya, tapi ibu menjawab anaknya hanya sakit musiman. Tidak ada apa-apa. Perasaan orangtua menjadi naluri paling kuat untuk melindungi buah hatinya dari siapapun yang melihatnya buruk. Saat ibu dan bapaknya duduk di halaman depan, suara gaduh sepertu barang jatuh terdengar di kamar. Saat sang ibu berlari ke arah kamar anaknya, ia menemukan pintu terdorong keras sampai gerendelnya hampir lepas. Ia ketuk berkali-kali namun tak ada jawaban, kecuali erangan dengan suara yang mengiris. "Nak, Fajar ada apa nak? Buka pintunya, nak?" Tidak ada jawaban. Akhirnya saat sang bapak membuka paksa pintu itu, ibunya berteriak mirip orang kesurupan. Tubuhnya meloncat-loncat sambil berkata aneh dan histeris. "Fajaar... Nak!" Tubuh anaknya tergeletak di pintu, kepalanya tersandar lemas dan kedua lengannya terjulur ke lantai. Darah segar mengalir deras dari celah yang terbuka di pergelangan tangan kiri anak lelakinnya itu. Mata Fajar masih terbuka, tapi bagian hitamnya menghadap ke atas, membuat pandangannya kosong. Bapaknya langsung mengangkat tubuh layu anak itu, melarikannya ke rumah sakit. Fajar masih hidup. Ibunya terduduk dan terantuk di kursi itu. Bapaknya belum kembali dari kerja sambil membayar utang perawatan rumah sakit yang sudah dua minggu lebih. Dua kantong darah dipompa ke tubuh pemuda itu. Membuatnya koma selama enam hari. "Nak.... Kamu kenapa sebenarnya. Cerita sama Ibu, Nak...." Tapi Fajar terus diam. Saat matanya terbuka, yang ia pandangi hanya langit-langit ruangan itu. Bibirnya bergerak-gerak sendiri entah apa yang diucapkannya. Ibunya masih takut, tapi ia lebih sayang pada ketenangan batin puteranya daripada mengusiknya untuk memperoleh jawaban. Agustus 2011. Fajar berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Lengannya sudah sembuh dan kini ia bisa tersenyum lagi. Ia berubah, secara misterius, tapi Ibu-Bapaknya senang dengan itu. Ia kini berulang kali bercerita ingin sekali melewati Ramadan dan berlebaran di rumah. Tentu saja, Bapaknya senang bukan kepalang melihat perubahan positif anaknya itu. Di pikirannya, saat ini puteranya mendapatkan petunjuk untuk terus semangat, setelah diberi alasan dan kesempatan untuk hidup sekali lagi. Mereka tak pernah menanyakan alasan Fajar menyayat kulitnya sendiri hari itu. Tak sedikitpun. Mereka hanya ingin keceriaan ini berlanjut. Ramadan berlalu, lebaran berkumpul di rumah itu. Keluarga besar hadir, dan mereka semua memberi pelukan hangat bagi Fajar yang kembali sembuh, menjadi orang baru yang bisa membahagiakan keluarga. Anak itu kini nampak lebih cerah, namun ia masih mencatat beberapa hal yang ingin ditulisnya di dalam buku catatan. Hari-hari selama hampir satu bulan ini begitu hangat di rumah itu. September 2011. "Ibu, bolehkah saya keluar sebentar?" "Tentu saja, Nak. Kamu mau kemana? Hati-hati." "Iya, Bu. Mau ke pasar. Beli perlengkapan." "Perlengkapan apa?" "Buat di kamar...." Ibunya tersenyum lalu paham. Ia membelai rambut dan mencium kening anaknya itu, meski harus berjinjit di depan anaknya yang telah tumbuh dewasa. Malam.... Makan malam berjalan menyenangkan. Fajar mencium tangan ibu-bapaknya sebelum tidur. Malam itu begitu tenang, tak banyak serangga yang bersahutan, meski purnama menjelang. Langit-langit itu bersih kini. Kamar itu lebih rapih dan sejuk. Fajar sendiri yang membersihkannya. Gorden diganti dengan warna cerah, spresi dan karpet diganti warna baru, serta pewangi ruangan melati sungguh menenangkan batin. Fajar telentang dan senyum. Ia puas dengan pencapaiannya kini. Ia tahu tahu seberapa besar cinta ibu-bapaknya kepada dirinya, meski ia tak pernah berani menanyakannya. Setelah menyelesaikan catatan malam itu, ia mencium sampul buku, mengikatnya dengan pita merah, lalu disimpannya di dalam lemari, tepat di bawah lipatan seragam kelulusannya. Ia berdiri di tengah kamar itu, menghadap ke barat, melihat empuknya kasur, lalu mengeluarkan perlengkapan yang dibelinya. Ia merasa sangat puas. Lilin yang terbakar memancarkan satu-satunya cahaya kehangatan di ruang gelap itu. *** Pagi itu matahari bersinar terang. Hari Senin adalah hari pertama kerja setelah libur panjang lebaran. Saat ayam-ayam turun dari pijakannya, ibu dan bapak sudah menyiapkan ihwal kerja dan kebutuhan pagi keluarga. Ibu sangat senang dan bersemangat, karena hari ini sudah saatnya anaknya berangkat lagi ke tempat ia diterima kerja. Kabar besar dan membahagiakan itu mengangkat kebanggaan keluarga mereka setinggi tiga hasta, meski mereka belum punya banyak harta. Tapi, apa yang mereka temukan pagi itu menghempaskan mereka kembali ke tanah, memuji kebesaran Tuhan sekaligus mempertanyakan misteri-misteri kehidupan yang tak mereka temukan. Lilin itu tak berapi lagi. Anak mereka, Fajar, pemuda polos yang kemarin ceria itu, kini berakhir tewas tergantung di langit-langit kamarnya. Ia mengenakan pakaian cerah berwarna putih, dengan menggenggam selembar foto yang terlipat. Fajar telah bunuh diri. Ia menghembuskan napas terakhirnya tepat sebelum fajar menyambutnya. Lehernya terjerat tali baru yang diikat bersama kain yang juga baru. Sebagian dari perlengkapan yang ia beli sore sebelumnya. Ibunya pingsan setelah menjerit keras. Sementara bapaknya berkali-kali mengucapkan Nama Tuhan saat para tetangga mengerumuni rumah itu. Langit-langit kamar itu yang menahan berat tubuh dan segumpal perasaan yang disimpan anak itu. Langit-langit kamar itu diam saja saat mayat diturunkan. Orangtuanya tak berani menyentuhnya sama sekali. Fajar mengakhiri hidupnya, seakan-akan ia mengetahui sesuatu yang selama ini tak ia pahami. Ibunya menjadi tidak sehat setelah kejadian itu. Ia mengunjungi makan anaknya hanya untuk menangis dan bertanya kepada Tuhan, mengapa tidak ditunjukkan jalan waktu itu. Mengapa mata mereka ditutup waktu itu? Mengapa tidak ada seribu alasan lagi bagi Fajar untuk tetap hidup? Tapi tentu saja Tuhan memberikan jawaban tidak dalam ketelanjangan manusia. Jawaban setiap misteri bukan datang dalam bentuk yang nyata, tapi serpihan-serpihan yang disusun demi sebuah pengertian utuh. Fajar mengalami masa lalu pahit yang lama dipendamnya. Orangtuanya mengira ada yang tidak beres tetapi mereka tidak mempercayai semua bayangan kebodohan yang sekiranya akan dilakukan anak itu. Tetapi ternyata Tuhan mengatakan lain, dan Fajar menjalani hari-hari terakhir hidupnya jauh lebih bahagia daripada pengalamannya menikmati dunia selama lebih dari dua puluh tahun. Ia mengakhiri hidupnya demi satu alasan, mengabaikan seribu alasan yang disodorkan padanya untuk tetap hidup. 14 September 2011. Demikian tertulis di nisan anak itu. Untuk semua ini, manusia hanya bisa menebak, berikhtiar lalu menengadah. Misteri kehidupan akan tetap menjadi misteri sampai Tuhan menghendakinya terbuka seterang-terangnya. *** =====

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline